"Mel? Ayo sini," panggil Said.
Ia telah selesai menutup lubang kubur dengan gundukan tanah terakhir. Ditancapkannya ujung sekop pada bagian kepala kubur, seolah menjadikannya nisan sementara, kemudian menoleh ke arah sosok hantu Melinda dan mengangguk.
Alma merinding melihat sosok hantu Melinda melayang mendekat ke arahnya, melewati batang-batang pohon dan barisan semak yang memisahkan mereka. Proses itu terasa begitu lambat, seolah waktu mengalami distorsi, tapi tak ada apa pun yang bisa ia lakukan. Semakin Melinda mendekat, udara di sekitar Alma terasa semakin dingin. Ia menggigil, gigi-giginya bergemeretak. Ia tidak tahu apakah penurunan suhu yang ia rasakan sekarang ini terjadi karena kehadiran makhluk itu atau hanya karena rasa takut yang memuncak di dalam tubuhnya.
Akhirnya ia dapat melihat Melinda dengan lebih jelas. Sosok itu berdiri sejajar dengan Said. Ia sama sekali tidak terlihat seperti korban pembunuhan. Tidak ada kepala yang pecah, hidung yang bengkok, atau darah yang menetes. Wajahnya tampak sempurna, seperti gadis yang telah berdandan dan siap pergi kencan.
Alma membayangkan, mungkin beginilah rupa Melinda saat ia pergi kencan pertama dengan Said. Seperti cerita Said, ini bukanlah Melinda yang mengkhianatinya, tetapi Melinda yang membuatnya jatuh cinta. Andai ia masuk surga, mungkin seperti inilah rupanya di surga nanti.
Sepasang kekasih itu saling berpandangan, berkomunikasi lewat tatapan mata. Tak lama kemudian, Melinda tersenyum, melekuk lesung pipinya. Ia mengangguk pelan, membalas anggukan Said sebelumnya. Said ikut tersenyum. Ia terlihat bahagia.
Kalau saja Alma tidak tahu bahwa Melinda sudah mati, mungkin hatinya akan merasa tersentuh melihat adegan itu. Sepasang kekasih, suami dan istri, yang tidak dapat terpisahkan oleh maut sekalipun kini kembali bersama.
Namun, yang ia rasakan sekarang hanya teror, terutama ketika tiba-tiba saja Melinda menoleh, menatap Alma dalam-dalam. Sungguh Alma tak ingin membalas tatapan itu, tetapi kepalanya seperti ditarik oleh magnet yang sangat kuat, seolah sesaat lagi kedua bola matanya bisa ditarik lepas. Kelopak matanya tak bisa terpejam sekuat apa pun ia mencobanya. Ia dipaksa untuk tenggelam dalam kedua bola mata hantu itu.
Senyum di wajah Melinda lenyap, begitu pula dengan lesung pipinya. Mulutnya kini terbuka, lidahnya perlahan menjulur keluar. Ia tampak begitu lapar hingga air liurnya menetes dari sudut bibirnya. Berkali-kali ia menelan ludah, kemudian melayang semakin dekat ke arah Alma.
Melinda akan memakannya hidup-hidup.
Alma menjerit sekuat tenaga. Ini mungkin adalah waktu-waktu terakhirnya. Ini mungkin adalah jeritan terakhirnya, dan ia ingin menghabiskan seluruh tenaga dan kesadarannya untuk itu. Semakin rapat jarak di antara mereka, semakin ia menjadi histeris. Dadanya terasa sesak dan suara tak mampu lagi keluar dari mulutnya, tapi ia tetap bersikeras berteriak parau.
"Lemesin aja, Alma. Jangan dilawan," ujar Said.
Alma sempat melirik ke arah laki-laki itu. Ekspresi yang terlihat di wajahnya sangat berbeda dengan yang ia perlihatkan saat mereka masih di dalam mobil. Sekarang, ia tidak lagi gelisah. Matanya sedikit sayu, napasnya tenang dan teratur, sementara bibirnya merekahkan senyum. Tidak ada sisa-sisa penyesalan atau bahkan ketakutan. Ia telah menjalankan misinya dengan baik dan sekarang ia akan menikmati detik-detik kesuksesannya.
Tak ada lagi suara yang keluar dari mulut Alma, tapi sekarang ia tak dapat menutup mulutnya. Rahangnya terasa kaku, bibir dan lidahnya keras seperti batu. Ia terus menganga sementara melinda semakin dekat. Semakin dekat.
Melinda menunduk, lalu berjongkok, seolah ingin memastikan seberapa mirip Alma dengan dirinya. Tangan kanannya memegang kedua pipi Alma, menjepitnya dengan kuat hingga mulutnya terus terbuka. Sekonyong-konyong Melinda memajukan wajahnya ke arah Alma.
Ketika sudah cukup dekat, ia menunduk. Ubun-ubun kepalanya ditempelkan di bibir Alma. Alma dapat merasakan rambut Melinda dan mencium aromanya yang seperti tanah basah. Melinda terus mendorong kepalanya ke arah mulut Alma, melakukan penetrasi, semakin lama semakin kuat. Alma tak bisa bernapas. Ia berusaha bernapas lewat hidung, tapi rasa takut yang memenuhi tubuhnya membuat kebutuhan oksigennya meningkat pesat. Dadanya sesak.
"Pelan-pelan, Mel. Jangan sampai mulutnya sobek. Itu akan jadi mulut kamu juga nanti," gumam Said.
Alma tidak tahu selebar apa mulutnya menganga sekarang ini, tapi pikiran logisnya mengatakan bahwa tak mungkin kepala Melinda masuk ke dalam mulutnya, sekuat apa pun ia mendorong. Itu mustahil. Ini seperti pertanyaan tebak-tebakan yang pernah ia dengar semasa kecil.
Bagaimana cara memasukkan gajah ke dalam kulkas?
Dulu ia tak bisa menjawabnya dengan benar. Bagaimanapun ia membayangkannya, seekor gajah tak akan muat untuk dimasukkan ke dalam kulkas. Jawabannya, tentu saja sangat simpel:
Buka pintu kulkasnya, masukkan gajahnya, tutup lagi pintunya. Selesai.
Sekarang bagaimana cara memasukkan Melinda ke dalam tubuh Alma? Jawabannya bukan dengan mengubah Melinda menjadi kepulan asap atau sinar merah yang bisa masuk ke dalam raga manusia secara ajaib. Jawabannya sangat simpel:
Buka mulut Alma, masukkan Melinda, tutup lagi mulutnya. Selesai.
Itulah yang dilakukan Melinda sekarang.
Setengah kepala Melinda sudah masuk ke dalam mulut Alma. Ia tidak tahu bagaimana bentuknya bila dilihat dari sudut pandang orang ketiga. Apakah kepala Melinda mengecil, ataukah lubang mulutnya yang membesar? Itu tidak penting, yang jelas sekarang ia tersedak oleh kepala berambut panjang itu. Mulutnya sakit. Tenggorokannya sakit. Ia dapat merasakan helaian rambut menggelitik dinding tenggorokannya, semakin lama semakin dalam. Ia ingin batuk atau bahkan muntah, tapi dorongan dari dalam tubuhnya tak cukup kuat dibandingkan dengan dorongan kepala Melinda.
Pandangan Alma berkunang-kunang, ia merasa akan pingsan sebentar lagi. Namun ia berusaha mempertahankan kesadarannya. Ia menduga bahwa apabila ia pingsan, Melinda akan benar-benar mengambil alih tubuhnya.
Kepala itu lolos juga ke dalam tenggorokannya. Kini yang ia jepit di mulutnya adalah leher Melinda dan beberapa helai sisa rambutnya. Suara yang keluar dari mulut Alma hanyalah berupa erangan-erangan kecil sebagaimana orang yang sedang tersedak. Air liurnya terus mengalir dari sela-sela bibirnya, sementara matanya membelalak menatap langit malam yang hitam pekat seperti kopi kesuakaan Said. Langit itu adalah langit espresso, setidaknya americano. Kalau bukan hitam, bukan langit malam namanya.
"Lama-lama nggak akan sakit, kok," gumam Said pelan.
Ia tidak dapat melihat jelas ke arah Melinda. Entah apakah yang masuk berikutnya adalah tangan kiri atau kanan, yang jelas perkataan Said ada benarnya.
Ketika ia berhenti melawan, semuanya terasa lebih lancar. Tidak terlalu menyakitkan lagi, bahkan mungkin ia bisa menikmatinya. Pinggang Melinda terasa ramping di mulutnya, rasanya seperti menyeruput mi. dan bagian terakhir yang ia rasakan masuk ke dalam mulutnya adalah jempol kaki Melinda yang berkuteks merah.
Napasnya terengah-engah, mencoba mengambil oksigen sebanyak mungkin. Pandangan matanya berangsur-angsur kembali normal. Ia dapat merasakan berbagai titik di tubuhnya bergerak, seperti berkedut-kedut, tapi kemudian lenyap begitu saja. Ada perasaan lega bahwa ia tak kehilangan kesadaran.
Ia masih hidup. Melinda tidak memakannya, ialah yang memakan Melinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesempatan Kedua
HorrorIni adalah malam pertama Alma menjual diri. Ia tidak menyangka bahwa pelanggan pertamanya menyimpan rahasia gelap. --- Aborsi, kabur dari rumah, dan sekarang terlilit utang. Hidup Alma sudah begitu berantakan. Demi mendapatkan uang banyak dalam wakt...