5: High Heels

125 32 2
                                    


Tidak seperti yang dibayangkan Robi, kafe The Canary terlihat seperti coffee shop biasa, sama sekali tidak seperti kafe remang-remang tempat terjadinya transaksi prostitusi. Dari luar, tempat itu seperti direnovasi dari sebuah rumah tua bergaya Eropa—mungkin termasuk bangunan cagar budaya.

Robi memasuki kafe itu, melewati lampu-lampu berpendar kekuningan yang dibungkus dengan frame menyerupai kandang burung mungil. Alunan musik jazz instrumental terdengar pelan di latar belakang. Ia membayangkan, andai ia berada dalam situasi yang berbeda, ia mungkin akan dengan senang hati mengajak Alma kencan di tempat ini. Namun rasa canggungnya segera mengusir khayalan itu. Penampilannya sangat kontras dengan nuansa vintage di dalam kafe: jaket hoody dekil yang lembab dan basah, rambut acak-acakan, dan sepasang sneakers yang meninggalkan jejak ke manapun ia melangkah. Untunglah tempat itu relatif sepi. Dari yang bisa ia lihat, kira-kira hanya ada lima orang pengunjung di tempat itu.

Barista di belakang meja menatapnya ramah, menanyakan apakah ia ingin memesan kopi atau makan malam ringan. Tentu saja ia tidak berniat memesan kopi--ini bukan saat yang tepat untuk ngopi-ngopi cantik.

"Atau Mas ada janji dengan seseorang?" tanya barista itu, mungkin menyadari tatapan mata Robi yang sejak tadi memeriksa para pengunjung.

"Iya, saya ada janji dengan ... atas nama ...," Robi menghentikan kalimatnya. Ia sadar bahwa ia tidak tahu nama lelaki yang mem-booking Alma, "... namanya Alma."

"Alma?" tanyanya sambil memeriksa sebuah buku notes di atas meja.

"Alma Nurlayla."

Barista itu menggeleng. Ia tidak punya nama itu di catatannya. Seketika itu Robi menyadari bahwa kafe ini sepertinya sudah terbiasa di-booking untuk janji temu atau kopi darat antara orang-orang yang tak saling kenal.

"Rambut hitam lurus panjang sebahu, tingginya segini, kurus, dan ...."

Robi akhirnya mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto Alma yang ada di galerinya. Itu adalah foto Alma terkini yang ia ambil dari profil WhatsApp-nya.

"Oh, iya. Saya ingat. Tadi ada Mbak itu. Dia juga cari orang. Dia sempat nunggu, pesan long black, lalu sekitar satu jam yang lalu dia pergi sendiri."

Robi mengangguk. Kemungkinan besar itu memang Alma. Ia memesan kopi hitam selain karena ia memang menyukainya, juga karena itu adalah menu paling murah di kafe ini.

"Boleh tahu nama orang yang dia cari?"

Barista itu terdiam sesaat, kemudian saling tengok dengan rekannya yang sedang membereskan laci kasir.

"Mas polisi?" tanyanya sambil menatap Robi, lalu melirik ke arah pinggangnya.

Robi menggeleng. Ia sempat tergoda untuk menyamar menjadi polisi, detektif, atau wartawan, tapi ia tak memiliki persiapan apa pun. Berbohong tanpa persiapan hanya akan membuatnya tampak bodoh. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah berkata jujur dan berharap.

Ia menjelaskan bahwa Alma adalah mantan pacarnya dan saat ini sedang dalam bahaya karena akan bertemu dengan seorang pria asing. Untuk membuktikan itu, ia bahkan memperlihatkan foto-fotonya bersama Alma yang ia ambil sebelum mereka berpisah. Kebanyakan foto-foto itu berupa selfie, kecuali sebuah foto di photobooth resepsi pernikahan temannya.

"Mohon maaf, saya nggak bisa bantu. Sebaiknya masalah apa pun yang terjadi antara Mas dan mantan pacarnya diselesaikan secara baik-baik."

Robi menghela napas. Ia sadar bahwa ia tidak mungkin membuat orang percaya begitu saja dengan ceritanya. Ia dapat membayangkan bahwa di dalam kepala barista itu, dirinya adalah seorang mantan pacar yang abusif dan posesif, yang tidak rela mantan kekasihnya berkencan dengan pria lain, kemudian membuntutinya demi menggagalkan hubungan mereka. Tidak sepenuhnya salah, pikirnya. Namun, sekarang Alma bukan sekadar pergi blind date, ia sedang melacurkan dirinya sendiri demi uang, dan ia tidak bisa membiarkan hal itu.

Ia meninggalkan kafe itu dan membiarkan petugas kebersihan mengepel lantai yang basah di belakang langkahnya. Di luar kafe The Canary, ia memperhatikan sekeliling. Tidak ada kendaraan umum, bahkan taksi pun tak terlihat melintas.

Honda CBR Robi berjalan pelan menyusuri tepi jalan, melindas genangan-genangan air tanpa peduli. Matanya menyusuri setiap siluet yang dapat ia lihat di torotoar, berharap Alma adalah salah satunya. Namun nihil.

Satu jam sudah terlalu lama, pikirnya. Apa pun bisa terjadi dalam satu jam. Ia mulai berpikir untuk menyerah. Mungkin lebih baik bila ia pulang saja dan mendoakan keselamatan Alma. Namun, laju motor Robi tiba-tiba terhenti. Sesuatu di ujung sana membuatnya berhenti.

Sepasang sepatu hak tinggi tergeletak di pinggir jalan yang sepi, seolah sedang menadahi langit. Robi memarkirkan sepeda motornya, tidak peduli posisinya masih menghalangi sebagian jalan. Sambil membisikkan nama Alma, ia turun dari motornya lalu berlari ke arah sepasang sepatu itu. Ia mengambil sepatu itu, memperhatikannya, kemudian menahan napas.

Sepatu Alma.

Ia mengakui bahwa ia bukanlah orang dengan ingatan yang sangat baik. Ia bahkan sering kali melupakan hari ulang tahun orang-orang terdekatnya—termasuk Alma. Namun terkadang, tanpa sengaja ingatannya dapat merekam hal-hal acak yang tampak sepele.

Ia ingat betul sepatu hak tinggi itu adalah sepatu yang pernah dikenakan Alma saat mereka menghadiri resepsi pernikahan seorang sahabatnya. Awalnya Alma menolak mengenakan sepatu berhak tinggi. Ia beralasan bahwa sepatu pantofel flat yang ia miliki sudah cukup pantas untuk digunakan ke acara pesta.

--

"Ini juga bagus, kan? Ada pitanya juga," ucap Alma saat itu. Robi masih dapat mengingatnya dengan jelas.

"Bagus, sih. Tapi nggak ada salahnya, kan, kalau kamu sekali-sekali coba gaya lain? Lagipula, sepatu yang itu heels-nya nggak tinggi-tinggi banget," ujar Robi sambil menunjuk sepasang sepatu hak tinggi yang digeletakkan Alma di lantai kamar kost-nya. Ia pun tak paham kenapa saat itu ia berani-beraninya memancing emosi Alma.

"Ya udah, kamu aja yang pake. Kayanya kamu suka banget sama sepatu ini."

"Tuh, kan. Ngambek, deh. Tadi kamu sendiri yang minta saran."

"Saran tapi maksa banget. Curiga, kamu punya fetish sama high heels, ya?" ejek Alma sambil mencoba sepatu hak tinggi itu. Ternyata sangat pas di kakinya. Ia merasa lebih tinggi dan lebih seksi, seperti pramugari atau peragawati.

Alma mencoba berjalan, berputar-putar di kamar kost-nya yang sempit itu sambil melangkahi bungkus snack dan cangkir kopi sudah habis dan yang belum sempat dibereskan. Robi duduk di atas kasur sambil memperhatikannya, sesekali memujinya dan memberikan tepuk tangan seperti sedang menonton sebuah peragaan fashion. Semua tampak lucu hingga beberapa saat kemudian Alma tersandung kakinya sendiri dan terjatuh. Refleks, Robi menangkap tubuh Alma dan menghempaskannya ke atas kasur.

Mata mereka bertemu.

"Ternyata benar, ya?" ejek Alma sambil mengatur irama napasnya.

Robi tertawa. "Benar apanya?"

"Kamu punya fetish high heels."

Robi hanya mengangkat kedua bahunya, kemudian mencium bibir Alma. Ciuman itu membuat kesadaran Alma berpindah ke dimensi lain, sebuah dimensi yang membuat kamar kost yang pengap dan berantakan itu terasa seperti latar film percintaan Hollywood. Saat itu, ia masih merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mereka adalah dua insan yang saling mencintai dengan bebas di tengah ketidakpastian hidup. Namun hidup masih panjang, darah muda masih bergelora. Tak ada yang perlu ditakuti. Tak ada yang perlu ditakuti, kecuali ....

--

Robi meletakkan sepasang sepatu yang basah itu di tas ranselnya. Ia tahu bahwa sepasang sepatu yang tergeletak di tengah jalan bukanlah pertanda baik. Namun ia tidak tahu harus mencari Alma dari mana. Di hadapannya ada dua jalan yang sama-sama sepi: kiri dan kanan. Pada saat seperti ini, satu-satunya yang bisa ia andalkan adalah intuisinya. Intuisinya, seperti biasa, menuntunnya untuk memilih jalan yang lebih gelap.

Ia kembali menaiki sepeda motornya, kemudian melaju kencang, mengambil jalan sebelah kiri.

---

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang