Part 3: Lira

1.8K 85 0
                                    

Lagi-lagi aku harus berhubungan dengan pria beristri. Ada rasa sedikit kecewa saat mengetahui Mas Adit sudah beristri. Tapi, itu tidak begitu mengherankan mengingat ketampanan wajahnya. Zaman sekarang sangat sulit mencari pria tampan yang single, bahkan yang suka sesama jenis pun kemungkinan sudah memiliki pasangan.

"Kamu tinggal di sini rumah sendiri atau kos?" tanya Mas Adit saat motor berhenti di belakang palang kereta api.

"Rumah sendiri, Mas. Aku dulu kuliah di sini. Daripada buat kos, orang tuaku beli rumah. Jadi, kalau mereka mampir ke Surabaya ga perlu ke hotel."

"Berarti setelah wisuda, rumahnya kosong dong."

"Nggak, sih, Mas. Sempat disewakan. Cuma kebetulan banget pas aku ke sini, rumahnya lagi kosong."

Motor kembali menyusuri jalanan kota Surabaya. Aku menatap punggung Mas Adit. Tubuh pria itu terlihat sangat tegap. Mungkin karena pekerjaannya, dia dituntut untuk menjaga postur tubuhnya.

"Belok kanan, ya?" tanya Mas Adit.

"Iya, Mas. Rumahku nomor 7 yang pagarnya kayu ulin."

Motor pun berhenti di depan rumahku. Aku turun dari motor dan segera membuka pagar rumah. "Mas Adit mau mampir? Kumasakkin makan malam dulu, ya, baru pulang?" Aku sedikit berharap ada penolakan dari pria itu, karena secara logika perbuatanku bisa disalahartikan oleh orang lain. Tapi, tentu saja aku tidak ingin menghilangkan sopan santunku.

"Ok."

Hanya satu kata itu sudah cukup membuatku terdiam. Aku menatap Mas Adit dan bertanya-tanya mungkinkah pria itu memiliki perasaan kepadaku. Aku khawatir jika hal seperti ini akan terus berlanjut dan aku tidak sanggup menolak pesonanya.

Aku membuka pintu rumah dan mempersilahkan Mas Adit menunggu di ruang tengah sembari menonton televisi. "Tunggu sebentar ya, Mas."

Aku memutuskan untuk berganti pakaian santai sebelum akhirnya memulai memasak makan malam. Hanya perlu setengah jam saja hingga makanan tertata rapi di atas meja makan. Aku pun mengajak Mas Adit ke meja makan.

"Maaf, ya, Mas. Seadanya." Aku menyuguhkan sepiring nasi kepada Mas Adit. "Maklum, biasanya aku makan sendirian. Jadi, makanannya selera aku semua."

"Nggak apa-apa. Ini sebenarnya buat aku sudah banyak banget."

Meja makan kembali hening saat kami mulai makan. Hanya suara denting pecah belah yang terdengar. Aku tidak mencoba untuk memecah suasana ini. Sejujurnya, aku sangat takut akan semakin dalam jatuh hati pada pria di depanku. Aku bisa saja menjadi penyebab retaknya rumah tangga orang lain.

"Aku bantu cuci piring, ya." Mas Adit membantuku membersihkan meja makan.

Aku melirik jam dinding. Sudah hampir pukul delapan. "Sudah malam, Mas. Kasihan nanti Mas Adit nggak dapat kereta."

Mas Adit tersenyum. "Nggak usah khawatir. Aku bisa pulang naik motor." Dia menepuk kepalaku dengan lembut.

Ponselku yang kuletakkan di atas meja tiba-tiba berdering. Foto Geo sedang mencium pipiku muncul di layar ponsel dan membuat suasana antara aku dan Mas Adit menjadi tidak nyaman. Aku segera mengambilnya dan menekan tombol untuk menjawab telepon. "Halo?"

"Sudah pulang?" tanya Geo.

"Sudah. Diantar temen. Kamu baru selesai bimbingan?"

"Iya. Maaf, ya, Sayang. Aku jadi nggak bisa jemput kamu. Aku bahkan dari tadi siang belum makan. Mau makan bareng? Aku jemput, ya?"

Timbul rasa bersalah di dalam benakku. Entah apa yang akan terjadi jika Geo tahu sekarang aku sedang bersama laki-laki lain. "Aku sudah makan. Kamu pulang saja. Kasihan kamu kecapekan. Pasti Mama nunggu kamu pulang juga."

Aku terperanjat saat Mas Adit melingkarkan tangannya di pinggangku. Dia memelukku. Tubuhku menegang merespon sentuhan hangat pria itu.

"Besok mau kuantar kerja?" suara Geo membuatku semakin gugup.

"Nggak usah, Sayang. Aku besok berangkat sendiri."

"Ya, sudah kalau begitu. Aku pulang dulu, ya."

"I-iya. Hati-hati, Sayang." Aku menekan tombol ponsel untuk memutus hubungan telepon. "A-anu. Mas Adit kenapa ya?"

Tidak ada jawaban dari pria itu. Dia hanya semakin erat memelukku, membuatku tidak bisa bergerak.

"Mas Adit, bisa tolong lepaskan aku?"

Tangan-tangan itu melepaskan pelukannya dengan pelan. Napas Mas Adit masih menerpa tengkuk leherku. Aku tidak berani berbalik dan menatap pria di belakangku. Aku terlalu takut untuk menghadapi reaksi pria itu selanjutnya.

"Aku harus pulang." Mas Adit berjalan meninggalkanku ke arah pintu depan. Aku pun dengan gugup mengikuti langkahnya dari belakang.

"Mas," panggilku pelan saat Mas Adit mulai memakai helmnya. "Terima kasih lagi sudah mengantarku tadi."

Pria di depanku terdiam sambil menatapku. Aku yang semakin gugup, hanya bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain.

"Hati-hati di jalan. Salam buat istrimu, Mas." Aku memberanikan diri untuk mengucapkan kalimat terakhir. Kenyataannya memang seperti itu. Tak patut untuk kami melakukan hal yang lebih jauh dari sekedar rekan kerja.

Mas Adit mengangguk, seperti tersentak dengan perkataanku. Dia tampak memaksakan senyuman di wajahnya. "Iya. Sampai jumpa besok."

----

Suara alarm menyeruak ke seluruh penjuru rumah. Aku terbangun dan merasakan sakit kepala yang sangat luar biasa. Aku terlalu lelah untuk mencari ponselku yang berbunyi--yang kuingat kutinggalkan di meja makan sejak tadi malam.

Jam dinding menunjukkan pukul 4 tepat. Semalaman aku tidak bisa tidur karena memikirkan Mas Adit dan respon yang harus kuberikan padanya saat bertemu dia nanti. Mungkin sekitar pukul 2, aku baru bisa terlelap tidur karena kelelahan. Sekarang, aku ingin sekali kembali terlelap dan melupakan kenyataan itu.

Ponselku tiba-tiba berdering dengan suara yang berbeda. Siapa yang meneleponku sepagi ini?

Aku membuka mataku dengan paksa. Aku bangkit dari tidurku dan terhuyung-huyung berjalan ke arah ruang makan. Tampak Geo sedang mencoba melakukan video call.

"Hai, Sayang." Geo tampak sangat cerah di layar ponselku. "Baru bangun? Kamu sakit?"

Aku menggeleng pelan dan memaksakan senyumku. "Nggak, cuma kurang tidur aja. Kelihatan kayak orang sakit ya?"

"Kantung matamu hitam banget. Libur aja kerjanya."

Aku tertawa kecil. "Nggak bisa gitu, dong. Di gudang lagi sibuk banget karena kekurangan orang. Nanti biar aku kompres kantung mataku dengan es batu."

"Kalau gitu, aku antar kamu kerja, ya! Aku khawatir kamu kenapa-kenapa dengan keadaan ngantuk kayak gitu. Kebetulan hari ini aku lagi nggak sibuk. Jadi, aku pingin ngajak sarapan bareng."

"Oke. Aku siap-siap dulu, ya, Sayang. Hati-hati ke sininya."

"Iya, Sayang."

Video call berakhir. Pikiranku benar-benar teralihkan. Ada pria yang sangat menyayangiku dan aku tak perlu pusing dengan pria lain yang jelas-jelas sudah milik orang lain. Aku hanya perlu percaya Geo dan sebaliknya, aku juga harus menjaga kepercayaannya. Geo jauh lebih mengenalku, lebih lama bersamaku, mengetahui semua baik burukku. Sia-sia jika aku harus memikirkan seorang pria beristri yang baru kukenal satu hari, hanya karena kemungkinan besar kami memiliki perasaan yang sama.

InfidelityWhere stories live. Discover now