9: Mungkin Hanya Hilang

140 38 3
                                    

Robi hanya bisa mengikuti panduan peta elektronik di layar ponselnya. Berdasarkan pengalaman, ia percaya bahwa aplikasi peta GPS selalu bisa diandalkan untuk menemukan jalan yang lebih cepat dan lebih lengang. Ia membayangkan sebuah satelit di atas sana melayang-layang dan memindai kepadatan jalan, kemudian merekomendasikannya jalan yang paling sepi yang bisa ditemukan. Sayangnya, jalan yang paling sepi belum tentu jalan yang paling aman. Ada alasan yang tidak menyenangkan mengapa sebuah jalan tidak banyak dilewati orang. Sebuah jalan yang sepi biasanya akan berujung pada tempat yang lebih sepi lagi. Lalu apa yang lebih sepi daripada kegelapan--dan kematian?

Dengan rasa gelisah yang mengetuk-ngetuk rongga dada, ia dan sepeda motornya melaju menembus kepekatan malam. Orang-orang di pinggir jalan dan rumah-rumah pemukiman yang sebelumnya ia lihat di kanan dan kirinya kini mulai memudar, berganti dengan siluet pohon-pohon hitam. Jalanan semakin menanjak, semakin berkelok, sementara dadanya semakin sesak, entah karena oksigen yang semakin menipis atau karena kekhawatirannya.

Beberapa saat lalu, ia melihat sebuah gerbang keluar tol. Kalau ia melanjutkan rute ini hingga beberapa kilometer ke depan, mungkin ia akan tiba di sederet villa tempat para wisatawan menghabiskan liburan mereka. Namun lokasi yang ditunjukkan Alma tidak sejauh itu. Tidak ada hotel di sekitar sini. Motel, penginapan kelas melati, atau rumah hantu pun tak terlihat bayangannya.

Tinggal seratus meter lagi dan belum ada tanda-tanda tempat hidup manusia. Ia semakin merasa ragu bahwa ia telah berada di jalan yang benar.

Tujuan Anda akan berada di sebelah kiri.

Robi mengurangi kecepatan sepeda motornya. Ia berhenti di sebuah bahu jalan yang sedikit lebih landai. Ia sempat menimbang-nimbang apakah ia benar-benar akan turun dari motor atau akan kembali melanjutkan perjalanan. Meski ini adalah lokasi yang ditunjukkan Alma, belum tentu Alma memang telah berhenti di tempat ini.

Ia mematikan mesin dan seketika tempat itu menjadi gelap gulita. Tak ada bulan malam ini, langit masih mendung. Ia segera melepaskan ponsel dari stang sepeda motornya dan menyalakan aplikasi senter--satu-satunya sumber cahaya yang bisa ia andalkan sekarang.

Tak ada salahnya mencari petunjuk terlebih dahulu, pikirnya. Terakhir kali ia berhenti di tengah jalan, ia menemukan sepasang sepatu Alma. Mungkin kali ini ia bisa menemukan benda lain yang lebih bermakna.

Lampu kecil itu cukup terang untuk menyorot pucuk-pucuk semak belukar. Ia menyorot permukaan jalan, berharap menemukan potongan benda yang tertinggal, jejak kaki, atau bahkan secarik kertas berisi pesan. Namun semuanya nihil. Yang ia lihat hanya permukaan bebatuan yang sekilas terlihat seperti batu nisan.

Itu cuma batu biasa, gumamnya sambil berusaha mengendalikan imajinasi liar dalam kepalanya.

Robi menghela napas, menelan kekecewaan dalam-dalam. Tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan perjalanan dengan petunjuk yang sangat minim. Saat ia hendak beranjak, ia mendengar suara gemerisik pelan di belakangnya. Dengan sigap, ia mengarahkan senter ponselnya ke arah berlawanan, ke arah sumber suara itu. Namun percuma, yang ia lihat hanyalah siluet ranting-ranting pohon yang bergerak pelan tertiup angin malam. Tubuhnya merinding, entah karena angin atau karena siluet itu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, ia kembali menaiki sepeda motornya. Ia menyalakan mesin, kemudian membiarkan lampu sepeda motornya menyala otomatis. Lampu itu menembakkan cahaya yang jauh lebih besar dan terang daripada ponselnya. Mungkin karena itulah sekarang ia bisa melihat apa yang tidak bisa ia lihat sebelumnya. Ada sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak selama beberapa milidetik.

Tepat di depan sepeda motornya, di tengah sorot lampu yang menyilaukan itu, seorang perempuan berdiri menghadapnya. Sosok itu membuat rahang Robi terasa kaku. Alih-alih berteriak panik, suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa bisikan lirih.

"Alma?" bisiknya.

Alma tak menjawab. Tubuh perempuan itu tampak gemetar, seperti menggigil luar biasa, entah karena kedinginan atau ketakutan. Tiba-tiba saja ia berjalan cepat ke arah Robi, kemudian melompat menunggangi jok belakang sepeda motornya. Kedua tangannya segera memeluk pinggang Robi.

Seketika, ia teringat pada kencan pertamanya dengan Alma. Kala itu adalah pertama kalinya Alma memeluk pinggangnya saat diboncengi menggunakan sepeda motor.

"Kok tumben mau peluk?" tanya Robi ketika itu. "Karena sekarang kita udah resmi pacaran?"

"Bukan," kata Alma ketika itu. "Karena aku takut mati. Aku tahu kamu kalau naik motor ngebut."

Waktu itu, yang ia rasakan dari pelukan Alma adalah rasa hangat yang membuat hatinya berbunga-bunga. Namun ketika sekarang Robi menyentuh tangan yang melingkar di pinggangnya, yang ia rasakan adalah dingin. Perasaannya perih. Ia tidak kuasa membayangkan apa yang mungkin telah dilalui Alma. Ia hanya bisa menduga bahwa sekarang Alma berada dalam bahaya, seolah ada sesuatu yang sedang mengejarnya.

"Alma?" tanya Robi lagi. "Kamu kenapa?"

Alma tak menjawab. Mungkin ia memang tak bisa menjawab.

Hal paling logis yang bisa Robi lakukan sekarang adalah membawa Alma pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Mungkin ke kantor polisi atau ke rumah sakit. Ia tak tahu di mana letak kantor polisi terdekat, tapi bila ia bisa berhenti di sebuah tempat yang aman, ia bisa menggunakan ponselnya untuk mencari tahu.

Mesin motor itu meraung kencang, cahaya lampunya menyorot jalan gelap dan bebatuan di hadapannya. Jalanan di hadapannya tampak berbahaya, tapi ia tak peduli. Tempat itu menimbulkan perasaan gelisah dalam dirinya. Sambil melaju kencang membawa Alma di jok belakangnya, ia bersumpah akan melakukan apa pun demi menyelematkan perempuan itu. Ini satu-satunya cara dia untuk mendapatkan pengampunan.

"Maaf ... Alma," ucap Robi. Ia tahu, di balik helm dan suara mesin yang berisik, Alma tak mungkin mendengar ucapan lirihya itu. Namun ia tetap ingin mengeluarkan ucapan itu sesegera mungkin selama masih ada kesempatan.

Anehnya, setelah pergi jauh dari tempat itu pun, perasaan gelisahnya tak juga menghilang. Ada yang mengikutinya. Seolah semakin jauh ia pergi, semakin dekat ia berada. Tiba-tiba saja ia merasakan pelukan Alma semakin erat, semakin kuat. Ia pun menyadari bahwa pelukan itu bukan lagi permintaan perlindungan, bukan pula rasa rindu yang tak tertahankan. Ia mulai merasakan bahwa kedua lengan itu seperti ingin meremukkan tulang-tulangnya.

Pada kaca spion motornya, ia melihat wajah Alma yang terbit perlahan. Terbit bukan seperti matahari di pagi hari yang membawa harapan, tetapi seperti matahari yang terbit dari barat menjelang kiamat.

Dari sudut ini, seharusnya ia tak dapat melihat wajah Alma, tapi wajah dan kepala itu seperti meliuk membentuk sudut yang tak wajar. Ada yang salah pada perputaran sendi leher itu. Ketika ia melihat sorot merah dari pantulan mata Alma, pada saat itulah Robi sadar bahwa ia telah terlalu cepat menyimpulkan. Sosok yang ia boncengi itu jelas-jelas bukan Alma.

Robi merasakan nyeri luar biasa ketika sosok itu menanamkan gigi-giginya di pundaknya. Ia tak percaya setajam dan sepanjang apa gigi-gigi itu hingga bisa menembus jaket dan bajunya. Saat rasa sakit menjalar hingga ke tulang belakang, ia sudah tak mampu lagi mengendalikan laju sepeda motornya.

Sepeda motor itu menghantam pohon tua di tepi jalan, kemudian terpental, jatuh menuruni jurang berbatu. Tubuh Robi ikut terpental lepas dari kendaraannya, begitu juga dengan sosok itu. Mereka sama-sama terpisah dalam sebuah jatuh bebas. Namun bedanya, ketika tubuh Robi remuk menghantam tanah bebatuan di dasar jurang, sosok itu tak ikut jatuh bersamanya.

Mungkin ia melayang. Mungkin terbang. Mungkin hanya hilang. 

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang