Enam.

3 2 0
                                    

"Itu bungkus kosong Kak, isinya udah aku bagiin, ke Finy sama Agustien," kekeh Isvara membuat Chandra meminggirkan mobilnya.

"Kenapa berhenti, Kak?" Isvara heran.

"Terus kenapa kamu bawa?" Chandra balik bertanya

"Kalo gak gini, nanti gossip tentang titipan mereka yang gak sampai ke Teh Ira tuh makin menjadi. Ya, Yaudah aku tetep bawa bungkus-bungkusnya. Lagian kalo dikasih ke teh Ira, teteh gak pernah mau make, katanya ngerasa gak pantes dan gak berhak. Jadi sering nyuruh aku buat sedekahin ke orang lain. Finy sama Agustien itu deket sama orang yang kurang mampu gitu, tetangga rumahnya. Jadi ya, kenapa enggak?"

"Irana tau?" Chandra menghela napas, namun hanya dibalas anggukan oleh Isvara.

Melihat respon Isvara, Chandra mulai melajukan lagi mobilnya.

"Lalu kenapa lu terima, Dek?!"

"Mereka selalu maksa dan ngancam banyak hal, lagipula rezeki mana boleh ditolak. Teh Ira gak mau? Yaudah kan masih ada aku dan kawan kawan," cengir Isvara sembari memeluk seabelt.

"Udah ada kah yang berhasil taklukin dia?"

"Enggak tau, Teh Ira selalu menghindar kalo ditanya masalah asmara."

Mobil terus melaju menembus keheningan hingga akhirnya sampai di rumah bercat putih dan tinggi 3 lantai itu.

***

"Yaelah kapan sih, Irana? Kapan lo mau ngajakin gue main ke rumah Lo? Kayak baru temenan sebulan dua bulan aja. Padahal udah dari kelas sembilan lho, dari semenjak gue pindah ke sekolah Lo dulu," omel Sekar dibalik telepon.

"Kalo untuk itu maaf Kar, gue belum bisa. Tapi kalau mau main, ayok. Gue jabanin kemanapun Lo mau. Uang transport dan uang keringat Lo kemarin juga udah gue transfer, kan?"

"Mmm, oke deh. Aman." Sekar menyerah. Kenapa sih, Ira melarangnya main ke rumah? Tahu alamatnya saja tidak boleh.

"Lo gak bosen di rumah sendirian?" Sekar kembali bersuara di sebrang sana.

"Ummm, iya sih, ...," ucapnya tak ia lanjutkan karena mendengar suara klakson mobil.

"Eh, nanti lagi ya, Kar. Isvara udah dateng nih. Bye! Assalamu'alaikum."

Irana mematikan telepon dan melemparnya asal di atas kasur. Dengan cepat ia meraih hijab instannya lalu berlari menuruni anak tangga.

"Kak Chandra! Isvara! Hei, sudah pulang ternyata." Irana memeluk Isvara seolah rindu, padahal hanya ditinggal setengah hari saja.

"Kak Chand gak dipeluk juga nih?" goda Chandra sembari merentangkan tangannya minta dipeluk.

"Gak mau! Bukan mahram!" pekik Irana membuat Chandra tertawa.

"Iya, iyaa ustadzah." Chandra mengatakannya sambil berlari. Karena sudah tahu gadis itu akan menggeplak bahunya lalu menyubit pinggangnya sekuat tenaga.

Melihat itu, Isvara hanya geleng-geleng kepala. Entah sudah berapa kali Chandra usili Irana, tetap saja tidak ada kapoknya meski dibalas dengan garang oleh Irana.

Dengan napas yang tersengal-sengal, Chandra menghempaskan tubuhnya pada sofa empuk di depan tv.

"Udah Ira, ampun," madahnya ketika Irana ikut duduk di sampingnya.

"Besok nengok ibu, yuk?"

Sambil membetulkan posisi badannya, Chandra mengangguk setuju.

"Terakhir ke sana dua Minggu yang lalu ya, Teh?" sambung Isvara yang membawa sekantong camilan yang ia pilih dari kulkas.

Untouchable HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang