06. Say You Won't Let Go

50 10 0
                                    

Setelah berpamitan dengan Sora dan Kak Harel yang harus segera masuk ke ruang kelas, aku dan Ayahku berjalan dan masuk ke dalam mobil. Sejujurnya, aku tidak tau, mengapa Ayahku tiba-tiba ingin menjemputku. Tetapi, waktunya memang pas sekali; aku ternyata tidak bisa pulang bersama Sora karena ia masih ada kelas, dan aku tidak membawa mobil karena tadi Rasi yang menjemput dan mengantarku. Dalam momen-momen seperti inilah, aku benar-benar menyadari, bahwa Ayahku memang adalah seorang Ayah. Ia selalu ada, di saat aku sangat membutuhkannya.

Mobil Ayahku bertolak keluar dari gerbang kampus, bergabung di jalan raya.

"Kakak tadi kenapa bisa berangkat sama Rasi?" tanya Ayahku.

Akhirnya, aku menceritakan kepadanya, apa yang terjadi sejak pagi hingga siang ini; mulai dari aku yang lupa bahwa jam kelasku dimajukan, berimbas kepada aku yang terlambat bangun dan lupa memberitahu Sora, mengakibatkan Sora sudah lebih dulu berangkat karena memiliki jadwal kelas pagi, sekalian menjemput Rinai, sampai bagaimana akhirnya Rasi bisa menjemput dan mengantarku ke kampus.

Ayahku mendengarkan ceritaku dengan tenang, sambil menyetir. "Ya, udah, lain kali, jangan sampai lupa sama jadwal kuliah kayak tadi lagi, ya, Kak," nasihatnya.

Aku mengangguk, tanda mengerti.

Ayahku mengusap kepalaku lembut, menggunakan salah satu tangannya. "Papa tau, ada sesuatu yang lagi ganggu pikirannya Kakak," lanjutnya. "Bukannya mau sok tau, tapi Papa rasa, mungkin itu ada kaitannya sama kepulangan Rasi..."

Aku melirik Ayahku sekilas, sambil berusaha untuk tidak memperlihatkan dengan jelas, bahwa sebenarnya apa yang ia katakan itu memang 100 persen benar.

"Maaf, kalau misalkan, Papa salah," ujar Ayahku. "Itu cuma menurut Papa aja.."

Aku tidak memberikan respon apa-apa terhadap apa yang Ayahku sampaikan. Benaran, deh, gue lagi nggak pengin bahas hal itu. Aku menggerutu di dalam hati.

"Kak..?" Ayahku memanggilku. "Kok ngelamun..?"

Aku menoleh kepadanya. "Ah, nggak, Pa, nggak ngelamun, kok," elakku. "Oh, ya, sebenarnya aku pengin nanyain ini dari tadi... Papa kenapa tumben, tiba-tiba mau jemput aku?" tanyaku, penasaran, dan sekaligus untuk mengalihkan pembicaraan.

"Ehm...," Ayahku terlihat berpikir sejenak. "Jadi, gini, Kak...," gerak-geriknya membuatku agak curiga. "Papa mau minta tolong sama Kakak, buat bantuin Papa."

Untuk sementara, aku mengangguk saja dulu. "Oke... Minta tolong apa, Pa?"

"Ehm...," sekali lagi, Ayahku berhenti untuk berpikir. "Papa ada project buat Kakak," ujarnya, akhirnya. "Project ini mungkin bisa Kakak pakai untuk nilai tugas kuliah Kakak, gitu..?" ia menginformasikan dengan sedikit ragu, membuatku jadi ikut bingung juga, mendengarkannya. "Papa nggak ngerti, sih, soalnya, kuliah arsitektur itu kayak gimana, tapi dari tugas-tugas kuliah Kakak yang selama ini Kakak kasih tunjuk ke Papa-Mama, kayaknya, sih, ini bakalan bisa Kakak pakai untuk nilai tugas."

Aku membulatkan mataku, tiba-tiba teringat sesuatu. "Pa, jangan bilang..."

"Yang udah sempat Papa ceritain sama Kakak waktu itu," Ayahku melanjutkan kalimatku. "Sekarang, kita ke kantor Opa. Nggak usah bilang ke Mama dulu, ya, Kak."

***

Aku dan Ayahku berjalan masuk ke dalam gedung kantor Arlandi Group. Para karyawan yang tak sengaja berpapasan atau berlalu-lalang di sekitar kami, tersenyum ramah, dan beberapa orang juga menyapa kami dengan sopan. Kami berdua masuk ke dalam lift, berjalan lagi sedikit, sampai akhirnya, tiba di ruangan kerja Kakekku.

ALL ABOUT YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang