ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo
WARNING!!
(20+)
Chapter ini memuat konten dewasa.
Harap para pembaca bersikap bijak.
Jika pembaca merasa tidak nyaman, disarankan untuk tidak membacanya.ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo
Selama perjalanan pulang, Lira selalu berada di pikiranku. Wangi dan hangat tubuhnya memenuhi otakku sepanjang malam, hingga aku tidak menyadari keberadaan Karina yang sekarang sedang tidur di sampingku.
Malam ini aku pulang menggunakan sepeda motorku alih-alih memakai kereta. Sudah tidak ada jadwal kereta ke arah rumahku setelah lewat jam 8 malam.
Sebenarnya jarak rumah dengan tempat kerja menggunakan kereta ataupun sepeda motor tidak terlalu jauh berbeda. Hanya saja, aku bisa menggunakan kesempatan di kereta untuk beristirahat sejenak selama perjalanan pulang. Tapi, aku sadar mulai hari ini aku rela melakukan apapun untuk seorang gadis bernama Lira, walaupun jika aku harus mengurangi jam istirahatku.
Setiap kali mengingat panggilan telepon itu--dengan foto Lira yang sedang dicium seorang pria lain--rasa amarahku selalu muncul. Aku baru mengenal gadis itu hari ini, dan aku sudah sangat cemburu karena hubungannya dengan pacarnya. Aku pun mulai mengutuk Tuhan karena baru mempertemukanku dengan Lira, di saat aku telah terikat dengan orang lain.
Aku menatap Karina yang terlelap di sampingku. Dia mendengkur pelan dan tidur dengan sangat tenang di saat suaminya sedang memikirkan wanita lain. Aku sangat terkejut ketika Lira tiba-tiba menyinggung tentang istriku, setelah aku memeluknya tiba-tiba. Di saat itulah aku merasa Lira mulai membangun tembok di antara kami berdua. Entah hal nekat apa yang akan kulakukan nantinya untuk menghancurkan tembok itu.
Tubuhku mulai bergidik. Apa yang akan kulakukan jika Lira menjauhiku karena reaksiku yang kulakukan akibat emosi itu? Logikaku sama sekali tidak bekerja jika aku berada di sekitar gadis itu. Ini seperti mimpi buruk di tengah mimpi indahku.
----
"Mas Adit." Lira memanggilku dengan lembut. "Mas nggak apa-apa?" Dia menatapku, tampak khawatir.
"Lira?" Aku terkejut dengan penampilan Lira yang sedang menggunakan gaun tidur berwarna merah. Rambut hitamnya yang terurai, kulit tubuhnya yang berwarna kuning langsat, dan sebagian buah dadanya yang berusaha menyembul keluar refleks membuatku hilang akal.
Aku mendorong tubuh Lira ke ranjang dan memosisikan tubuhku di atasnya. Wajah Lira tampak terkejut, namun sama sekali tak ada penolakan ketika aku mulai mencium bibirnya. Tanganku pun mulai bergerak ke arah buah dadanya dan meremasnya dengan pelan.
Desahan demi desahan keluar dari bibir Lira. Aku menurunkan bagian leher gaun malamnya hingga buah dadanya menyembul keluar. Kutelusuri lehernya dengan bibirku, menggigitnya kasar hingga terlihat membekas merah.
"Sakit, Aditya." Tiba-tiba suara Lira berubah menjadi suara wanita lain. Aku berhenti dan menatap wanita yang sekarang berada di bawahku. Tampak Karina meringis kesakitan di tengah desahannya yang masih berlanjut.
Aku menarik tanganku dari buah dada Karina, kemudian bergerak menjauh darinya. Sesuatu di bawah sana, ketegangannya perlahan-lahan menghilang. Aku menyadari Lira bahkan sudah memasuki pikiran alam sadarku. Kupikir, aku benar-benar sudah sangat terobsesi dengan gadis itu hanya dalam waktu kurang dari 24 jam.
"Kenapa kamu tiba-tiba menggigitku?" tanya Karina yang terdengar masih terkejut. "Kamu tidak pernah seperti itu sebelumnya. Biasanya kamu sangat lembut saat melakukannya. Apa kamu habis menonton video porno?"
Aku sedang tidak ingin menjawab runtutan pertanyaan itu. Tapi, kuakui aku memang begitu bergairah tadi--saat kukira aku akan bersetubuh dengan Lira. "Tidak. Aku juga tidak tahu," jawabku seadanya. "Tidurlah lagi. Maaf sudah mengigitmu dan mengganggu tidurmu."
----
Sebuah sepeda motor berhenti di depan pintu gudang. Lira dan seorang pria yang kutebak adalah pacarnya, sedang membicarakan sesuatu. Pria itu pun mencium kedua pipi, kening, kemudian hidung Lira dengan lembut. Aku yang sedari tadi melihat pemandangan itu refleks mendekati sepasang sejoli itu.
"Hai, Lira," sapaku, mencoba bersikap biasa di tengah rasa cemburuku yang meluap-luap. "Selamat pagi."
Kulihat Lira tiba-tiba salah tingkah dan mencoba menyembunyikan tangannya yang sedang bergandengan dengan pacarnya. "Iya, Mas Adit, selamat pagi."
"Jadi, ini pacarmu? Kenalin namaku Adit." Aku mengulurkan tanganku berpura-pura tenang di hadapan Geo.
"Oh, iya, saya Geo. Pacar Lira." Geo membalas uluran tanganku. "Salam kenal ya, Mas Adit." Dia tersenyum, senyuman yang menunjukkan bahwa Lira belum menceritakan apapun tentang kebersamaanku dengannya kemarin.
"Sayang, sudah cepetan ke kampus. Nanti kamu nggak sempet ketemu dosbing loh!" Lira mencoba mengalihkan perhatian Geo. "Jangan lupa nanti jemput aku, ya."
"Oke. Aku pergi dulu, ya." Geo mulai menghidupkan mesin motornya. "Mas, mari!" Dia menegurku kembali sebelum akhirnya memacu sepeda motornya meninggalkanku bersama Lira.
Lira menatapku sesaat. "Aku masuk duluan, Mas." Kemudian, dia setengah berlari meninggalkanku berdiri di pintu gerbang.
----
Sejak pagi hingga masuk jam istirahat, Lira selalu menghindariku. Aku tahu dia pasti sangat tidak nyaman bersamaku setelah kejadian tadi malam. Tapi, aku sangat khawatir ketika melihat beberapa kali Lira berjalan terhuyung-huyung dengan kantung mata yang begitu jelas. Jadi, aku selalu mengecek keadaannya walaupun dari kejauhan.
"Dit," panggil Pak Aji yang selalu tiba-tiba muncul entah dari mana. "Tolong cariin Lira, ya. Dari jam istirahat tadi dia belum balik. Aku takut kenapa-kenapa soalnya dia sempat bilang mau beli obat sakit kepala."
Obat sakit kepala?
"Iya, Pak. Saya coba cari Lira."
Aku memulai pencarianku di sekitar gudang, mengecek toko kelontong yang kemungkinan didatangi Lira untuk membeli obat. Kemudian, berlanjut di area dalam gudang yang begitu luas. Selama kurang lebih setengah jam melakukan pencarian, hasilnya masih nihil. Hanya tinggal ruang loker dan toilet karyawan yang belum dilakukan pengecekan.
Sebuah kaki terlihat dari arah pojok ruang loker. Aku menemukan Lira tertidur di lantai dengan menyandarkan tubuhnya di bagian sisi samping loker. Selain itu, ada sekaplet obat sakit kepala yang sudah dirobek satu bagian, serta botol air minum berada di samping tubuhnya.
"Lira," panggilku lembut. "Kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tanganku ke keningnya. Suhu tubuhnya kurasa masih normal. "Nanti kamu masuk angin kalau tidur di lantai begini."
Aku mengangkat tubuh Lira dan memindahkannya ke sebuah bangku panjang. Kuambil jaketku dari dalam loker untuk menopang kepala Lira sebagai bantal.
Tiba-tiba, aku teringat tentang tadi malam. Entah itu hanya halusinasi atau sebuah mimpi, tapi aku tidak menyangka akan mengira Karina sebagai Lira. Mungkin karena aku sempat memeluk Lira beberapa saat, aku pun sadar bahwa Karina bukanlah Lira.
Bibir merah Lira menggodaku untuk mendekatinya. Aroma lavender dari tubuh gadis itu semakin menarikku. Aku mulai mengecup lembut dahinya, bergerak turun ke pelipisnya, hingga ke pipinya. Tubuhku mulai sedikit bergetar dan tegang saat mulai mencium hidung Lira, kemudian bibir merah itu. Hangat dan lembut.
Aku tersentak ketika mendengar suara Pak Aji dari arah luar ruang loker. Sekali lagi aku ditarik ke dunia nyata. Sekali lagi aku menyadari betapa dalamnya obsesiku kepada gadis di depanku.
YOU ARE READING
Infidelity
RomanceLira: Seorang wanita berumur 23 tahun. Bekerja di sebuah perusahaan produksi dan dengan cepat menempati posisi manajer di kantor cabang. Memiliki kekasih bernama Geo, yang saat ini sedang mengenyam pendidikan strata 2. Adit: Seorang pria berumur 25...