Dor! Dor! Dor!
Tembakan peluru bergema di dalam ruangan olahraga, pelakunya tentu saja Danar yang berdiri di samping Mutia. Tubuh cewek itu terdiam karena melihat efek tembakan Danar yang begitu luar biasa.
Ketiga peluru itu berhasil mengenai kepala para monster, lalu dalam hitungngan detik kepala monster langsung meledak. Sungguh, senjata yang kecil tapi sangat mematikan. "Katakanlah monster itu Zombie, hanya bisa mati saat kepalanya hancur. Tubuhnya dengan perlahan akan kehilangan kontrol dan menjadi mayat seutuhnya."
Mutia yang masih terdiam mendengar penjelasan Danar, matanya terus beralih antara zombie dan senjata miliknya. "Ini gak guna sama sekali."
Danar tersenyum miring melihat Mutia yang paham bahwa senjata pilihannya sama sekali tidak berguna. "Mereka akan dengan mudah memakanmu jika hanya menggunakan pisau dapur untuk melawan."
Mutia sendiri mengabaikan perkataan Danar yang entah kenapa tiba tiba banyak bicara. Hey... Jangan lupakan jantung Mutia saat ini sedang berdisko, atau ketakutan karena melihat pemandangan menyeramkan. Karena bukan hanya zombie saja yang menyeramkan, tapi Enzi saat ini seperti tersadar dia mulai terlihat marah karena melihat monster panggilannya hancur begitu saja.
"Lo, jalang sialan!" Enzi mendekat ke arah Mutia, terlihat cowok itu sangat marah karena tahu yang mengagalkan sihirnya adalah cewek paling dia benci. "Lo bener gak pantes mati, hah! Gak guna hidup lo, jalang!"
Perasaan ketakutan Mutia semakin tinggi saat mendengar caci maki Enzi. Cowok itu benar-benar tahu cara untuk membuat lawannya tidak bisa menjawab. "Lagian, buat apa kamu manggil monster kayak gitu?" Karena penasaran, dengan sangat terpaksa pertanyaan itu keluar dari mulut Mutia dengan bergetar.
"Lo... Bukan orang yang pantes buat tau. Lo hanya sampah!" Enzi semakin mendekat pada Mutia, dan jantung cewek itu rasanya seperti ingin berhenti karena melihat Aura Enzi yang sangat pekat dan menyeramkan.
Mutia terdiam, dia mengalihkan perhatiannya ke arah Danar yang dengan santai menonton kesalahan pahaman ini. Hati Mutia sedikit geram karena dia dituduh menghancurkan monster milik Enzi. "Sebenarnya Danar yang hancurin monster kamu, Enzi." Ya, setidaknya Mutia harus membela diri, mumpung saat ini dia tidak merasakan aura yang selalu mengunci tubuhnya saat dalam keadaan seperti ini.
"Terlalu bahaya," ucap Danar dengan santai menatap Enzi yang saat ini menatap tajam pada Danar.
Mutia yang hanya ikut-ikut karena tidak tahu harus apa, dia mengangguk membenarkan. "Ini bukan urusan lo berdua." Enzi masih merasa kesal, dia kembali mengalihkan perhatian pada Mutia, lalu dengan salah satu tangannya dia menarik rambut Mutia dari ujung kulit kepala, lalu menariknya masuk ke dalam ruang olahraga. "Ini balesannya, karena kalian ikut campur."
Sepertinya Enzi berencana menjadikan Mutia sebagai mainan para monsternya, jadi cowok itu membawa mutia ke dalam lingkaran pola sihir buatannya.
Danar sendiri dia langsung lari karena tahu keadaan kedepannya akan menjadi berbahaya, dia dengan sigap membawa sesuatu dalam sakunya lalu dengan tepat sasaran menusukan benda itu pada punggung Enzi.
Seketika tarikan tangan cowok itu pada rambut Mutia, mulai melemah dan pada akhirnya pingsan. "Merepotkan." Danar mengambil kembali alat suntikan berisi cairan penenang yang dia siapkan untuk keadaan seperti ini.
"Dia pingsan atau mati?" tanya Mutia sembari menenangkan dirinya karena menahan sakit di kepala. "Sumpah, Enzi tuh cowok paling kasar se jagad raya, ringan tangan banget sumpah."
"Pingsan, angkat dia ke mobil." Danar meminta bantaun pada Mutia untuk bantu mengangkat Enzi ke mobil.
Mutia sendiri langsung menggeleng. "Biarin aja dia di sini." Mutia tentu tidak mau mengangkat tubuh orang yang selalu menyakiti fisiknya dengan kejam.
Danar langsung menggeleng. "Banyak kemungkinan buruk kalau kita tinggal, dia bisa jadi bakal memanggil monster itu lagi."
"Lah terus gimana hari berikutnya? Bukan dia bakal manggil lagi?" tanya Mutia penasaran. Dia sungguh sangat takut kalau Enzi bakal memanggil lebih banyak lagi monster nanti.
Danar menggeleng lagi. "Dia tidak bisa setiap waktu... Hanya bisa memanggil pada waktu-waktu tertentu."
"Dan pada saat waktu apa itu?" tanya Mutia sangat penasaran.
"Bulan purnama di awal bulan." Mutia menatap Danar dengan pandangan yang bodoh. Tentu selama ini Mutia hanya tahu bahwa posisi bulan purnama itu biasanya terjadi di pertengahan bulan, bukan di awal.
"Hah... Ada ya? Bulan purnama yang terjadi di awal bulan?" tanya Mutia benar benar sangat tidak tahu.
Danar mengangkat tubuh Enzi dengan gampangnya, tanpa menjawab pertanyaan Mutia, dia langsung berjalan ke luar sekolah guna meminimalisir pergerakan dari Enzi nanti.
Mutia yang pertanyaanya tidak dijawab, menghembuskan napas dengan sangat panjang. Dirinya merasa lelah. Apalagi untuk sesuatu yang sudah terjadi. "Kenapa dunia ini berubah menjadi berbahaya?" Mutia bangun dari duduknya, dia berjalan dengan lesu.
"Biasanya, cerita yang aku baca tentang sihir tuh, PUnya juga punya kekuatan untuk melawan kekuatan sihir." Kepala Mutia masih terasa sakit, sungguh Enzi sangat kasar. "Ini, boro boro kekuatan sihir, kekuatan fisik saja untuk membalas Enzi tidak punya."
Sungguh saat ini Mutia merasa sangat lelah, dunia yang dia kira tempat aman damai sentosa ini ternyata lebih misterius yang dia bayangkan. "Dan berbahaya dengan adanya Enzi." Mutia melihat Danar sudah ada di mobil, sedang mengikat tubuh Enzi supaya tidak kabur.
Mutia masuk ke dalam mobil, dia kali ini duduk di kursi depan. Entah kenapa rasanya tidak mau berdekatan dengan Enzi atau pun Danar.
Mutia memasang sabuk pengaman, lalu mengabaikan apapun yang terjadi di dalam mobil. Bad Mood yang tadi hilang, kini muncul lagi. Matanya terpejam, kembali mengabaikan obrolan antara Enzi yang sudah sadar terikat dengan Danar.
"Apa aku pergi aja, ya.... Dari ruang lingkup para tokoh utama?" pikir Mutia dalam hati, saat telinganya kembali mendengar caci maki Enzi pada dirinya.
"Sialan kalian, gue hanya bisa manggil mereka tuh tiga tahun sekali, dan ini kesempatan yang bagus untuk menunjukan pada dunia bahwa gue hebat."
Mutia menutup kedua telinganya dengan kuat supaya tidak mendengar caci maki Enzi. Sungguh dia sudah sangat muak. Dan mengabaikan adalah pilihan yang tepat, tapi rasa kesalnya kembali bertambah saat Mutia menyadari bahwa jalan yang dilalui mobil ini bukan ke arah kosannya.
"Aku mau pulang ke kosan." Mutia berkata pada supir di sebelahnya.
"Kita akan pergi ke suatu tempat." Danar di belakang supir menjawab cepat.
Mutia mengabaikan perkataan Danar, "Pak, putar balik. Aku capek dan mau istirahat. Antar Ke kosan!"
"Maju terus, pak." Danar terus menyahut supaya tujuan tetap pada rencana awal.
"Ya udah, berhenti di sini pak, aku pulang sendiri saja. Tidak perlu di antar." Mutia masih mengabaikan Danar, entah kenapa dia sangat kesal pada setiap orang.
"Tidak pak...." Danar berucap keukeuh... Tapi dipotong oleh Mutia. "Gue bilang mau pulang ke kosan!" Mutia membentak Danar, satu hal yang tidak pernah dia lakukan pada siapapun. "Dan, lo, stop ngatur keinginan orang lain," tunjuk Mutia pada Danar dengan penuh kekesalan.
Nahh, gimana? Lanjut? Silahkan kasih komentar ya, biar ema ema ini semangat nulisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Jelek Antagonis
FantasyMutia tidak menyangka bahwa dirinya masuk ke dalam tubuh antagonis dari cerita Obsesi karya penulis wattpad. Biasa? tidak jika antagonis cerita ini begitu jelek, bodoh dan bucin pada protagonis pria. Semua perlakuan antagonis jelek ini sangat menjij...