Part 5: Lira

1.8K 83 0
                                    

Aku membuka mata saat mendengar suara Pak Aji sedang berbicara dengan beberapa orang di dekatku. Kepalaku terasa pusing dan sedikit mengerang yang menarik perhatian beberapa orang itu.

"Lira, gimana keadaanmu?" tanya Pak Lesmono.

"Masih sedikit pusing, Pak."

"Sebaiknya kamu menghubungi seseorang untuk menjemputmu," kata Pak Aji.

Aku mengangguk pelan. "Tolong ambilkan tas saya di loker, Pak." Aku menyerahkan sebuah kunci loker pada Pak Aji.

Pak Aji membuka salah satu loker dan mengambil sebuah tas dari dalamnya. Tas itu diberikan padaku. Aku meraba-raba mencari sebuah ponsel dan menemukannya. Tentu saja Geo adalah orang pertama yang kucoba hubungi. Setelah terdengar beberapa kali nada tunggu, suara Geo pun muncul.

"Bisa jemput aku sekarang?" tanyaku. "Aku agak nggak enak badan."

"Kamu nggak apa-apa? Nggak terjadi sesuatu kan?" Suara Geo terdengar khawatir.

"Entahlah. Aku tadi tertidur sebentar."

"Tunggu 20 menit, ya, Sayang. Aku akan ambil mobilku dulu."

"Iya." Aku memutuskan hubungan telepon.

"Kamu tunggu di sini saja. Nggak apa-apa, ya, kami tinggal sendirian di sini?" tanya Pak Lesmono.

"Maaf ya, Pak Aji, Pak Lesmono. Saya jadi merepotkan kalian. Padahal saya tahu pekerjaan di sini sedang sangat banyak. Terima kasih banyak."

Pak Aji tertawa. "Kamu tuh ngomongnya kayak sama siapa aja. Dan seharusnya kamu berterima kasih pada Adit. Dia yang menemukanmu dan menjagamu dari tadi."

Aku menatap sosok pria di belakang Pak Aji. Dia menatapku lembut. Walaupun selama setengah hari ini aku mencoba menghindari pria itu, pada akhirnya dia menemukanku lagi dan lagi.

"Terima kasih, Mas Adit."

"Kalau begitu, kami akan kembali ke kantor. Istirahatlah yang cukup di rumah. Kami tahu kamu masih beradaptasi dengan pekerjaan di sini." Pak Lesmono dan Pak Aji meninggalkanku berdua bersama Mas Adit.

Aku mencoba bangkit dari tidurku. Mas Adit tampaknya refleks membantuku untuk duduk. Dia berjongkok di depanku dan menatapku. "Kenapa bangun?"

"Nggak apa-apa, Mas. Sudah baikan, kok."

"Mau minum?" tanya Mas Adit. Dia menyentuh pelipisku dan menghapus sedikit keringat dingin di sana.

Aku menggeleng dan terdiam melihat sikap Mas Adit yang sangat lembut kepadaku. Sentuhan-sentuhan fisik kecil seperti ini, sangat membuatku khawatir akan berlanjut ke depannya. Bagaimana jika pada akhirnya aku tidak bisa menolaknya?

"Mas," panggilku pelan. "Menurutmu apa hanya aku yang salah paham dengan tindakanmu?"

Pria itu terhenti, menarik pelan tangannya dari wajahku. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku merasakan hembusan napas Mas Adit menerpa wajahku, sebelum akhirnya dia berhenti sebentar. Dia seperti menunggu untuk melihat reaksiku.

Sedetik kemudian, dia menyentuhkan bibirnya dengan bibirku. Lembut. Tangannya menyentuh leherku. Napas kami semakin berat di setiap kecupan dan gigitan lembut yang dilakukan Mas Adit.

Seperti inikah rasanya berciuman? Ini adalah ciuman pertamaku, bahkan aku tidak pernah melakukannya dengan Geo. Aku tidak pernah melakukan skinship lebih dari sebuah ciuman pipi dengan seorang pria.

Kami berdua tersentak saat dering ponselku berbunyi. Entah berapa lama kami saling berciuman. Kami saling menatap sesaat dengan napas yang tersengal-sengal.

"Sepertinya, aku sudah dijemput," kataku sambil mengatur pernapasanku. Sekilas aku melihat pesan teks muncul. Geo sudah berada di depan.

Mas Adit mencium keningku. "Aku akan mengantarmu ke depan. Cepat sembuh, ya."

----

Geo memapahku hingga ke kamar. Dia membimbingku untuk tidur di atas ranjang, meletakkan bantal, dan menyelimutiku. "Kamu mau makan sesuatu? Biar aku belikan."

"Nggak usah, Sayang. Kamu pasti lagi sibuk, kan? Cepat gih balik ke kampus. Aku akan pesan makanan lewat ojol."

"Nggak. Aku malam ini akan menemanimu. Kamu selama ini nggak pernah sakit. Aku khawatir banget pas kamu tadi telepon."

Di hatiku muncul rasa bersalah. Bagaimana jika dia tahu aku seperti ini karena kurang tidur memikirkan Mas Adit? Dan kenapa aku tidak menolak ciuman Mas Adit?

"Yang," panggilku. Aku merangkul Geo untuk memeluknya. Tiba-tiba saja aku membenci diriku sendiri atas perbuatanku dengan Mas Adit. Kenapa aku mengkhianati laki-laki sebaik Geo?

"Kenapa, Sayang? Kepalamu masih sakit?" Geo mengusap kepalaku.

Aku menggeleng. "Mau peluk kamu aja."

Aku ingin melupakan Mas Adit. Kuharap aku masih bisa melawan pesona pria beristri itu. Aku sungguh tidak ingin mengecewakan Geo ataupun istri Mas Adit. Selalu ada pilihan. Walaupun pilihan awalku salah, aku pasti bisa memperbaikinya.

Bagaimana caraku melupakan ciuman itu? Memeluk Geo sama sekali tidak dapat mengalihkan pikiranku dari pelukan dan ciuman mas Adit. Apa yang harus kulakukan?

"Sayang. Kamu pernah nggak punya pikiran untuk menciumku?" tanyaku sambil melepas pelukanku.

Geo tampak bingung. "Kenapa tiba-tiba bertanya hal itu? Tentu saja aku ingin menciummu. Sangat. Tapi, aku tahu kamu ingin sekali menyimpan ciuman itu setelah menikah."

Ya, aku ingat pernah mengatakannya pada Geo. Buatku, ciuman bibir itu sangatlah sakral dan harus dilakukan setelah membentuk ikatan suami istri. Tapi, sekarang semuanya sudah sia-sia. Ciuman itu sudah kulakukan dengan pria beristri tanpa ada status apapun di antara kami.

Geo menyentuh bibirku hati-hati. "Kamu mau?" tanyanya. "Aku akan melakukannya dengan lembut."

Akankah aku bisa melupakan Mas Adit jika menyetujui permintaan Geo? Aku tahu mungkin tidak akan sama, tapi setidaknya aku bisa memutus rantai perasaanku dengan Mas Adit. Aku ingin kembali seperti dulu, dengan hanya Geo yang ada di hati dan pikiranku.

Aku mengangguk. Geo menyentuh bibirnya dengan bibirku. Lembut seperti yang dilakukan Mas Adit, tapi Geo bergerak lebih hati-hati. Aku tahu dia tidak ingin menakutiku dan tidak ingin mengambil resiko. Geo sangat tahu cara mengendalikan dirinya. Tak ada gigitan, hanya kecupan kecil yang jarang-jarang.

Geo menghentikan ciumannya. "Kamu tidak akan membenciku karena melakukan ini kan?" tanyanya. "Aku tidak ingin memaksamu melakukan hal yang kuinginkan. Aku hanya ingin menjagamu."

"Tidak. Aku mencintaimu." Kali ini aku mencium bibirnya sekilas.

Geo tampak menyukainya. Dia tersenyum lebar. "Apa ciumanku menyembuhkanmu, Tuan Putri?"

Aku mengangguk. "Iya, Sayang. Kurasa aku akan tidur nyenyak malam ini."

InfidelityWhere stories live. Discover now