Part 2: Adit

2.1K 89 0
                                    

Nalira Azmi. Nama yang cantik untuk wanita yang cantik.

Aku menatap seorang wanita berkacamata bertubuh semampai dari kejauhan. Wanita itu sedang mencatat sesuatu di kertas di tangannya, kemudian kembali fokus pada tumpukan barang di depannya yang sedang dalam proses pemindahan ke dalam peti kemas. Seorang pria yang kukenal bernama Vian mendekat ke arah wanita itu dan memberikan sesuatu yang tidak dapat kulihat. Wanita yang kupanggil Lira itu meletakkan kertas di atas meja dan mulai merapikan rambutnya.

Sesaat napasku terhenti. Lira menarik rambutnya ke atas dan membentuk kuncir kuda, menunjukkan tulang lehernya yang sangat indah. Lira pun tersenyum kepada beberapa pria lain yang tampak gugup melihatnya. Kemudian, dia mengalihkan tatapannya tepat ke arahku yang sedang mematung. Walaupun agak kaku, aku mencoba tersenyum dan Lira membalasnya.

"Adit." Seseorang menepuk bahuku. Pak Aji, kepala gudang, berdiri di belakangku sambil merapikan rambutnya yang sedikit basah. "Nanti aku minta tolong kamu bantuin muat barang ya? Kayaknya aku kekurangan orang, deh. Padahal aku sudah minta berkali-kali sama Pak Lesmono buat dicarikan orang baru."

"Baik, Pak."

"Kamu lihatin apa sih dari tadi?"

Aku dengan cepat menggeleng. "Nggak lihat apa-apa kok, Pak," kataku panik.

"Ada yang mencurigakan." Pak Aji memberikan tatapan menyelidik. "Kamu naksir sama Lira ya?"

Aku tertawa kaku. "Apaan sih, Pak? Jangan sebar gosip-gosip aneh."

Pak Aji tertawa nyaring. "Tapi memang anak itu cantik. Wajar saja kalau bakalan banyak yang kecantol. Kamu kan sudah punya satu di rumah. Mengalah sama temen-temenmu yang masih jomblo. Masa' sudah punya masih ngembat juga."

Aku merasakan tanganku yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Mungkin seperti ini rasanya ketahuan berselingkuh, padahal aku belum melakukan apapun dan hanya menatap dari kejauhan. "Pak Aji ngawur, ah!"

----

Sudah dua kali aku memutari kawasan gudang untuk pemeriksaan rutin menggunakan sepeda gunung. Aku berhenti di depan ruang loker dan melihat jam tanganku. Sudah memasuki jam istirahat. Tampak beberapa karyawan keluar dari ruang loker dan menyapaku.

"Mas Adit, mau ikut kami makan?" tanya seorang wanita paruh baya yang sedang bersama tiga wanita lain duduk di depan ruang loker. Mereka tampak membawa kotak bekal berisi bermacam jenis makanan.

"Terima kasih, Bu Tri. Saya tadi sudah titip makan sama Pak Joko."

"Kalau gitu makan bareng aja mas di sini. Kan lebih enak kalau makan sama-sama," kata seorang wanita yang lain.

Aku tersenyum. "Iya, Bu Wiwik. Nanti kalau sempat, kita makan sama-sama. Saya harus periksa keadaan dalam gudang dulu. Permisi." Aku kembali mengayuh sepeda, memasuki gudang.

Beberapa karyawan masih bersiap-siap untuk istirahat. Sebagian kecilnya masih melakukan pekerjaan, termasuk Lira.

Kuberanikan diri untuk menegurnya. "Mbak Lira nggak makan?" Tampaknya pertanyaanku mengejutkannya. Wanita itu sedikit terperanjat dan hampir menjatuhkan kalkulator di tangannya.

"Saya nanti istirahat setelah Pak Aji selesai istirahat. Mas pasti tahu kan kalau di sini sedang kekurangan orang, jadi Pak Aji membagi pekerjaannya ke saya."

Dari jarak yang cukup dekat seperti ini, aku bisa melihat bulir keringat mengalir di sepanjang tulang lehernya. Lagi-lagi, napasku tertahan. Aku tidak tahu kenapa aku terus berpikiran kotor di sekitar Lira. Bisa saja saat ini aku sudah mencium bibirnya yang merekah merah itu, jika saja aku lupa dengan perkataan Pak Aji.

Aku menelan ludah. "Nanti mau makan sama-sama?" Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke arah lain.

"Boleh."

"Saya tunggu di dekat ruang loker, ya."

----

"Mas Adit sudah lama kerja di sini?" tanya Lira sambil menyantap nasi bungkus di depannya.

"Sekitar 2 tahun. Mbak Lira sendiri?"

Wanita di hadapanku itu tampak berpikir. "Kayaknya hampir sama, 2 tahun. Ngomong-ngomong, panggil Lira saja, Mas. Umurku baru 23."

"Ok. Lira." Aku berpikir. Entah berapa lama waktu yang bisa kugunakan untuk mengenal sosok wanita di hadapanku. "Kamu bakal kembali ke cabang, ya?"

Lira mengangguk. "Tapi belum tahu kapan pastinya." Tiba-tiba dia teralihkan dengan sesuatu. "Bentar, ya, Mas. Aku angkat telepon dulu." Dia menekan tombol ponselnya dan menempelkannya di telinga. "Halo." Dia terdiam, tampak sedang mendengarkan seseorang dari seberang telepon dengan seksama. Lalu, raut wajahnya berubah menjadi kecewa. "Ya, sudah, nanti aku pikirkan sendiri gimana aku pulang." Lira menutup teleponnya dengan kesal.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku ikut khawatir.

"Pacarku nggak bisa jemput aku, jadi aku harus nyari cara lain buat pulang." Lira memaksakan senyumnya. "Tenang saja, Mas. Aku nanti bisa telepon temanku, kok."

Aku hanya mengangguk. Ada rasa sedikit kecewa saat mengetahui bahwa wanita yang kusukai sudah memiliki kekasih. Tapi, aku sama sekali tidak mempunyai hak untuk bersikap seperti itu. Aku sendiri bahkan sudah beristri.

"Mas Adit dulu kerja dimana? Kok bisa jadi kepala keamanan di sini?" Pertanyaan Lira membubarkan lamunanku.

"Aku dulu bagian keamanan bank. Sempat pindah bank, terus karena rumah orang tua istriku di luar kota, aku resign dan coba cari pekerjaan di kota istriku. Ternyata nggak mudah cari kerjaan di kota kecil, jadi aku balik ke Surabaya dan dapat pekerjaan di sini."

Lira menatapku. "Istri? Berarti, Mas Adit bolak-balik keluar kota?"

Aku ragu untuk melanjutkan ceritaku. Aku terdengar seperti sedang membalas Lira.

Perasaan apa ini? Marah? Kenapa aku marah karena dia memberitahuku bahwa dia punya pacar? Apa yang sebenarnya kuharapkan? Lagi pula tidak mungkin Lira menyukai pria beristri sepertiku.

"Iya. Aku pulang pergi setiap hari naik kereta," lanjutku dengan lirih.

"Pasti capek, ya."

Lira tampak bersimpati. Aku merasa semakin kecewa karena tidak mendapatkan respon seperti yang kuinginkan. Sepertinya, hanya aku yang memiliki perasaan ini. Perasaan cemburu ini sangat membuatku tidak nyaman.

"Gimana kalau nanti aku yang antar kamu pulang?" Tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku.

"Tapi, Mas Adit kan harus ngejar jadwal kereta?" Lira terlihat ragu.

"Tidak usah dipikirkan. Itu masalah gampang." Saat ini bahkan aku tidak ingin memikirkan untuk pulang. "Yang terpenting kamu bisa pulang." Yang terpenting aku bisa bersamamu.

---

Jam sudah menunjukkan pukul lima lebih dua puluh menit. Sebagian besar karyawan sudah pulang dan hanya tertinggal Lira, Pak Aji, Vian, dan Mas Soni yang sedang mengunci pintu gudang. Mereka tampak mengobrol sebentar. Lira terlihat beberapa kali tertawa. Mungkin, salah satu dari ketiga pria itu mengatakan jokes yang cukup lucu hingga membuat Lira tidak bisa berhenti tertawa.

Pikiranku seketika kalut. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke arah Pak Joko yang sedang bermain catur bersama Pak Deden.

"Kamu kenapa, Dit? Mukamu kok serem banget gitu?" tanya Pak Joko sambil tetap fokus ke papan catur di hadapannya. "Ngomong-ngomong, kamu nggak pulang? Dicariin istrimu nanti."

Pak Deden memindahkan bidak catur. "Kalau tanya itu satu-satu, Pak. Dia kan jadi bingung."

"Saya mau nganterin Lira pulang, Pak," kataku.

"Lira siapa?" tanya Pak Joko.

"Anak baru itu loh, Pak," jawab Pak Deden. "Tuh yang lagi ngobrol sama Pak Aji."

Pak Joko mengalihkan pandangannya ke arah Lira. "Oh, si Mbak Cantik." Dia terdiam dan kembali fokus ke arah papan catur. "Hati-hati, ya, Dit. Jangan sampai kamu salah langkah. Dipikirin baik-baik."

Aku hanya diam dan tidak mencoba memberikan bantahan. Pikiranku hanya terfokus pada Lira, membuat egoku muncul dan melupakan logika. Sudah kuputuskan untuk mendapat hati wanita itu, apapun yang terjadi.

InfidelityWhere stories live. Discover now