06

782 42 11
                                    

Marisa mendekat ke arah Adam.

"Karin, saya mau bicara sebentar denganmu. Bisa ikut saya?" ujar Marisa.

"Tentu, Nyonya. Pak Adam, saya tinggal sebentar ya," jawab Karin sebelum mengikuti Marisa.

Setelah tiba di ruang keluarga, Karin bertanya, "Ada apa yang ingin dibicarakan, Nyonya?"

Marisa menjawab, "Karin, saya dan suami harus pergi ke luar negeri karena urusan perusahaan yang cukup mendesak, dan kami mungkin akan lama di sana. Saya ingin kamu menikah dengan Adam, jika kamu bersedia. Saya tidak tenang meninggalkan Adam sendirian di sini, Saya juga sudah berbicara dengan ayahmu, dan beliau menyerahkan keputusan sepenuhnya padamu. Bagaimana Karin? Apakah kamu bersedia.?"

Karin tampak terkejut mendengar tawaran itu. Dengan hati-hati, ia menjawab, "Mohon maaf, Nyonya. Saya belum bisa memberi keputusan sekarang. Bolehkah saya minta waktu untuk memikirkannya dulu? Ini terlalu mendadak bagi saya."

Marisa tersenyum lembut. "Tentu, Karin. Pikirkanlah baik-baik. Saya paham, keputusan ini memang tidak mudah, apalagi dengan kondisi Adam saat ini."

"Terima kasih, Nyonya. Kalau begitu, saya kembali dulu ke tempat Pak Adam," kata Karin sebelum pamit.

Ketika kembali ke tempat Adam, Karin melihat Adam tengah menikmati pemandangan taman yang penuh dengan bunga-bunga yang sedang mekar. Dengan lembut, ia membantu Adam kembali ke kamarnya dan menidurkannya di tempat tidur. Setelah Adam tertidur, Karin tetap berada di kamar, berjaga-jaga jika Adam terbangun dan membutuhkan sesuatu.

Sambil menunggu, Karin merenungkan tawaran dari Marisa untuk menikah dengan Adam.

Waktu berlalu dengan cepat. Keesokan harinya, setelah berpikir panjang, Karin akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran pernikahan dengan Adam. Adam sendiri, meskipun terkejut, menerima keputusan tersebut tanpa banyak pertanyaan, hanya menyetujui pernikahan itu.

Setelah memberi tahu Marisa tentang keputusannya, persiapan pernikahan segera dimulai, dan acara dijadwalkan berlangsung satu minggu kemudian karena Marisa harus segera berangkat ke luar negeri.


***

Satu minggu kemudian, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.

Hari ini, Adam dan Karin resmi menikah. Pernikahan dilaksanakan dengan sederhana, dan prosesi ijab kabul diwakili oleh papa Adam karena suara adam sangat sulit untuk dipahami.

"Selamat ya, Karin. Adam, akhirnya kalian resmi menjadi suami istri. Semoga pernikahan kalian sakinah, mawaddah, warahmah," ucap mama Adam dengan haru.

"Aamiin. Terima kasih atas doanya, Nyonya," jawab Karin dengan lembut.

"Mulai sekarang, jangan panggil saya 'Nyonya' lagi. Panggil kami mama dan papa, ya, karena sekarang kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami," ucap mama Adam dengan senyum hangat.

"Baik, Ma," jawab Karin, sedikit gugup karena belum terbiasa.

"Mama titip Adam, ya. Jaga dia baik-baik. Sekarang dia adalah suamimu, walaupun kondisinya saat ini tidak sempurna. Mama dan papa akan berangkat nanti sore, jadi tolong kalian jaga diri baik-baik di sini," kata mama Adam dengan nada penuh harap.

"Iya, Ma. Saya akan menjaga dan merawat Mas Adam dengan baik sebagai suami saya," kata Karin dengan tegas.

Sementara itu, Adam hanya bisa mendengarkan percakapan antara ibunya dan istrinya yang baru saja sah. Adam merasa malu, dan pipinya memerah ketika Karin tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan "Mas."

Setelah upacara pernikahan yang sederhana itu selesai, Adam dan Karin kembali ke kamar, sementara para tamu perlahan mulai meninggalkan rumah. Di dalam kamar, Adam duduk di kursi rodanya, menatap keluar jendela. Ia masih merasakan kehangatan dari momen-momen yang baru saja terjadi, namun juga merasa canggung dengan perubahan yang begitu cepat dalam hidupnya.

Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk pelan. Karin membuka pintu, dan mama Adam serta papa Adam masuk dengan senyum yang penuh kasih sayang.

"Karin, Adam, kami mau berpamitan sekarang," ujar mama Adam dengan nada lembut namun tegas.

"Kami harus segera berangkat agar tidak terlambat. Kami tahu ini bukan situasi yang mudah bagi kalian berdua, tapi percayalah, kalian akan menemukan cara untuk melewatinya," tambah papa Adam, menatap mereka berdua dengan penuh keyakinan.

Karin mengangguk, menahan perasaan campur aduk yang ada di dalam hatinya. "Kami akan baik-baik saja, Pa, Ma. Saya akan menjaga Adam dengan sebaik-baiknya."

Mama Adam mendekat ke Adam, memegang tangannya dengan lembut. "Nak, kami tahu ini tidak mudah bagimu, tapi ingatlah bahwa kamu tidak sendirian. Karin ada di sini untukmu, dan kami akan selalu mendukungmu dari jauh."

Adam hanya bisa mengangguk pelan, merasa terharu dengan perhatian yang diberikan oleh orang tuanya. Meski tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, hatinya dipenuhi rasa syukur dan cinta untuk mereka.

Mama Adam lalu memeluk Karin, dan bisikan lembut terdengar di telinganya, "Kamu kuat, Karin. Kami percaya padamu."

Setelah itu, papa Adam menghampiri Karin dan memberikan pelukan yang hangat. "Terima kasih telah menerima Adam apa adanya. Kami titip dia padamu, ya."

Karin tersenyum kecil dan menjawab dengan penuh ketulusan, "Saya akan menjaga Adam dengan sepenuh hati, Pa."

Dengan perasaan berat, mama Adam dan papa Adam pun keluar dari kamar, meninggalkan Adam dan Karin sendirian. Suara langkah mereka yang perlahan menjauh terasa begitu menyayat hati. Karin berdiri di dekat pintu, menatap kepergian mereka hingga suara pintu depan tertutup. Suasana rumah menjadi sunyi.

Karin kemudian menoleh ke arah Adam, yang masih duduk di kursi rodanya dengan tatapan kosong. Ia tahu bahwa Adam juga merasakan kekosongan yang sama. Perlahan, Karin berjalan mendekat dan duduk di samping Adam, memegang tangannya dengan lembut.

"Kita akan melalui ini bersama, Mas. Saya janji," bisik Karin dengan suara lembut namun penuh keyakinan.

Menikahi CEO CacatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang