Part 13: Lira

252 16 2
                                    

Bungkusan nasi pecel yang sudah terbuka di depanku sama sekali tidak kusentuh. Aku menatap kosong nasi yang sebagian besar sudah tidak berwarna putih lagi--bercampur dengan sayuran hijau dan kuah saus kacang yang cukup banyak. Di atasnya sebuah ayam goreng potongan sedang serta perkedel jagung melengkapi menu makan siangku hari ini.

Hari ini kegelisahanku memuncak. Selama beberapa hari aku tidak bertegur sapa dengan Mas Adit. Padahal biasanya pria itu akan muncul dengan wajah berseri-seri, mengambil setiap kesempatan untuk mengobrol sebentar di tengah pekerjaan kami.

Saat pembicaraan terakhir kami, aku memang meminta pria itu memberikanku waktu untuk berpikir. Tapi, tidak kusangka dia sama sekali tidak menyapaku, bahkan sama sekali tidak muncul di hadapanku. Aku hanya sesekali melihatnya mengayuh sepeda berkeliling pabrik dari kejauhan.

"Apa aku salah bicara?" gumamku, tanpa sadar mengeluarkan isi pikiranku.

"Salah bicara apa?" tanya Vian yang duduk di depanku. Pria itu menatapku bingung. Alisnya bertaut. Tangannya yang hendak menyuapkan sesendok nasi pecel ke mulutnya, berhenti seketika.

"Sepertinya aku ada salah bicara dengan temanku." Aku tersenyum. "Dia tidak mengajakku bicara beberapa hari." Sekedar mengirim pesan atau telepon menanyakan kabarku pun tidak ada.

"Mungkin kamu tidak sengaja mengumpatnya," kata Vian. Kali ini sendoknya berhasil masuk ke dalam mulutnya.

Aku menghela napas dan mengedikkan bahuku. "Aku tidak mengumpatnya." Tanganku meraih sendok dan mulai mengaduk-aduk isi piringku.

"Tanyakan saja langsung."

Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Jika aku mengajak Mas Adit berbicara lebih dulu, dia pasti akan mengira aku memberikan lampu hijau untuknya.

Ini rumit. Seharusnya, aku memikirkan bagaimana keputusanku selanjutnya, bukan merasa gelisah karena tidak bertemu Mas Adit. Aku merindukannya.

Aku tersentak dengan pikiranku sendiri, membuatku tersedak makanan. Tanganku langsung menggapai botol air mineral dan menenggak isinya.

"Pelan-pelan makannya." Vian sangat terkejut dan hampir melompat dari kursinya. Dia segera membantu menepuk-nepuk punggungku karena batukku terdengar cukup kencang. "Kamu baik-baik saja?"

Mataku berair. Hidungku sakit. "Tidak."

---

Seberapa besar rasa sukaku pada Mas Adit? Pertanyaan itu mengusik di pikiran hingga beberapa kali membuatku tidak fokus dengan pekerjaan. Entah berapa kesalahan yang telah kulakukan hingga akhirnya Mbak Elin mengusirku ke sudut pabrik untuk melakukan hal remeh, yaitu mengecek persediaan gudang.

Tentu saja, lagi-lagi aku menatap kosong tumpukan kardus-kardus yang sangat tinggi di depanku. Di dalam otakku, aku sedang membayangkan skenario yang akan terjadi jika aku melanjutkan hubungan terlarang itu. Tapi tetap saja aku tidak ingin menjadi orang ketiga dan dicap sebagai selingkuhan. Aku akan mendapatkan kesan buruk dari semua orang.

Bagaimana jika Mas Adit pergi? Aku takut memikirkan kemungkinannya. Bisa saja aku akan menangis karena patah hati setiap malam selama satu minggu.

Aku mengerang, merasa pusing dengan pikiran rumitku sendiri. Ingin berhenti tapi juga tidak ingin.

Tiba-tiba saja mataku kembali fokus saat beberapa tumpukan teratas kardus-kardus di depanku bergerak condong ke arahku. Otakku berhenti berpikir beberapa saat. Dimana seharusnya saat ini aku bergerak cepat untuk menghindar, tapi kakiku sama sekali tidak bergerak. Hanya lenganku yang bergerak refleks untuk menutup wajah dan kepalaku. Kakiku lemas dan terduduk sambil memekik nyaring sesaat sebelum kardus-kardus itu menimpaku. Mungkin tampaknya kardus-kardus kecil itu tidak menyakitkan, padahal sebaliknya para karyawan sering cedera akibat sudut kardus yang tajam.

Aku menunggu beberapa saat untuk membuka mata dan melihat Mas Adit sudah berada di atasku. Mataku membelalak melihat pria itu melindungiku dari kardus-kardus yang berjatuhan.

Aku merasa linglung dan hanya bisa menatap sepasang bola mata di depanku. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Jantungku seperti berhenti berdetak saat melihat goresan luka di pelipis kanan Mas Adit. Sesaat sebelum bisa menyentuh wajahnya, seseorang menarikku.

"Kalian nggak apa-apa?" tanya Pak Aji. "Kamu bisa jalan?"

Aku mengangguk pelan. Pak Aji memapahku berjalan keluar area pabrik. "Apa yang terjadi?" tanyaku masih mencoba memahami insiden sebelumnya.

"Kamu nggak merasakan ada gempa?" tanya Pak Aji.

"Hah?" Otakku bekerja seperti komputer dengan kapasitas memori yang penuh, loading. "Gempa? Saya nggak tahu."

"Adit langsung masuk mencarimu saat tahu kamu belum keluar."

Pantas saja tumpukan kardus yang sudah disusun sedemikian rupa bisa jatuh begitu saja. Bagaimana bisa aku sama sekali tidak merasakan gempa?

Aku melihat dari kejauhan Vian dan seorang karyawan lain bernama Ari berjalan keluar bersama Mas Adit. Pak Aji berlari meninggalkanku setelah menitipkanku pada Mbak Elin dan karyawan wanita lain.

Secara terang-terangan aku menatap Mas Adit. Aku cukup khawatir dengan keadaannya saat ini, tapi terlalu sulit mendekatinya dengan banyak pasang mata di antara kami. Semua karyawan pabrik berkumpul di halaman untuk menghindari gempa susulan.

"Nggak ada luka kan?" tanya Mbak Elin.

Aku mencoba tersenyum. "Nggak, Mbak." Aku melirik perut Mbak Elin yang sudah cukup besar. Pasti sulit bekerja di saat hamil tua ditambah dengan kejadian seperti ini.

"Mbak Elin tadi panik banget pas tahu kamu belum keluar. Untung nggak brojol," kata Nita, salah satu karyawan yang bertugas sebagai admin gudang.

"Maaf, Mbak, aku nggak tahu ada gempa."

"Kamu kebanyakan bengong seharian ini!" Mbak Elin mencubit lenganku dengan kesal.

Aku memekik kecil. "Sakit, Mbak." Kuusap-usap lenganku yang sedikit memerah. "Maaf, maaf. Nggak bakalan bengong lagi."

"Tadi ditolongin Mas Adit kayak gimana, Mbak?" tanya Nita penasaran. "Pasti keren banget."

"Eh, iling Nita! Suami orang," kata Mbak Elin. Kali ini giliran Nita yang mendapatkan cubitan lengan.

Nita meringis. "Aku tuh ngefans aja, Mbak. Lagian, walaupun lajang, kayaknya nggak bakalan mau sama cewek dekil macam aku. Tapi, kulihat-lihat kalau lagi ngobrol sebelahan sama Mbak Lira tuh serasi banget. Aku yang jadi deg-degan." Nita tertawa kecil.

"Hush! Ngomong apaan, sih!" tegur Mbak Elin.

Aku hanya diam. Nita memang tipe orang yang suka berbicara ceplas ceplos sesuai keinginannya. Terkadang, dia tidak melihat situasi, kondisi, serta tempat dimana dia sedang bicara. Beberapa masalah muncul karena sikapnya itu. Untungnya, Mbak Elin yang selalu tegas bisa mengontrol keadaan. Bagaimana aku melakukannya nanti saat Mbak Elin cuti?

Kebiasaan jelekku sejak dulu adalah memikirkan hal tidak perlu yang belum tentu akan terjadi. Sama seperti memikirkan hubunganku dengan Mas Adit, aku juga mereka-reka bagaimana caraku bisa bertahan menggantikan posisi Mbak Elin sementara.

Lelah. Kali ini aku tidak ingin memikirkan apapun atau siapapun. Ketika sudah siap, akan kupikirkan kembali dan menghadapinya apapun yang ditakdirkan untukku.

InfidelityWhere stories live. Discover now