3: Live Show

159 35 1
                                    

Gerimis mengetuk-ngetuk jendela kamar kost itu. Di dalamnya, suara musik disko menggema di antara dinding-dinding kamar berwarna pink. Seorang perempuan muda duduk meliuk-liuk di depan laptop sambil sesekali membuka kancing kemejanya satu per satu. Sesekali, ia akan tersenyum ke arah kamera, lalu menjulurkan lidahnya seperti anjing kehausan. Sementara itu, barisan teks bergerak cepat di layar monitor, kebanyakan berisi pujian-pujian gombal seraya merayunya agar membuka lebih banyak kancing baju lagi.

Sedikit lagi, bisiknya. Sedikit lagi targetnya akan tercapai. Beberapa hadiah digital sudah ia kumpulkan malam ini dan—meski belum seberapa dibandingkan pemasukan yang biasa ia terima—sudah cukup untuk menambal kebutuhan jangka pendeknya.

"Ayo, satu gift lagi Nadin buka semuanya. Habis itu Nadin off, ya!" ujarnya sambil berpura-pura akan membuka satu kancing lagi. Dia sudah mempelajari trik itu. Semua laki-laki sama saja. Ketika kita sudah berhasil menggenggam nafsu mereka, otak mereka pun akan menjadi tumpul, tak peduli sepintar apa pun atau setinggi apa pun IQ mereka. Om-om pejabat gendut di hotel ataupun cowok-cowok ceking di depan komputer, semua sama saja. Mungkin benar bahwa akal dan nafsu adalah dua sisi pada satu keping koin yang sama: tak terpisahkan tapi tak dapat muncul bersamaan.

Tiba-tiba saja, suara gedoran pintu membuat Nadin nyaris melompat dari kursinya. Suara gedoran itu terdengar berulang kali.

"Siapa?" teriaknya.

Tidak ada jawaban.

Nadin mencoba untuk mengabaikan, tapi tak lama kemudian suara gedoran itu kembali terdengar. Ia mulai merasa takut. Ada dua kemungkinan mengapa seseorang memukul pintu dengan sekeras itu: ia sedang marah atau ia sedang panik.

"Siapa?" tanyanya lagi sambil mengancingi kancing kemejanya yang terbuka sebagian.

"Alma di mana?" sebuah suara terdengar dari balik pintu. Bukan jawaban yang ia harapkan, tapi cukup menjawab.

"Gue nggak akan buka kalau lo masih gedor-gedor," ujar Nadin. Ia memperhatikan sekeliling kamarnya, berjaga-jaga apakah ada barang yang bisa digunakan seandainya laki-laki di balik pintu itu mengamuk.

Tidak ada senjata. Hanya sebuah sapu dan kursi lipat. Kursi lipat sepertinya bisa digunakan untuk memukul—ia pernah melihatnya di tayangan gulat WWE di televisi.

Suara gedoran itu berhenti. Nadin berjalan mendekat ke arah pintu sambil menyeret kursi agar tetap berada di jangkauannya.

"Please, ada yang mau gue tanyain," ujar suara di balik pintu. Kali ini suaranya terdengar lebih tenang, nyaris memohon.

Nadin menelan ludah. Sambil memberanikan diri, ia membuka pintu itu sebagian. Sebuah tangan menahan pintu itu dari luar agar tidak menutup kembali. Nadin berharap ia tak salah membuat keputusan.

"Gue boleh masuk?" tanya lelaki itu.

Nadin membuka pintu itu lebih lebar lagi dan membiarkan si laki-laki masuk. Laki-laki itu, pemuda berambut acak-acakan dengan jaket hoody warna merah, melangkahkan kakinya ke kamar kost Nadin. Sekarang wajahnya terlihat jelas. Ada bekas lebam dan memar di pipi dan pelipisnya, seolah ia adalah maling yang habis digebuki warga. Di bagian pinggangnya, ada sesuatu yang menonjol mendesak jaketnya. Apa yang ia sembunyikan di balik jaketnya itu? Pentungan? Pistol?

"Ngapain lo ke sini, Rob?" tanya Nadin dengan nada meninggi. Ia kenal laki-laki itu. Robi, pacar Alma. Mantan pacar, lebih tepatnya.

"Alma di mana?" tanya Robi.

"Emang lo peduli?" balas Nadin sinis.

Robi merogoh saku celana jeans-nya, mengambil sebuah ponsel. Setelah bersusah payah membuka kunci layar ponsel itu dengan tangannya yang agak basah, ia menunjukkan layar ponsel itu ke wajah Nadin.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang