"Yakin ga ada yang tinggal lagi?"
"Yakin, udah semua kok."
"Sena, sikat gigi lo masih di kamar mandi."
"Udah, kan lo sendiri yang masukin ke dalam tas gue." Sena sibuk memasukkan koper ke dalam bagasi di bantu supir kepercayaannya.
"Oh, iya yah. Em ... Sena, selimut gue kayanya kebawa masuk dalam koper lo. Coba turunin lagi."
"Really? Gue ga pindah ke Saturnus, Haikal. Di lemari baju lo yang paling bawah, gue liat lo masukin kesana. Bener apa bener?" Sena berkacak pinggang, ia tau Haikal sengaja melakukan ini untuk mencegah dan memperlambat Sena pindah.
Sudah 3 jam lebih Haikal menempel mengikutinya sejak ia berkata akan berkemas untuk pindah. Awalnya Haikal tidak menyangka akan sesedih ini, namun saat mendapat kabar Sena benar-benar akan pindah ia mulai membayangkan betapa sepinya tidur sendiri.
"Kok lo tau sih? Ck, Senaaaa~ gausah pindah dong. Ga bisa apa lo tinggal disini terus bareng gue, mae, papi? Apa enaknya sih tinggal sendiri? Kalo emang lo ga nyaman tidur bareng gue, gue yang di sofa. " Haikal merajuk, Sena menghela nafasnya memberi isyarat pada sang supir untuk lanjut memasukkan barang.
"Gue punya alasan sendiri, bukan lo penyebabnya." Sena menepuk bahu Haikal.
"Ya kalo gitu gue ikut, gue juga tinggal di rumah lo."
Sena panik setengah mati. Tentu saja ia akan mengiyakan permintaan Haikal dengan senang hati bila itu rumahnya, namun sekarang ia tinggal dengan rivalnya sendiri, Jonah. Ia harus mencari alasan, pikirnya.
"Terus mae sama om gimana, hm? Anak nya sebiji doang masa tega gue bawa?" Haikal terdiam, ia lupa bahwa ia adalah putra tunggal orang tuanya.
"Tapi kenapa gue ga boleh tau atau ikut nganterin lo? Bahkan lo gamau kasih alamatnya."
"Gue takut lo keceplosan, atau dipaksa bicara soal keberadaan gue. Makin sedikit yang tau, makin aman. Lo ngerti kan, Kal?" Sena menatap Haikal dengan perasaan bersalah. Wajar memang sahabatnya itu khawatir dan ingin tau tempat tinggal Sena, tapi ia tidak dapat melakukan apa-apa untuk saat ini itulah keputusan terbaik yang bisa Sena pikirkan.
"Kata orang jaman dulu, kalo lagi perpisahan jangan ada nangis-nangisan apalagi berantem. Pamali, nanti ga lancar perjalanannya." Chita muncul dari dapur membawa pergedel kentang untuk keduanya.
"Eh, tante. Enak banget keliatannya
" Sena mencomot satu pergedel, belum sempat menelannya Haikal mengambil pergedel itu dari tangan Sena lalu memakannya sendiri."Mae, bujuk Sena biar tetap tinggal sama kita." Ibunya mencubit pipi Haikal.
"Sena sudah cerita dan pamit duluan sama mae, Haikal harus dukung keputusan Sena karena itu yang terbaik untuk saat ini. Jangan mempersulit Sena lagi. Ini, makanlah lalu berhenti merajuk ... Astaga, apa benar kamu ini sudah mahasiswa?" Chita menyuapi Haikal yang cemberut dengan pergedel lalu memberikan satu untuk Sena.
"Maafkan Mae, Sebenarnya Sena tidak harus melakukan ini." Chita berbisik pelan pada Sena sambil mengambil tissue, membersihkan bibir Sena yang belepotan minyak.
"Gapapa tante, Haikal pasti ngerti nanti. Sena seneng banget tinggal di sini sama om dan tante tapi kali ini keadaan udah beda. Sena mau kalian semua aman dan sehat-sehat, itu udah cukup." Sena tersenyum manis.
"Tentu sayang. Mae ... Mae kedapur dulu. Kalian cepat siap-siap." Chita langsung berbalik menuju dapur, tak mau Sena dan Haikal melihat air matanya yang menetes.
"Haikal, udah ga marah lagi kan?" Sena duduk di samping Haikal.
"Hmm." Singkat Haikal sambil mengangguk dan tersenyum lalu memeluk Sena.
KAMU SEDANG MEMBACA
RACE AND RAIN | NOMIN AU
Storie d'amoreKehidupan Sena identik dengan balapan, lintasan, dan kebebasan. Tipe manusia yang sebaiknya dijadikan kawan daripada lawan. Dikenal dengan wajah yang sempurna dan kebolehannya di dunia balap, Sena begitu tak tersentuh. Apa benar Sena sesempurna itu...