Tekad yang kuat untuk berhenti merokok baru muncul dalam benak Said sesaat setelah ia membunuh istrinya. Ia memperhatikan asbak putih berbentuk kucing yang masih ia genggam di tangan kanannya. Warna putih pada moncong kucing itu kini dibasahi bercak darah, membuat hewan lucu itu seolah baru saja memangsa dengan buas. Said sadar bahwa yang buas adalah apa yang tersembunyi di dalam dirinya, sesuatu yang telah lama ia pendam dalam kepura-puraan dan kemunafikan.
Andai saja ia sejak dulu telah berhenti merokok---seperti yang berkali-kali dipinta istrinya, mungkin di atas mejanya saat itu tak ada asbak, dan makhluk buas di dalam dirinya akan sedikit kesulitan menemukan alat untuk memukul. Namun semua itu sudah terlambat. Jari-jari tangan kanannya terasa lemas. Asbak itu jatuh ke lantai, memantul sekali, kemudian mendarat satu jengkal di samping alirah darah yang keluar dari kepala Melinda.
Said terduduk di atas karpet kamarnya sambil menangis. Ia menundukkan kepala dan menutupinya dengan kedua tangan, tak sanggup menyaksikan hasil perbuatannya sendiri. Itu adalah pertama kalinya ia benar-benar merasa ingin melarikan diri dari hidupnya.
Televisi di ruangan itu menyala dengan volume suara paling rendah, tapi bagi Said cahaya yang berpendar dari layarnya terasa begitu bising. Tayangan iklan obat asam urat dan acara pengajian muncul berganti-ganti. Sekelompok ibu-ibu berjilbab merah darah tertawa bersama-sama, sebagian di antaranya tampak mengantuk, sementara Mamah Dedeh melotot.
"Curhat dong!" samar-samar teriakan mereka singgah di telinga Said.
Dalam benaknya ia terpikir untuk mengambil ponsel dan menelepon acara tersebut. Ia tidak tahu apa kata sandinya—bukankah acara semacam itu biasanya mengharuskan penelepon mengucapkan kata sandi?
Mungkin ia akan langsung curhat dan dengan mantap berkata, "Mah, saya baru saja membunuh istri saya sendiri."
Mamah Dedeh kemudian akan terkejut, melotot, dan membentak: HARAM!
Haram, Said! Seluruh hidupmu adalah haram! Akibat satu perbuatan ini, kamu telah membatalkan semua kesuksesan, kebahagiaan, dan kesempurnaan yang telah susah payah kamu raih sepanjang hidupmu. Hidupmu tidak lagi lurus, dan hidup ini seperti jalan tol panjang tanpa celah untuk memutar balik.
Suara-suara itu semakin bising. Suara di dalam kepalanya sendiri. Suara Mamah Dedeh. Suara tawa ibu-ibu pengajian. Iklan obat asam urat.
Semua ingatannya tentang Melinda melintas secara runut, seperti antrean kendaraan di loket drive-thru yang mengantre untuk dilayani satu per satu. Ia ingat ketika pertama kali mencuri-curi pandang kepada Melinda dari luar pintu kaca ruang HRD, saat sedang berjalan kembali ke ruangannya sambil membawa secangkir kopi dan bertanya-tanya, siapa gerangan gadis yang sedang diwawancarai itu.
Pertanyaan itu perlahan-lahan terjawab hingga akhirnya ia merasa yakin bahwa Melinda adalah kepingan terakhir dalam hidupnya yang harus ia lengkapi. Semua orang mengkritik keputusannya. Bagaimana mungkin ia bisa menjalin hubungan dengan bawahannya sendiri, bahkan berniat menikahinya? Namun ia yakin pada pilihannya, dan ia merasa Melinda pun meyakini hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua
HorrorIni adalah malam pertama Alma menjual diri. Ia tidak menyangka bahwa pelanggan pertamanya menyimpan rahasia gelap. --- Aborsi, kabur dari rumah, dan sekarang terlilit utang. Hidup Alma sudah begitu berantakan. Demi mendapatkan uang banyak dalam wakt...