13: Hidangan

1.7K 251 37
                                    

"Begitu ceritanya," ucap Said, seperti narasumber acara kisah-kisah misteri di televisi dahulu kala.

Bersamaan dengan selesainya cerita Said, selesai juga pekerjaannya menggali kubur. Kemejanya sudah kotor terkena tanah dan rerumputan, tapi ia tampak tak peduli. Ia memanjat lubang kubur dengan susah payah dan naik kembali ke permukaan.

Setelah melempar sekopnya, ia mengalihkan perhatiannya pada jasad Melinda yang sebagian sudah muncul keluar dari balik kain. Ia kembali menutup wajah Melinda dengan kain putih itu, mencoba mengikatnya di bagian atas, tapi tak berhasil membuat ikatan yang rapi. Ia tidak tahu cara membuat pocong. Tidak heran, keterampilan semacam itu tak pernah diajarkan di sekolah.

"Sekarang kamu paham, kan, Alma? Setelah kejadian itu, saya mencari orang yang bisa menggantikan tubuh Melinda. Akhirnya, saya bertemu kamu. Kebetulan. Bagi saya, kita berjodoh, Alma," ucap Said sambil mengikat ujung kain itu sekadarnya. "Kamu mau jual diri, saya mau beli diri. Fair, kan?"

"Tapi aku nggak menjual jiwaku!" teriak Alma.

Said terkekeh, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saya juga nggak mau beli jiwa kamu. Saya cuma mau tubuh kamu, makanya saya nggak pernah menyakiti tubuh kamu. Jiwamu boleh pergi ke mana aja, terserah." Said bangkit, kemudian mulai menarik jasad Melinda ke arah lubang yang telah ia gali.

Tentu saja bukan ini yang Alma bayangkan ketika ia memutuskan menjual diri. Kalau tubuhnya diambil dan dirasuki oleh hantu Melinda, lantas ke mana jiwanya akan pergi? Ke akhirat? Bukankah itu sama saja dengan mati?

Ia mulai membuat pertanyaan-pertanyaan spiritual yang selama ini sangat jarang ia pikirkan, tapi seketika itu juga ia merasa begitu bodoh. Mana mungkin ia percaya pada cerita Said? Semua cerita itu jelas tidak masuk akal. Laki-laki di hadapannya tidak lain dan tidak bukan adalah orang gila yang tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan.

Sebenarnya ia juga tidak suka istilah menjual diri. Istilah jual diri terasa seperti perbudakan: memberikan seluruh diri (termasuk jiwa dan raga) kepada pihak lain tanpa batas waktu. Apa yang ia lakukan, baginya, hanya sekadar menyewakan satu aspek dari dirinya. Tak beda dengan pekerjaan-pekerjaan lain yang menjual jasa sembari menerabas norma-norma.

Lagipula, ini tak bisa disebut jual-beli karena belum ada deal di antara mereka berdua. Dengan apa Said membayar dirinya? Uang ratusan juta? Setan saja punya penawaran yang lebih baik. Dalam kisah-kisah Faustian, biasanya orang yang menjual jiwanya kepada setan akan mendapatkan keuntungan sepanjang hidupnya hingga ia mencapai ajal. Keuntungan itu bisa berupa kecerdasan yang luar biasa, kekayaan yang melimpah, atau buah hati yang didam-idamkan. Barulah ketika hidupnya akan berakhir, iblis akan datang menjemputnya dan menagih jiwanya.

Lalu, memang apa yang telah Said berikan kepadanya hingga sekarang merasa berhak mengambil alih dirinya? Satu paket ayam goreng plus nasi dan segelas cappucino? Murahan sekali.

"Psycho!" teriak Alma. "Lo orang gila! Bangsat!"

Sebenarnya Alma heran, kenapa baru sekarang kata-katanya meledak di hadapan Said? Seharusnya ia sudah memaki-maki pria itu sejak awal menyadari bahwa ia sedang diculik. Bukan hanya memaki, ia harusnya sudah mengamuk, menggunakan semua cacian dan kutukan paling keji yang ada di dunia.

"Kamu bukan psikolog, kamu nggak bisa mendiagnosa. Tahu apa kamu soal psikopatologi?" ucap Said. Ia masih menarik mayat Melinda, kali ini tinggal selangkah lagi menuju liang kubur.

"Melinda yang lo lihat itu cuma khayalan! Cuma halusinasi karena lo nggak bisa menerima kenyataan! Psycho! Halu!" Sekali lagi Alma mencoba berontak dan tali yang mengikatnya tetap bergeming.

Said hanya tersenyum mendengar umpatan Alma. Ia menyadari perubahan gaya bahasa Alma dan ledakan emosinya, tapi ia tampak memaklumi itu, seolah tak menganggap hal itu sebagai ancaman.

Menyaksikan ekspresi Said, Alma merasa bahwa dirinya tak ada bedanya dengan hewan yang akan disembelih. Ia ingat dengan seekor domba bernama Dombi. Saat itu, ayahnya akan menyembelih hewan kurban, seekor domba berwarna putih dan bertubuh bongsor.

Domba itu sudah beberapa hari tinggal di rumah Alma, memakan rumput dan menjadi tontonan Alma sebelum berangkat sekolah SD. Ia bahkan memberinya nama, "Si Dombi". Menurut ayahnya, Dombi sangat senang dan bersyukur akan disembelih sebagai hewan kurban.

"Ayah, kalau Dombi memang ikhlas disembelih, kenapa dia kelihatan marah dan sedih?"

"Itu kan refleksnya sebagai hewan. Hanya karena Dombi kelihatan sedih dan ngamuk-ngamuk, bukan berarti dia nggak ikhlas," jawab ayahnya.

"Tapi Dombi menjerit, Ayah."

"Dombi bukan sedang menjerit, tapi sedang bersyukur."

"Emang Ayah ngerti bahasa domba?"

"Ngerti dong," kata ayahnya sambil tersenyum, kemudian menirukan suara domba mengembik, diikuti suara tawa Alma kecil yang menganggap ayahnya sangat lucu.

Sekarang Alma menjerit dan meronta--dan ia tahu bahwa ia bukan sedang bersyukur, melainkan sedang mengutuk.

Dengan satu hentakan kuat, akhirnya Said berhasil menjatuhkan jasad Melinda ke dalam lubang. Ia menghela napas lega. Tugasnya memang belum selesai. Ia masih harus menutup lubang kubur itu, tapi ia membayangkan prosesnya akan sedikit lebih ringan.

"Alma, Melinda itu bukan halusinasi," ucapnya pelan sambil menyeka keringat.

"Melinda udah mati! Lo nggak bisa liat? Buka mata lo, Said!" jawab Alma.

Mendengar itu, Said mengehla napas dalam, kemudian menggeleng-geleng. Gesturnya seperti seorang pengendara motor yang merasa kesal karena melihat kendaraan lain yang ugal-ugalan.

"Mungkin mata kamu yang kurang fokus, Alma. Jangan-jangan matamu minus, tapi kamu nggak sadar? Kalau begitu, nanti saya harus siap-siap pesan kacamata atau contact lens."

Alma terdiam. Ia berusaha memahami maksud ucapan Said. Apakah ia hanya sedang mengejeknya? Tentu saja ia dapat melihat tubuh Melinda yang baru saja dilemparkan ke dalam lubang kubur, tapi sepertinya bukan itu yang Said maksud.

Ia memicingkan mata, melihat jauh ke depan, memeriksa setiap sisi hutan yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Memang sewaktu ia baru siuman dari pingsan tadi, matanya belum beradaptasi dengan kegelapan, tapi kini matanya sudah mulai terbiasa.

Kontras kegelapan yang semula tampak kabur, kini tampak lebih jelas. Ia pun menyadari bahwa ada sebuah gradasi terang di ujung sana, di dekat batang pohon yang jaraknya sekitar sepuluh meter dari tempat ia berada. Bentuk itu sedikit lebih terang dari warna batang pohon lainnya dan tak menunjukkan gerakan apa pun. Karena itulah, selama ini ia mengiranya sebagai variasi warna pohon atau semak belukar. Rupanya ia salah.

Sosok itu berdiri mengintip dari balik batang pohon, mengenakan gaun putih pucat yang panjangnya hingga selutut. Kepalanya miring ke kanan, kemudian samar-samar Alma dapat melihat senyum di wajahnya. Senyum lebar itu seperti senyum anak-anak yang tak sabar melihat mainan di pasar malam.

Sekujur tubuh Alma terasa membatu. Ia tak sadar bahwa selama ini Melinda ada di depan matanya, menunggu hingga hidangannya selesai disiapkan.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang