"Pstt ... salin aja asal jangan terlalu mirip, Maam Cath pasti tau kalo lo copas essay gue gitu aja. 2 jam lagi kelasnya dimulai." Nagisa meletakkan selembar kertas folio di atas meja Sena.
"Emang gue keliatan semalas itu ya buat ngerjain tugas? Kata siapa gue belum buat tugas, Gisa?" Sena menatap kertas diatas mejanya
"Jadi udah? Yaudah gue simpan lagi aja."
"Jangan. Belum kok belum hehehe, biar keliatan rajin aja gitu." Sena buru-buru mengambil kertas itu lalu menyalinnya.
Nagisa duduk di samping Sena, mengamati dalam diam. Matanya tak sengaja menangkap tangan Sena yang di perban saat lengan bajunya terangkat.
Entah apa lagi yang terjadi pada orang ini, pikirnya. Beberapa minggu ini Sena sangat jarang masuk, sulit dihubungi, dan sekarang ia masuk dalam keadaan terluka.
"Ano, lo baik-baik aja? Udah ganti perban belum?" Nagisa memberanikan diri untuk bertanya.
"Perban? Maksudn- Oh ... udah, lagian lukanya juga udah beberapa hari. Bentar lagi kering. Makasih ya udah khawatir." Sena tertawa lalu mengusap rambut Nagisa.
"Siapa juga yang khawatir? Buruan salin, bentar lagi masuk." Nagisa membuang muka, ia membelakangi Sena dengan pipi yang memerah.
.
.
"Naik dong, Kal. Mau sampe kapan lo diemin gue?" Sena menjalankan mobilnya dengan sangat pelan mengimbangi kecepatan Haikal yang berjalan disebelahnya.
"Gue pulang sendiri. Lo duluan aja." Haikal bersikeras.
"Kan gue udah minta maaf, kali ini gue bakal ceritain deh. Masuk, Kal." Sena memohon pada Haikal.
"Janji-Janji, terus aja lo janji. Dulu katanya bakal cerita begitu sampe rumah, ini udah mau seminggu lo belum kasih tau gue." Haikal berhenti berjalan, ia menendang kaleng cincau bekas di depannya lantaran emosi.
"JANGKRIK. SIAPA YANG BERANI LEMPAR SAYA?" Seorang pria tua dengan kemeja batik berteriak memaki, tangannya sibuk menyeka wajahnya yang basah oleh cipratan air cincau.
"MAMPUS GUE, PAK KUMIS." Haikal memucat melihat dosennya, ia menerobos masuk ke dalam mobil Sena dengan secepat kilat.
"Jalan ... cepetan jalan, Na." Sena tertawa terbahak-bahak lalu melajukan mobilnya, beruntung kaca mobil Sena tidak tembus pandang dari luar.
"Anjir, hampir gue di D.O." Haikal menyandar lemas di kursinya.
"HAHAHA, Ngakak parah, bisa-bisanya kena muka dosen."
"Diam. Gue masih marah ya sama lo. Pulang ke rumah malah luka-luka, mana kabar soal rumah sewa lo juga ga jelas. Minimal jelasin kek jangan ngehindar mulu tiap di tanya." Haikal menunjuk-nunjuk wajah Sena, tipikal Haikal saat sedang emosi.
"Iya-iya maaf, ini kan mau di jelasin. Kemarin gue turun dari mobil mau nanya alamat, eh malah keserempet orang lewat jadi luka-luka. Karena gue harus dibawa ke Rumah Sakit transaksinya batal, tapi tenang ... kemarin gue nemuin tempat lain yang bagus." Sena terpaksa membohongi Haikal
"Lo diserempet? Kurang ajar banget, terus udah lapor polisi? Sakit banget ya, Na? Maaf, gue malah cuekin lo disaat sakit gini." Haikal yang malang begitu emosional termakan cerita karangan Sena.
Sena merasa bersalah. "Ehm, ngga usah, bukan salah lo. Dia udah kabur juga. Btw, gue anterin lo sampe depan rumah aja ya." Sena memutar stir berbelok masuk ke kompleks rumah Haikal.
"Hah? Mau pergi kemana lagi? Jangan bilang lo mau pindah ke tempat baru?" Haikal membuka sabuk pengamannya.
"Bukan, gue mau cek ini ke Rumah Sakit. Lagian gue baru mau liat tempatnya, belum pindah hari ini ndut." Sena mengangkat lengan bajunya memperlihatkan tangannya yang diperban.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACE AND RAIN | NOMIN AU
RomanceKehidupan Sena identik dengan balapan, lintasan, dan kebebasan. Tipe manusia yang sebaiknya dijadikan kawan daripada lawan. Dikenal dengan wajah yang sempurna dan kebolehannya di dunia balap, Sena begitu tak tersentuh. Apa benar Sena sesempurna itu...