Semua berkas pengajuan ceraiku sudah berhasil masuk. Jadwal sidang pun sudah keluar. Tapi, tentu saja aku tidak akan menghadirinya. Kubiarkan pengacaraku yang mengurus semuanya hingga akhir.
Dua minggu. Aku tidak berani mendekati Lira selama empat belas hari--kecuali saat gempa yang terjadi kemarin lusa. Aku tidak pernah sepanik itu seumur hidupku, jantungku seperti akan meledak saat tidak menemukan Lira. Beruntung, aku tiba tepat waktu saat kardus-kardus mulai berjatuhan.
Tanganku menyentuh plester luka di pelipisku. Adrenalinku benar-benar terpacu saat itu hingga tidak merasakan kulitku terluka di beberapa tempat. Aku hanya merasa lega melihat wajah Lira. Jika saja Pak Aji tidak segera menariknya, mungkin aku akan memeluknya dengan erat karena sangat merindukannya.
Aku memacu sepedaku untuk memeriksa beberapa tempat sebelum kembali ke pos jaga. Dari kejauhan aku melihat sosok Lira sedang memunggungiku. Dia menggunakan sebuah penjepit untuk merapikan rambutnya yang menutupi leher. Lalu, seperti biasa Vian mengajaknya mengobrol.
Tentu saja aku tidak merasa senang dengan kehadiran Vian yang terang-terangan memberikan perhatian pada Lira. Anehnya, di saat bersamaan aku merasa bersyukur Lira tidak kesepian dan memiliki teman bicara. Aku hanya perlu menahan diri beberapa minggu lagi. Aku pasti bisa melalui minggu-minggu berat selanjutnya. Ini semua demi Lira.
"Dit, di depan pintu gerbang ada yang mencarimu," kata Pak Joko saat aku tiba di pos jaga.
"Siapa, Pak?"
"Kayaknya sih istrimu."
Aku terdiam. Saat ini aku sangat enggan untuk bertemu Karina. Moodku sudah cukup buruk belakangan ini.
"Saya masih sibuk. Tolong suruh dia pulang saja, Pak." Aku yang masih berada di atas sepeda, kembali mengayuh pedal meninggalkan Pak Joko yang tampaknya bingung. Tentu saja karena aku menyembunyikan masalah perceraianku hingga tidak ada satupun yang mengetahuinya. Aku tidak ingin membesar-besarkan masalah rumah tanggaku agar nantinya tidak akan membebani Lira.
---
Nomor telepon tidak dikenal terus berusaha menghubungiku. Aku tahu itu adalah Karina, karena nomor utamanya sudah kublokir setelah dia berusaha bertemu denganku di tempat kerja seminggu yang lalu. Karina bahkan meminta bantuan orang tua dan beberapa kerabatku. Alhasil, kontak mereka semua juga kublokir karena aku merasa sangat terganggu.
Sidang pertama perceraian sudah berakhir kemarin. Aku menolak tahap mediasi dan memberikan semua harta bersama kepada Karina. Menurut pengacaraku, seharusnya hasil perceraian akan diputuskan di sidang kedua minggu depan. Mungkin karena itu, Karina seperti dikejar waktu untuk segera bertemu denganku. Padahal, menurutku tidak ada lagi yang bisa kami sepakati selain menunggu hasil perceraian.
Sebuah telepon masuk dari Satria tiba-tiba membuatku gugup. Saat ini belum pukul tujuh. Aku yakin ada hal penting hingga Satria meneleponku di hari Minggu pagi seperti ini.
"Dit, barusan aku dapat telepon dari Karina katanya dia akan ke rumah Lira untuk mencarimu." Suara Satria terdengar panik.
"Apa? Kenapa?" Aku terkejut. Jantungku berdebar dengan cepat.
"Sepertinya dia mengira kamu tinggal bersama Lira saat ini."
"Bagaimana dia tahu rumah Lira?"
"Aku juga nggak tahu. Sebaiknya kita segera ke sana sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Kita bertemu di rumah Lira. Tolong kirim alamatnya." Satria menutup teleponnya.
Aku panik. Kukirim alamat Lira via pesan kepada Satria sebelum menyambar kunci mobil dari atas nakas. Setengah berlari aku menuruni tangga.
Supri yang sedang menyapu halaman menegurku, "Mau kemana, Mas? Kok buru-buru?"
"Ada urusan penting. Tolong cepat bukakan pintu pagar."
"Nggeh!"
---
Kuhentikan mobilku tepat di belakang mobil hatchback berwarna merah. Aku mengenali nomor plat mobil itu.
Tanpa pikir panjang, aku keluar dari mobil dan mendapati pintu pagar rumah Lira terbuka. Suara-suara perdebatan juga terdengar cukup nyaring hingga memancing rasa penasaran beberapa tetangga sekitar. Aku berlari masuk dan menemukan Karina sedang meluapkan emosinya pada Lira secara fisik.
"Dimana Adit!?" Tangan Karina menjambak kasar rambut Lira dan menyudutkannya ke dinding. "Aku tahu dia di sini!"
"Apa maksudmu?" Lira mencoba melepaskan tangan Karina dari rambutnya.
"Lepaskan Lira, Karina." Aku segera menengahi dua wanita itu sebelum terjadi hal yang lebih buruk. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku mencarimu! Aku tahu aku akan menemukanmu jika mencarimu di rumah wanita jalang ini!"
Aku mengernyit. "Jaga mulutmu, Karina. Aku memang menyukai Lira, tapi kami tidak memiliki hubungan apapun." Sejujurnya, aku tidak bisa terima orang lain menghina Lira. Tapi, aku menahannya karena tidak ingin memperpanjang masalah ini. "Semua harta bersama sejak pernikahan sudah kuberikan padamu. Apa itu masih kurang?" tanyaku.
"Ini bukan masalah harta! Aku nggak mau bercerai! Aku mencintaimu!" Karina tiba-tiba menangis. "Kumohon, aku tidak ingin kita berpisah. Jika kamu tidak memiliki hubungan apapun dengan dia, kembalilah padaku. Aku akan berusaha agar kamu menyukaiku." Dia menarik lenganku, merengek seperti anak yang menginginkan mainan.
"Sebaiknya kita bicarakan ini di tempat lain." Satria dan seorang pria lain muncul dari balik pintu.
"Banyak tetangga yang merasa tidak nyaman dengan kericuhan di rumah ini. Aku akan mengatur pertemuan untuk kalian berdua." Pria tidak dikenal itu dengan tenang membimbing Karina berjalan keluar rumah. "Mbak Karina harus tenang. Aku dan Mas Satria akan mengatur pertemuan kalian berdua. Sekarang pulanglah dulu."
Seperti dihipnotis, Karina menuruti perintah pria itu dan masuk ke dalam mobilnya. Dengan sisa-sisa air mata di wajahnya, Karina menatapku sebentar dari jendela mobil sebelum akhirnya memacu pergi mobilnya meninggalkan rumah Lira.
"Maaf, sebelumnya saya harus memperkenalkan diri. Nama saya Alex. Saya pengacara yang ditunjuk Mbak Karina. Mohon maaf sebesar-besarnya tentang perbuatan klien saya terutama pada Mbak Lira." Dia memberikan sebuah kartu nama pada Lira. "Saya mewakili Mbak Karina akan bertanggung jawab atas kejadian ini."
Sesaat, Lira hanya diam menatap kartu nama di tangannya. "Aku baik-baik saja."
Alex menampilkan senyum bisnisnya. "Baiklah, kalau begitu. Saya pamit dulu." Pria itu pun berjalan pergi.
"Aku akan menunggu di luar," kata Satria yang akhirnya juga pergi meninggalkanku berdua bersama Lira.
Mataku beralih ke arah Lira. Rambutnya berantakan. Daster yang dikenakannya sudah tidak lagi rapi. Kacamata yang biasa bertengger di hidungnya, jatuh di lantai dengan lensanya yang retak. Luka cakaran juga terlihat di beberapa bagian tubuhnya.
"Maafkan aku." Aku menahan diri untuk tidak melakukan kontak fisik apapun. "Aku tidak tahu bagaimana Karina bisa mengetahui alamat rumahmu."
"Mas Adit benar-benar akan bercerai?" Mata Lira yang sendu tanpa ragu menatapku. "Apa karena itu Mas menghindariku?"
Aku mengepalkan kedua tanganku. "Terlalu sulit bagiku menahan diri jika berada di dekatmu. Aku tidak ingin kamu terseret ke dalam masalah rumah tanggaku saat ini. Jadi, aku menghindarimu." Kepalaku tertunduk, entah kenapa merasa kesal dengan posisiku saat ini.
"Beberapa hari yang lalu, aku putus dari Geo."
Mataku menatap Lira tidak percaya. "Apa?" Kupikir wanita itu tidak akan berani keluar lebih jauh dari zona nyamannya, terutama saat aku sama sekali belum memberi kepastian. "Kamu memilihku?"
"Ya. Tapi, sejujurnya aku sempat tidak yakin karena sikap Mas belakangan ini. Aku sedikit lega mendengar alasan Mas melakukannya bukan karena perkataanku terakhir kali." Lira tersenyum. "Aku memikirkannya terlalu berlebihan."
Aku sangat ingin memeluknya. Tanganku mengepal semakin erat. Aku terus memberikan sugesti pada diriku sendiri agar tidak kelepasan membuat hal bodoh saat ini. "Maukah kamu menungguku? Aku berjanji akan menyelesaikan semua ini dengan cepat. Jadi, kumohon tunggulah aku."
Lira mengangguk pelan. "Ya. Aku akan menunggumu, Mas."
YOU ARE READING
Infidelity
RomanceLira: Seorang wanita berumur 23 tahun. Bekerja di sebuah perusahaan produksi dan dengan cepat menempati posisi manajer di kantor cabang. Memiliki kekasih bernama Geo, yang saat ini sedang mengenyam pendidikan strata 2. Adit: Seorang pria berumur 25...