00. 02 Sejatinya Di Bawah Hujan

7 3 0
                                    

-
[Bab 6]
-

Hal yang paling aku nantikan adalah waktu tidur dan bermimpi. 

Setidaknya aku merasakan bahagia meski sejenak. 

Itu adalah dunia yang aku mau. 

Terasa damai dan juga tentram. 

Namun nyatanya manusia hidup dalam realita yang pahit. 

Dimana cobaan Tuhan akan terus bertambah dan berulang. 

Mungkin sesuatu yang dinamakan 'kedamaian' sejatinya adalah fana. Diciptakan manusia untuk memenuhi ekspetasi semu. 

Lava ✅

Setiap Sabtu di sore hari, aku memiliki suatu kebiasaan. Termenung dalam khayal dan intropeksi diri di Saung (gazebo) ujung kampung yang dikelilingi oleh kolam berisi ikan Mas dan semacamnya. 

Lokasinya tak terlalu jauh mengingat rumahku dan Saung yang tujuh tahun lalu di bangun oleh Pak Sultan berjarak lima rumah saja. 

Dan rutinitas ini tentu saja diketahui oleh Cio. Teman masa kecilku itu tahu aku luar dalam. Tersimpan kepedulian dan rasa sayang yang tak ia tunjukkan secara langsung. Begitu yang aku tangkap beberapa tahun ini. 

Dan sial-nya jadwal sore ini bukanlah terik dari matahari yang menempa, tetapi mendung awan yang siap menumpahkan hujan. Sebuah fakta yang tak mempan untuk aku bisa beranjak dari sini. 

Kedua irisku terpejam menikmati rintikan hujan secara langsung, mengingat atap yang sudah rapuh dan bolong dimana-mana. Lagaknya sih seperti pemain film saja, haha. 

Namun tiba-tiba saja teduh menghampiri. Aku mengernyitkan dahi. Suara hujan masih terdengar tetapi tetes air tak juga jatuh ke wajahku. Karena hal itu mataku terbuka perlahan. 

"Mau masuk angin lo?" 

Itu Cio. Berdiri tegap di hadapanku dengan tangan kanan memegang payung dan tangan kiri yang masuk ke saku celananya. Dia berkata dengan ketus dan mata juteknya menyipit ke arahku. 

Lelaki itu sepertinya memiliki radar atau sinyal dari keberadaanku. 

Dimana aku berada, bahkan di tempat asing yang terasa mencekam, dia selalu muncul, berlagak hero dengan senyum tengil andalan atau sorot sinis ketika suasana hatinya sedang tak baik. 

"Kok tau gue di sini?" 

Cio menunjuk rumah di belakangnya, "itu rumah om gue, inget?" 

Ah. Tentu saja.

Itu alasan yang logis. 

Mendadak aku malu dengan kepercayaan diri yang berlebihan itu. 

"Ngapain?" aku berdeham pelan, mengalihkan topik pembicaraan. Cio yang malah mendudukan dirinya tepat di sampingku menjawab dengan heran.

"Duduk, lah. Yakali berak." 

"Gak salah." 

"Lo gak aneh-aneh kan tadi?" Cio memicingkan matanya. Dan aku sendiri mendengus kesal. 

"Aneh apa, gue dari tadi ngelamun aja." 

"Nah itu. Itu hal anehnya. Gimana kalau tiba-tiba aja lo kesurupan? Gak ada orang, lo mungkin ngegelinding ke balong." 

*balong : org sunda menyebut kolam ikan yg umumnya berukuran besar begitu

"Lo berlebihan." 

Lava Di Bulan Februari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang