Part 9: Lira

1.6K 58 2
                                    

Tubuhku masih terasa panas, terutama di bagian Mas Adit menyentuhku. Tidak ada pria yang membuatku seperti ini. Semuanya bisa kutolak dengan mudah tanpa perlu berpikir panjang. Aku tidak tahu kenapa tubuhku bereaksi pada sentuhan Mas Adit. Aku yakin malam ini aku tidak akan bisa tidur lagi.

Mas Adit muncul dari balik pintu dengan sebuah kantong plastik di tangannya. Dia meletakkan kantong itu di atas meja dan membuka dua bungkus nasi. Aroma khas nasi goreng jawa tercium di sekitarnya. "Aku akan ambil sendok dan air putih."

Sepertinya Mas Adit memaklumiku yang masih mematung di tempat. Kejadian tadi masih memenuhi pikiranku. Perasaan lega dan kecewa menjadi satu. Lega bahwa kami tidak melakukan hal yang lebih jauh. Kecewa karena di sudut hatiku, aku masih menginginkan sentuhan Mas Adit.  Saat kusadari alasan itu, harga diriku tiba-tiba menciut dan mendapati diriku seperti wanita murahan lainnya.

"Ini." Mas Adit mengulurkan sebuah sendok ke arahku.

Aku menyambutnya dengan setengah hati. Selera makanku hilang. Rasa lapar di perutku sudah hilang sejak tadi. Aku kelaparan dengan hal lain, tapi aku tidak ingin mengakuinya. Ini tidak benar.

Mas Adit menyentuh lenganku. Aku terkejut dan refleks menampiknya. Rasa panas itu muncul kembali.

"Kamu nggak apa-apa?" Mas Adit sama sekali tidak marah. Dia menatapku bingung. "Kamu sama sekali tidak menyentuh makananmu dan aku memanggilmu berkali-kali."

Aku mengerjap. "Benarkah?" Aku tidak mendengarnya.

"Wajahmu memerah." Lagi-lagi tangan Mas Adit menyentuhku, kali ini di dahi. "Kamu demam. Kupikir tadi panas tubuhmu hanya reaksi karena aku menciummu. Maafkan aku, lain kali aku tidak akan lupa meninggalkan jas hujanku lagi. Mau kuambilkan obat?"

"Nggak apa-apa, Mas. Nanti aku ambil sendiri." Aku berusaha tetap bersikap seperti biasa. Kuambil sesendok nasi goreng dan melahapnya.

"Malam ini aku akan menginap, ya?" tanya Mas Adit kembali. Dia menatapku khawatir. Sendok di tanganku pun diambilnya dan mulai menyuapiku. "Aku akan tidur di sofa. Kurasa itu lebih baik daripada meninggalkanmu dalam keadaan demam seperti ini."

"Aku nggak apa-apa."

Mas Adit menggenggam tanganku. "Apanya yang nggak apa-apa? Tanganmu gemetaran gini."

Aku tidak bisa melepaskan genggaman tangan itu. Pikiran dan perasaanku berkecamuk. Semua ini benar-benar di luar kendaliku. Tanpa sadar, air mataku meleleh di setiap sudut mata. Akhir-akhir ini aku merasa selalu sensitif, cengeng, dan tubuhku pun seakan ikut rapuh. Aku bukan diriku yang kutahu bahkan badai menerjang sekalipun, aku akan tetap berdiri tegak di tempat. "Semua ini gara-gara Mas Adit."

"Iya. Maaf. Semua salahku." Tangan Mas Adit menyeka air mataku.

Tangisanku semakin keras. "Bukan! Semua ini salahku!"

"Nggak." Mas Adit memelukku. "Ini salahku. Semuanya salahku."

Emosiku saat ini sangat tidak terkendali. Aku menangis meraung-raung seperti seorang anak kecil. Kadang kupukul dada hangat yang memelukku dengan keras. Tapi, Mas Adit sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Dia hanya mengelus punggungku dengan lembut hingga aku merasa lelah.

Bahkan saat sudah kelelahan, air mataku masih belum mengering. Kurasakan mataku sangat bengkak saat ini. Jadi, aku memilih untuk memejamkan mata, menyerah dengan apa yang sedang kurasakan.

----

Sangat sulit membuka mata. Kelopak mataku terasa sangat berat. Aku hanya menghela napas dan dengan cepat menyesali perbuatanku tadi malam. Aku tidak tahu bahwa demam bisa merusak pemilihan keputusanku. Entah bagaimana aku akan menghadapi Mas Adit.

Di sudut mataku, aku melihat sesuatu di sampingku. Mas Adit tidur dalam posisi duduk. Aku dengan cepat merapikan dasterku yang sedikit tersingkap dengan selimut yang sepertinya sudah terlempar ke lantai. Kali ini aku berdoa di dalam hati tidurku tidak seheboh biasanya.

Kuakui tidurku tidak begitu cantik. Aku yakin tubuhku terus bergerak ke kiri dan ke kanan, karena setiap bangun kudapati selimut sudah tidak di tempat dan bajuku akan tersingkap. Semoga kali ini tidak seburuk biasanya. Pemilihan baju tidur yang salah.

Mataku melirik kembali ke arah Mas Adit. Sekarang aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tidur dalam posisi duduk dengan tenang. Aku pun teralihkan dengan garis rahang miliknya. Lalu, mulai mengamatinya tanpa kusadari.

Tiba-tiba, pria itu membuka matanya dan menatapku. Tubuhku membeku dan jantungku berdetak sangat cepat. Aku yakin walaupun mataku bengkak, sangat jelas bahwa aku sedang mengamatinya.

Mas Adit mendekat ke arahku dan menyentuh dahiku. "Demammu sudah turun. Syukurlah."

"Mas Adit kenapa tidur sambil duduk?" Aku berharap dia tidak menganggapku seperti seseorang yang akan menerkamnya saat tidur.

"Kamu menggenggam tanganku sepanjang malam. Kurasa kamu tidak mengingatnya."

Dahiku berkerut, seakan tidak percaya dengan apa yang telah kulakukan. "Aku sungguh melakukannya?" Aku buru-buru bangkit dari tidurku dan terantuk dipan ranjang. Aku mengerang dan tampaknya membuat Mas Adit ikut terkejut.

Mas Adit seperti melompat ke arahku dan mengusap kepalaku yang sakit. "Kamu nggak apa-apa? Jangan tiba-tiba begitu, pelan-pelan aja bangunnya."

"Iya, Mas. Aku nggak apa-apa." Wajah kami begitu dekat. Tiba-tiba saja kejadian tadi malam berputar kembali di otakku. Aku benar-benar sudah gila! Sebenarnya apa yang dilihat Mas Adit dariku?

"Kamu membuatku sangat khawatir." Mas Adit mundur dan duduk kembali di kursinya. Dia menghela napas panjang.

"Maaf."

Mas Adit menatapku. "Tidak. Aku yang minta maaf." Dia menghela napas panjang lagi. "Aku akan memasak sarapan. Kamu kembalilah istirahat." Dia mengambilkan selimut yang tergeletak di lantai dan menutupi bagian bawah tubuhku.

InfidelityWhere stories live. Discover now