Akibat kejadian tragis di masa lalunya, Irana menjadi sosok yang sangat sulit didekati pria. Karena kecantikannya, ia menjadi incaran siswa laki-laki yang ingin menjadikannya pacar. Hal ini membuat teman-teman wanita bahkan kakak kelasnya merasa ir...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hampir 10 tahun berlalu, gadis kecil yang lugu itu kini sudah berusia 17 tahun. Perempuan yang kini mengenakan seragam SMA itu menatap nanar sang ibu yang kini berusia 45 tahun, namun ia seperti kehilangan ibunya yang dulu selalu tersenyum dan mengusap kepalanya penuh cinta lalu berujung dengan kecupan yang bertubi-tubi.
Sekarang, jangankan bertanya, apakah hari-harinya baik hari ini? Sudah makan? Mau ibu masakkan apa? Semua itu sudah musnah, mungkin tenggelam 10 tahun lalu, meski nyatanya sang ibu berhasil selamat.
Irana Shafiya, ia memeluk wanita yang selalu ketakutan dan terpuruk itu dengan erat. Seakan terapi yang dijalaninya selama ini tidak berarti apa-apa. Ibunya itu takut sekali melihat air, bahkan air matanya sendiri. Ia selalu histeris melihat air. Apalagi melihat ketinggian, ia akan menjerit-jerit. Seperti bukan ibunya. Malah mirip anak kecil tantrum.
Meski begitu, Irana sangat menyayangi Saziana. Seperti kali ini, saat ia pulang cepat dari sekolah, Irana menuju tempat terapi sang ibu untuk menuntaskan rindunya.
Tidak, ibunya tidak gila. Hanya trauma berat, tidak sampai kehilangan seluruh kontrol atas dirinya. Saziana masih bisa diajak bicara meski kadang ia tiba-tiba histeris.
Wanita yang mulai terlihat keriputan kecil di beberapa titik wajahnya itu selalu menceritakan kejadian yang menimpanya, meski sudah sangat lama sekali.
"Mama dilemparkan ke laut, Ira. Mama melambung ke udara dan melihat air yang bergejolak itu, gelap sekali. Mama takut melihat air, angin besar dan tempat yang gelap itu Ira. Tolong Mama, jauhkan Mama dari lelaki itu." Itulah yang selalu ia katakan tiap kali Ira menemui sang ibu.
Saziana belum diperbolehkan pulang dari tempatnya terapi. Dulu Shaka membawanya pulang karena khawatir dengan sang adik. Takut merasa diasingkan dan dibuang. Tapi kenyataannya, wanita tersayang yang kerap kali ia panggil Ziana itu malah semakin histeris, melihat foto Aziz yang terpampang di setiap sudut rumah, melihat air di kolam halaman rumahnya, atau bahkan air yang tersedia.
"Hiks, iya Mama. Mama tidak akan jatuh lagi, Mama aman bersamaku. Lelaki itu sudah membusuk di sel penjara. Tenanglah, ibu aman bersamaku." Irana sudah sebenci itu dengan pria yang ia sebut Papa. Jika saja pria itu tidak berbuat kejam, Saziana tidak akan setrauma ini. Dan ia mendapatkan kasih sayang utuh seperti remaja lainnya yang ia lihat.
Dokter yang menemaninya disusul Shaka memasuki ruangan itu dan mengatakan ini jadwal Mamanya untuk mandi.
"Irana, tidak sekolah?" Shaka terkejut melihat Irana yang masih mengenakan seragam sekolah menemui ibunya bukan di jam pulang.
"Pulang cepet, Om. Gurunya rapat."
"Oh, ya sudah. Ayo Ziana, mandi?" Shaka mengalihkan atensinya pada Saziana.
Tentu saja wanita itu menggeleng keras. Meski ada beberapa peningkatan darinya, yang awalnya sampai histeris, kini hanya penolakannya saja yang masih kentara. Beginilah ketika Saziana mandi. Bahkan ia takut melihat air yang hanya beberapa liter itu.