Part 7: Lira

1.5K 62 1
                                    

Dijodohkan? Masih ada yang seperti itu?

Aku menatap Mas Adit yang duduk di sampingku.  "Lalu, bagaimana dengan istrimu? Apa dia tidak memiliki perasaan apapun padamu?"

Mas Adit menggeleng. "Sejujurnya, aku tidak tahu tentang perasaannya. Kami jarang berbicara kecuali memang ada yang harus dibicarakan berdua."

"Mertuamu atau orang tuamu nggak pernah ikut campur dengan rumah tangga kalian, Mas? Maksudku masalah keturunan atau sejenisnya?"

"Maksudmu kehidupan seks kami?" tanya Mas Adit.

Aku mengangguk.

"Sebenarnya kami melakukannya beberapa kali. Aku tidak memungkirinya. Walaupun aku tidak punya perasaan padanya, bukan berarti aku impoten. Ada saat aku perlu melakukannya." Mas Adit menatapku, seperti mencoba membaca reaksiku. "Mungkin, aku hampir melakukannya lagi beberapa waktu lalu."

"Mungkin?"

Mas Adit mengangguk, seperti sengaja menyembunyikan sesuatu. "Itu hal memalukan. Sebaiknya nggak usah dibahas."

Dahiku mengernyit, merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan. "Aku kayak ibu-ibu tetangga kepo, ya?" Aku seharusnya paham tidak mungkin untuk menceritakan kehidupan seks kepada orang lain walaupun orang itu menyukaimu. Lagipula, secara status aku pun tidak punya hak untuk melarang, marah, atau bahkan cemburu tentang itu. Itu privasi pernikahan mereka.

Mas Adit tiba-tiba menggenggam tanganku. "Janji dulu nggak bakalan marah dan nggak menghindari aku."

Aku mengerjap mendapati reaksi Mas Adit. "Nggak usah, Mas. Lagipula nggak sepantasnya aku tahu tentang hal itu."

Mas Adit menatapku lekat. Tatapan matanya menjadi sangat serius. "Akhir-akhir ini aku sering mimpi kamu. Selalu dengan gaun yang sama, gaun tidur berwarna merah yang--" Dia berhenti dan menarik napas panjang. "--sangat seksi."

Apa!?

"Kamu pasti tahu kan apa yang terjadi jika hal seperti itu muncul di mimpi seorang pria?" tanya Mas Adit, mencoba membaca ekspresi wajahku lagi. "Rasanya sangat nyata ketika aku menyentuhmu. Seperti aku menggenggam tanganmu saat ini. Bibirmu, lehermu--"

"Berhenti." Aku membekap mulut Mas Adit dengan tanganku yang bebas. Bulu kudukku berdiri, entah karena terkejut atau karena sesuatu hal lain yang tidak ingin kuakui. Wajahku tiba-tiba terasa panas. "Sepertinya lebih baik Mas nggak cerita."

Mas Adit dengan lembut menarik tanganku dari mulutnya. "Semua yang kusentuh benar-benar sangat nyata seperti yang kita lakukan sekarang," lanjutnya. "Tapi, ketika kamu mengeluarkan suara, suara itu berbeda. Aku sadar itu bukan suaramu, tapi suara istriku." Dia menatapku kecewa seperti sedang mengingat kembali hal itu.

Giliranku menatap pria di depanku. Aku tidak mengira akan mendengarkan cerita fantasi seks seseorang dan fantasinya adalah aku. Kurasa wajahku benar-benar seperti apel matang saat ini.

"Rasanya seperti kamu diberi makanan yang ingin sekali kamu makan, kemudian aroma aneh keluar dari makanan itu yang membuatmu kehilangan selera."

"Kenapa bisa aku ada di mimpi Mas Adit seperti itu?"

"Kupikir aku benar-benar jatuh cinta padamu." Matanya tampak tulus. "Kamu sekarang adalah hal yang paling sangat kusyukuri dalam hidupku. Jadi, kumohon tunggulah aku. Aku akan menyelesaikan semuanya. Selama itu, aku ingin kamu tetap percaya padaku. Saat semua sudah selesai, berhati-hatilah, aku akan menggenggammu sangat kuat."

Menyelesaikan semuanya?

"Mas Adit mau cerai?" Bahkan diriku sendiri terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulutku.

"Iya. Tapi, aku tahu tidak akan semudah itu. Walaupun aku pria dan bisa mengatakan talak kapan saja, tapi hubungan keluarga kami begitu rumit. Aku tidak ingin menjadi pria yang egois dan melarikan diri begitu saja. Aku ingin keluargaku akan senang menerimamu nantinya sebagai pilihanku. Aku akan menyesal jika nanti kamu harus menjalani hidup yang berat untuk bisa berhubungan dengan keluargaku."

Dia sudah memikirkannya sejauh itu?

"Entahlah, Mas, semua ini sangat tiba-tiba untukku. Kita baru kenal beberapa waktu dan kamu begitu yakin memilihku. Padahal banyak wanita di luar sana dan aku yakin banyak yang menyukaimu, Mas. Rasanya sangat salah." Aku menunduk, memikirkan kembali semua perbuatanku beberapa waktu ke belakang.

Sejujurnya, aku merasa diriku tidak begitu menarik. Selama ini aku melakukan semuanya dengan biasa. Aku bahkan tidak bisa merias wajah. Sehari-hari aku hanya memoles bibir saja jika keluar rumah, tidak ada yang lain, hanya agar terlihat lebih segar. Heels pun kugunakan hanya karena kupikir tubuhku cukup pendek dari kebanyakan orang.

"Tidak apa. Kita pelan-pelan saja. Aku hanya akan menyelesaikan masalahku terlebih dulu. Selama itu, mari kita mengenal satu sama lain."

Aku mengangguk. "Baiklah." Kurasa tidak ada salahnya kali ini aku berterus terang dengan perasaanku sendiri.

----

Hujan turun dengan sangat deras. Sepeda motor yang dipacu Mas Adit pun akhirnya menepi di depan rumahku. Aku buru-buru membuka pintu pagar, sebelum akhirnya kami berlari kecil hingga ke teras rumah. Baju kami basah kuyup karena Mas Adit lupa membawa mantel hujannya.

"Bentar, ya, Mas, aku ambilkan handuk dulu." Aku melepaskan heels-ku yang sangat basah di depan pintu. Kuabaikan air yang menetes dari bajuku di setiap langkahku memasuki rumah. Kuambil dua handuk dari lemari dan segera kembali ke teras.

Mas Adit tampak sedang melepaskan sepatu dan kaos kakinya yang basah kuyup. Dia pun melepas jaket kulitnya yang juga tidak dapat membendung air hujan membasahi tubuhnya, membuat dada bidang dan perutnya yang terbentuk tercetak jelas dari balik kaos putihnya. "Maaf, ya, sepertinya mantel hujannya ketinggalan di kantor. Tadi sedang kujemur karena lembab."

Aku mendongak dan mengusap handuk di tanganku ke wajah Mas Adit. "Mas Adit tinggi banget."

Pria di depanku tertegun menatapku. Tiba-tiba, dia merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sama tinggi dengan wajahku. "Kurasa anak kita nanti juga akan tinggi sepertiku."

Wajahku semakin terasa panas. Cerita tentang fantasi sex Mas Adit kembali terngiang, membuatku mulai membayangkan hal-hal lain. "Apa, sih, Mas? Kayak yakin banget kita bakalan jadi suami istri."

"Aku yakin."

Sekelebat pikiran kotor bermunculan di otakku, membuatku salah tingkah. Kenapa aku jadi mesum begini? "A-aku akan mandi duluan. Setelah itu baru Mas Adit. Mas Adit tunggu saja di ruang tengah." Aku tergagap. Aku buru-buru kembali masuk ke dalam rumah dan segera masuk ke kamar mandi.

Semoga dia tidak menyadarinya. Kutatap wajahku di pantulan cermin wastafel. Wajah itu benar-benar sangat merah, kontras dengan kulitku yang sekarang tampak pucat karena kedinginan. Aku menutup mataku dan mengutuk diriku yang benar-benar tidak bisa berbohong pada saat seperti ini. Kurasa dia menyadarinya.

InfidelityWhere stories live. Discover now