17: Jangan Lagi

124 28 3
                                    

Di tengah jalan hutan, mobil itu meraung, lalu melaju cepat. Sepasang lampunya seperti mata monster haus darah yang menyoroti sosok tubuh Robi yang berdiri lunglai. Melinda menyeringai ketika bumper depan mobilnya berada semakin dekat dengan tubuh Robi.

"Hantam dia," bisik Said.

Hantaman tidak dapat terelakkan, pikirnya. Sekejap lagi, tubuh rapuh itu akan dihantam dan dilindasnya. Semakin dekat, semakin jelas wajah Robi tersorot lampu mobil. Mereka dapat melihat wajahnya yang berlumuran darah dan jaketnya yang compang-camping.

Namun sesaat sebelum tubuh itu tertabrak mobil, ia melompat ke samping dalam gerakan yang tak terduga. Melinda berusaha membelokkan stirnya, tapi refleksnya kurang cepat. Mobil itu mengerem mendadak. Said dan Alma terdorong ke depan, tapi tubuh mereka tertahan oleh sabuk pengaman. Mobil itu berhenti beberapa meter dari sebuah pohon besar di tepi jalan, nyaris menabraknya.

Said menghela napas, menoleh ke arah Melinda, kemudian melihat ke jendela belakang mobilnya. Ia memberi kode agar Melinda memasang rem tangan dan membuka kunci pintu, kemudian dengan tatapan mata yang awas, ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar.

"Ssst, jangan keluar," bisik Said kepada Melinda, kemudian menutup pintu mobil.

Ia memperhatikan keadaan sekeliling. Jalanan pegunungan yang cukup menanjak, pepohonan dan semak belukar yang kini terlihat seperti barisan siluet, dan beberapa titik cahaya dari deretan villa yang terletak jauh di ujung sana. Said mencari tubuh Robi yang tadi tampak terlempar ke samping mobil. Dalam keadaan penuh luka seperti itu, ia tidak mungkin bisa melarikan diri. Pecundang itu pasti masih ada di sekitar sini, pikirnya.

Dugaan Said tidak keliru. Ia mendengar suara gemerisik rumput di sebelah kanannya. Barisan semak terlihat bergoyang, lalu ia dapat melihat tubuh menyedihkan Robi yang sedang menggeliat di atas tanah. Robi mulai mengerang dan mendengus, seperti sedang menahan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.

Said mundur selangkah, kemudian memicingkan matanya dan memandangi pria itu.

"Ngapain ke sini?" tanya Said.

"Alma ...," ucap Robi. Suara serak dan napasnya terengah-engah.

"Jangan khawatir. Alma baik-baik aja," ucap Said sambil membetulkan posisi kacamatanya. "Dia udah nggak mau ketemu kamu. Udah tau, kan?"

"Bohong!" balas Robi sambil berusaha bangkit dan merangkak. Sekali lagi, dari mulutnya keluar nama Alma, tapi kali ini lebih mirip seperti sebuah erangan acak penuh kesakitan.Robi merangkak, tapi terpeleset, kemudian terjatuh lagi. Ia berusaha menyeret tubuhnya sendiri melewati semak belukar dengan tangan yang berusaha meraih ke arah mobil Said. Lewat kaca belakang mobil itu, ia mencoba melihat siluet sosok Alma yang sempat muncul, kemudian kembali hilang dalam kegelapan.

Melihat Robi merangsek di tanah seperti hewa melata, Said memalingkan wajah, kemudian mencari sesuatu di sekelilingnya. Ia melangkah ke tepi jalan yang dipenuhi bebatuan, kemudian berjongkok dan mengambil sebuah batu besar menggunakan kedua tangannya. Batu itu tampak berlumuran tanah di salah satu sisinya, tapi memiliki bentuk yang nyaris bulat seperti kepala manusia.

Said mengangkat batu itu sambil mengerang dan mengencangkan otot-otot lengannya, pertanda bahwa benda itu lumayan berat untuk diangkat seorang diri. Ia membawa batu itu sambil berjalan pelan ke arah Robi. Ketika kepala Robi sudah berada tepat di depan kakinya, ia mengangkat batu itu lebih tinggi lagi, lalu menghantamnya ke kepala Robi. "Ih!" geram Said, seolah ia sedang mencoba membunuh seekor serangga menjijikan yang mengganggu ketenangannya.

Terdengar suara hantaman yang cukup keras, kemudian sepi kembali.

Hanya dengan sekali hantaman, makhluk rapuh itu berhenti bergerak. Wajahnya hilang ditindih batu. Sayangnya, di tengah kegelapan itu Said tak dapat menikmati pemandangan pecahnya kepala Robi. Ia biarkan batu itu tetap menindih Robi, kemudian ia membalikkan badan dan mengacungkan jempol ke arah mobil, memberi kode kepada Melinda.

Mobil itu berjalan mundur, lampu hazard berkedip merah, lalu berhenti tepat di sebelah Said. Said melangkah ke arah mobil dan mengulurkan tangan untuk membuka pintunya, tetapi sebuah suara gesekan di belakangnya membuat ia berhenti. Ia menoleh ke belakang, melihat Robi sedang menggelindingkan batu besar dari kepalanya, kemudian perlahan-lahan berusaha bangkit. Suara erangan keluar dari mulutnya. Ia sama sekali tak ada bedanya dengan zombi sekarang.

Said mengerutkan kening melihat Robi yang mulai mampu menopang tubuhnya. Wajah dan telinga Said mulai memerah, rahangnya terlihat menegang dan gigi-giginya beradu."Bangsat!" umpat Said. "Bukan kamu monsternya di sini! Harusnya bukan kamu yang bangun terus dan nggak bisa mati!"

Ia membalikkan badan dan kembali bergerak mendekati Robi dengan kedua tangan mengepal. Namun belum sempat ia menghajar sosok zombi itu, tiba-tiba saja Robi mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya. Ia menodongkan sebuah pistol ke arah Said. Benda ini selalu ia pertahankan, bahkan ketika ia terjatuh dan terhempas ke dalam jurang. Tangannya gemetar, napasnya memburu, dan erangan tertahan keluar dari sela mulutnya. Meski tangan yang menggenggam pistol itu tampak lemah dan ragu, tapi dalam jarak sedekat ini, satu tembakan saja bisa langsung berakibat fatal bagi Said.

Mau tidak mau, Said menghentikan langkah. Ia mengangkat kedua tangannya. Setelah semua jerih payah yang ia lakukan, mati konyol di tangan pria bersimbah darah bukanlah hal yang ia inginkan. Namun Robi tampaknya tak punya keinginan untuk meminta Said menyerah. Satu-satunya alasan ia belum menembak Said saat ini mungkin adalah kondisi jari tangannya yang terlalu lemah untuk menekan pelatuk. Ia mengumpulkan dan memusatkan sisa-sisa tenaganya untuk sebuah perlawanan terakhir, hingga sebuah suara membuat pikirannya terpecah.

"Robi!" pekik suara itu. Suara Alma, suara yang sudah lama ia cari-cari.

Robi menoleh ke arah sumber suara itu. Alma tampak sedang melongok dari balik pintu mobil. Melihat itu, bibir Robi gemetar. Ia mencoba memanggil nama Alma, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.

Alma berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah yang hati-hati.

"Jangan, Rob! Jangan jadi pembunuh," ucap Alma sambil terus melangkah maju.

"Alma! La... Lari, Alma!" balas Robi.

"Jangan ... jadi pembunuh ... lagi. Robi ... udah cukup."

Kata-kata Alma membuat napas Robi tertahan. Perasaan bersalah yang sejak awal ingin ia lepaskan di hadapan Alma kini menggulung-gulung di dalam dadanya seperti sebuah ombak. Gulungan ombak itulah yang selalu membawanya terombang-ambing dan akhirnya terhempas dalam situasi ini. Tubuhnya mungkin sudah hancur sekarang, tapi pikirannya tidak pernah benar-benar lumpuh. Ia tidak ingin tertipu untuk kedua kalinya.

Robi mengalihkan moncong pistolnya ke arah Alma.

"Lo ... lo bukan Alma! Lo setan! Setan!" bentak Robi dengan suara terbata-bata.

Alma, atau Melinda, menghela napas. Ia tidak lagi berusaha membujuk Robi. Ekspresi wajahnya berubah. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping, sementara matanya menatap tajam ke arah Robi.

"Iya, memang bukan," jawabnya sambil terus menyeringai dan bergerak maju.

"Di mana Alma?" tanya Robi, terpaksa melangkah mundur, tapi terus mengacungkan pistolnya.

"Di sini juga," kata Melinda. "Di sini Robi ... Di sini."

Robi menahan napas. Jika ia menembak sekarang, ia mungkin akan membunuh Alma juga. Jika tidak, ialah yang akan mati.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang