"Isvara, semalem tidur di mana?" Irana menarik kursi dan duduk berhadapan dengan isvara di meja makan. Gadis itu melirik sekilas Isvara yang sudah lebih dulu sarapan.
"Lah kok aku kayak de Javu ya? Kayak pernah denger lagunya gitu ...." Bukannya menjawab, Isvara malah membahas hal lain dengan raut jahilnya.
"Isvara, jawab yang betul." Irana menatap tajam Isvara dengan mata sembapnya.
"Di kamar kak Chandra," selorohnya santai lalu meneguk segelas susu sampai tandas.
"Ha?!" Bukan hanya tajam, kali ini Irana menatap Isvara dengan nyalang seperti harimau yang baru menemukan mangsa setelah sebulan tidak makan.
"Eh e-enggak, Teh. Enggak gitu, kak Chandra tidur di kamar tamu, kok. Eng-ga bareng. Suer." Isvara menegakkan tubuhnya dan menggeleng tegas. Sambil takut-takut dan setengah gugup, bicaranya sedikit bergetar.
Irana menghela napas dengan santai, "Ooohhh, bagus."
Sudah? Itu saja responnya? Hanya oohh panjang? Sepupunya ini memang kadang menyebalkan. Sampai-sampai Isvara berdecak, dia sudah panik setengah mati, responnya hanya oh saja.
Memang, mereka mahram. Tetapi mengingat sudah beranjak dewasa, Bibi Indarwati selalu berpesan pada Irana. Agar mengawasi Isvara yang kadang iseng tidur di kamar kakaknya.
"Weiii! Ini masih jam enam pagi loh, kalian kok udah siap gini?" ujarnya sambil menarik satu kursi dan duduk di samping Irana.
"Buram kali mata Lo, Kak. Nah Lo liat aja pake udel, kita masih dasteran gini dibilang udah siap." Isvara memutar bola mata.
"Maksud aku itu ... Siap makan, adikku."
"Iya iya, kita tinggal makan lalu ganti baju, Kakakku. Kita sudah mandi, tenang saja tidak akan telat," kata Irana dengan nada yang dimanis-maniskan. Isvara sedikit bergidik mendengarnya. Karena jujur, jarang-jarang seoarang Irana berlaku absurd seperti ini.
"Kapan sih, gue skripsian?" Chandra melontarkan pertanyaan saat berhasil menelan sesendok nasi.
"Kapan sih, kita liburan?" timpal Isvara ikut bertanya
"Jadi kalian mau gak jenguk ibu bareng-bareng?" Kali ini Irana balik bertanya.
"Ya, jadi lah. Pulang sekolah, kan?" balas Chandra membuat Irana tersenyum. Kebetulan kuliahnya sedang libur.
"Kapan ya? Ibu bisa pulang dari tempat terapi dan tinggal di rumah baru kami."
"Aku juga ngarepin aun Sazia cepet hilang traumanya. Dan hidup normal kembali. Tapi kalau kalian tinggal di rumah baru kalian itu, tolong pertimbangin lagi karena aku gak mau tinggal pisah sama teh Ira. Aku ingin tetep serumah. Pokoknya. Lagipula aun Sazia itu adiknya ayah Shaka. Aun Sazia juga sahabat Bunda dari mula SD sampai sekarang, kan? Lalu kenapa teteh sungkan terus sama kita? Padahal udah sedeket ini." Isvara tampak menarik napas dalam karena berbicara dengan nada yang melow. Irana kembali tersenyum mendengarnya.
Aun Sazia adalah panggilan Isvara dan Chandra pada bibinya.
Saat Irana beranjak dewasa dan tinggal di rumah Om Shaka, meski itu adalah pamannya sendiri, tetapi rasa sungkan dan tak enak karena merasa merepotkan Omnya, rasanya ia ingin mandiri saja bersama sang ibu.
Semua biaya hidupnya, keinginannya, selama ini selalu dipenuhi Shaka tanpa terkecuali. Irana sangat bersyukur, ia bisa hidup sangat enak dan lebih dari cukup. Dan itulah yang makin membuatnya sungkan. Meski bisa saja dia bersikap bodo amat dan berleha-leha menikmati kekayaan pamannya.
Dimulai saat kelulusan SMP, saat pulang dari acara perpisahan, ia terjebak hujan di jalan. Saat itu ia mengendarai motor. Hujannya sangat lebat dan tak sanggup ditembus. Jadi percuma pakai jas huja. Sehingga Irana yang basah kuyup itu berteduh di tepi jalan yang kebetulan adalah sebuah masjid
Ia memarkirkan motornya di halaman yang tampak sepi itu, lalu duduk bersandar di tiang anak tangga sembari menggigil kedinginan. Meski sudah tidak kehujanan, tetap saja hawa dingin saat hujan itu tetap ada. Apalagi badannya basah kuyup. Irana tidak berani masuk dalam keadaan sebasah itu, takut terpeleset dan merepotkan orang lain. Ponselnya mati sejak di acara perpisahan itu sehingga susah meminta jemput pada Chandra.
Namun tangan keriput yang tiba-tiba menggenggam tangan Irana membuatnya menolah pada seorang nenek yang menatapnya dengan senyum hangat.
"Kenapa tidak masuk, Nak?"
"A-aku takut mengotori masjid Nek, bajuku basah semua." Irana gugup.
Sambil tersenyum sang Nenek itu berkata, "Nak, seberat apapun beban yang ada dipikiranmu, ingatlah Allah selalu bersamamu. Di mana pun. Tapi ingat, ikhtiar dan tawakal jangan kamu tinggal. Karena tanpa itu, kamu tidak akan meraih tujuanmu. Nak, dunia ini mudah membuat lalai, apalagi perihal harta. Maka jangan terlalu bersantai dalam menikmati kekayaan, atau apapun kesenangan dunia yang bersifat sementara. Berdirilah dengan telapak kakimu sendiri, jika kamu sudah sanggup," petuah nenek tersebut masih menatap lekat manik Irana yang sedari tadi hanya mampu mengangguk.
Sesaat setelah itu, hujan mulai reda. Irana terbangun oleh sinar matahari yang menyorot mata lentiknya.
"Mana ya, Nenek tadi? Ah, ini hanya mimpi toh?" Hujan membuat Irana mengantuk dan tertidur bersandar di tiang dekat anak tangga.
Ia pun bangkit dengan pakaian yang masih basah, oh iya jangan lupakan make up-nya yang luntur tak tersisa tanpa melunturkan kecantikannya.
Kejadian yang masih baru ia dapatkan, dua tahun lebih, tapi masih ia ingat jelas ucapan Nenek yang ia temui dalam mimpi itu. Dan darinya lah ia berpikir, semua ketidak mampuan Irana untuk merawat ibunya sendirian membuatnya mengurungkan diri untuk hidup mandiri, karena ia belum mampu. Itu juga berulang kali Shaka memintanya untuk santai saja. Toh, mereka menganggap Irana seperti anaknya sendiri. Meski kukuh dalam hatinya, ia ingin berdiri dengan telapak kakinya sendiri. Seperti kata nenek dalam mimpinya kala itu.
"Teh Ira? Hei! Ngelamun. Ayok habisin, ntar kita telat lho."
"Oh iya. Ayok. Teteh udah gak selera makan." Irana bangkit menaruh bekas makannya ke wastafel lalu mencucinya.
Setelah itu, ia pergi ke kamarnya untuk mengganti baju.
***
SMA Nawasena sore hari, ketika bel pulang sekolah berjerit nyaring.
Remaja-remaja puber berseragam putih abu itu berbondong-bondong pulang. Ada yang berniat mampir ke cafe, nongkrong, anak ekskul yang sedang sibuk dengan atributnya, atau anak-anak olimpiade yang ambis di ruang-ruang kelas yang sudah kosong.
Irana berada di jajaran siswi yang hendak pulang. Dan sudah menjadi hal lumrah ketika banyak lelaki iseng yang menggodanya.
"Neng Ira, mau aa anterin pulang gak? Sampe KUA juga aa siap, Neng." Irana hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. Dan hanya sanggup mengucap maaf.
Takut, takut harimau dalam diri para lelaki itu bangun dan mencengkeramnya hingga tak berdaya seperi ibunya. Ia memilih berjalan cepat menjauhi pria itu.
"Eh, Ira, bareng gue yuk?" Itu Bara. Lelaki dengan motor yang sengaja menyodorkan joknya tepat di depan Irana. Hampir saja ia tertabrak. Irana tersentak kaget.
"Eng-enggak. Makasih Bar, gue udah ditunggu Kak Chandra di halte. Sorry ya."
"Oh, ya. Gak apa." Dengan raut yang sedikit kecewa, Bara melesatkan motornya tanpa berkata apapun.
"Hufft, lelah," gumam Ira sembari melanjutkan langkahnya. Halte sudah di depan mata. Chandra dan Isvara sudah stand by menunggunya sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.
"Ira, selamat ulang tahun ya!"
"Gue belum ulang tahun, tuh? Kata siapa gue ultah?" Irana Heran.
Ketiga lelaki yang tadi mengucapkannya dengan sumringah kini lesu dan terkejut.
"Jadi kita dibohongin nih? Sama Eliza kampret itu?"
Irana yang bingung hanya mengangkat bahu acuh dan melanjutkan jalannya, tak lupa ia sempat mengucap terima kasih. Karena kado dan bingkisan yang kemarin sempat meningkat jumlahnya itu sebagian berasal dari mereka.
#day7
#tim3

KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable Heart
Teen FictionAkibat kejadian tragis di masa lalunya, Irana menjadi sosok yang sangat sulit didekati pria. Karena kecantikannya, ia menjadi incaran siswa laki-laki yang ingin menjadikannya pacar. Hal ini membuat teman-teman wanita bahkan kakak kelasnya merasa ir...