04. In Case You Didn't Know

53 10 0
                                    

Aku terbangun dari tidurku. Entah kapan, semalam, aku jatuh tertidur. Yang terakhir aku ingat, aku masih berada di airport. Benar, memori Bulan Desember itu.

Begitu Rasi sudah tiba di Madrid waktu itu, ia langsung menghubungiku. Sejujurnya, saat itu, aku sangat terganggu dengan kata-kata terakhir yang ia bisikkan sebelum ia pergi. Ia membuatku bingung dengan memintaku menunggu ia pulang, tetapi kemudian, menyuruhku untuk jangan menunggunya apabila aku tidak mampu. Apa maksudnya..? Aku tidak mengerti, tetapi aku memilih untuk tidak menanyakan apapun soal itu kepadanya. Karena, aku takut, ia akan memperjelas maksudnya, yang ternyata tidak sesuai harapanku. Aku takut mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ingin dan tidak sanggup aku dengar. Akhirnya, aku membiarkannya seperti itu.

Namun, ternyata itu adalah suatu keputusan yang salah. Aku menahan diriku untuk tidak bertanya, sehingga secara tidak sadar, itu menumbuhkan benih-benih kecurigaan di dalam diriku. Rasa takut dan tidak percaya. Keraguan. Aku curiga, Rasi juga ragu dengan dirinya sendiri; apakah ia bisa menepati janjinya untuk kembali.

Dan, tentu saja, itu berujung pada konflik. Usia kami yang masih sangat muda, kendala jarak yang memisahkan kami, perbedaan waktu yang ada, dan rasa percaya yang semakin hari, semakin tergerus habis oleh ego dan kecurigaan kami, akhirnya berganti menjadi rasa tidak percaya dan keraguan kepada satu sama lain.

Aku sadar dan menyesal, bahwa usiaku lebih tua 5 bulan daripada Rasi, tetapi tampaknya akulah yang lebih tidak dewasa. Saat itu, Rasi sudah sampai pada puncak kemarahannya, ketika ia mengatakan, bahwa aku sama sekali tidak mendukungnya untuk fokus meraih cita-citanya. Padahal, menurutnya, ia melakukan itu semua untuk masa depan kami berdua. Untuk memberikan kehidupan yang baik untuk kami nanti.

Pada akhirnya, Rasi dihadapkan dengan 2 pilihan; aku atau masa depannya. Sebelum kami lost contact sampai sekarang, ucapan terakhirnya di telepon adalah, "Lo itu rumah gue, Kai. Selalu kayak gitu, sejak kita kecil sampai sekarang. Gue nggak nyangka, kita harus ngalamin ini semua dan sampai di titik ini. Berat buat gue, tapi gue nggak mau maksain apapun. Apa yang harus terjadi, biarin terjadi. Kalau emang harus kayak gini, gue ikhlas. Waktu yang bakal nyelesaiin semuanya. Nanti kita lihat; kalau lo emang rumah gue, mau sampai kapanpun gue pergi jauh dari lo, pasti gue bakal tetap pulangnya ke lo. Bukannya itu artinya rumah..? Tempat untuk pulang."

Mendengar suara menyedihkan Rasi menggema lagi di telingaku, membuatku harus menghapus air mata yang mulai membasahi pipiku. Aku memejamkan kedua mataku, menggeleng-gelengkan kepalaku dengan kuat, lalu menarik napas panjang, berusaha merilekskan tubuh. Nggak, nggak, nggak! Nggak boleh kayak gitu lagi, Kai!

Masih berbaring, aku memperhatikan pakaianku, dan baru menyadari, bahwa semalam, aku belum melakukan ritualku sebelum tidur, yaitu; menyikat gigi, mencuci muka, memakai skincare, dan mengganti pakaianku menjadi piyama. Ah, wajahku bisa rusak, kalau terus saja lupa mencuci muka dan memakai skincare di malam hari!

Meninggalkan perihal ritual sebelum tidur yang sedang aku pikirkan, tiba-tiba muncul hal lain yang terlintas cepat di kepalaku. Seketika, aku terkejut dan bangun ke posisi duduk, menoleh, mencari keberadaan handphone-ku, lalu menyambarnya.

Sial! Aku lupa, kalau dosenku memajukan jam kelas hari ini, yang seharusnya dimulai pukul 11, menjadi pukul 9. Mataku membelalak, menatap waktu yang sudah menunjukkan pukul 8. Aku merutuk. Inilah akibatnya, aku terlalu memikirkan Rasi! Aku hanya berharap, lalu lintas Kota Bogor pagi ini, bisa sedikit lebih bersahabat.

***

Secepat kilat, aku menuruni anak tangga menuju ruang makan di lantai 2. Ternyata, ada Nenekku, Wasti, sedang bercengkerama di meja makan bersama Ibuku.

ALL ABOUT YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang