Satu Minggu berlalu, akhirnya sang ibu diboyong ke rumah. Shaka dan Indarwati menyambutnya dengan hangat.
"Akhirnya pulang juga, Saz," ucap Indarwati saat menggandeng Sazia masuk ke rumah.
"Rumah kamu banyak berubah, Inda, kemana saja aku?" kekeh Sazia membuat Indarwati tersenyum.
"Kamu terlalu lama pergi Saz. Anak-anak kita juga sudah sangat dewasa meski masih usia SMA. Kalau Chandra sudah kuliah."
"Di mana Irana sekolah? Chandra? Ah anak itu, masih saling iseng kah dengan Irana?"
"Di SMA Nawasena, sesuai kemauan kamu dulu, dia jadi anak yang cerdas seperti ibunya. Kalau Chandra, biasalah mereka masih saling bercanda."
"Jangan seperti aku, aku terlalu bodoh sampai hampir tenggelam."
Indarwati menggeleng mendengarnya. "Tidak, jangan begitu. In syaa Allah Irana selalu berhati-hati meski jadi primadona sekolah."
"Syukurlah." Saziana tersenyum.
Setelah menunggu kamar siap, mereka menaiki tangga ke lantai atas, Sazia dan Indarwati banyak mengobrol. Melepas rindu dan mengingat masa mudanya saat masih sering bermain dan menghabiskan waktu bersama.
Sementara Irana dan Isvara membersihkan lalu merapikan kamar yang akan ditempati Saziana. Juga Chandra yang sedari tadi sibuk mengangkut barang-barang Sazia dari mobil ke kamar yang telah disiapkan. Tidak dibantu oleh tukang karena barang yang dibawa tidak terlalu banyak dan masih sanggup.
"Maa syaa Allah, anak-anakku rajinnya. Kamu berhasil mendidik anak, Inda." Sazia menoleh pada Indarwati sesaat setelah ia menatap Irana, Isvara, dan Chandra sibuk membereskan kamar. Para orangtua itu menyaksikannya di pintu kamar.
"Begitulah, meski bisa mengandalkan pembantu, tapi selagi masih bisa dikerjakan gotong royong kenapa tidak? Mereka harus mandiri, karena seperti yang sering kamu bilang, kita gak tahu takdir di masa depan kita akan seperti apa. Jadi aku pikir, seandainya ya naudzubillah kalau mereka bernasib kurang baik dan diuji, mereka tidak akan kaget karena sudah terbiasa sejak sekarang. Berada atau sedang susah, harus sama saja."
"Aku gak salah pilih ipar. Gak salah comblangin kamu sama Shaka" Sazia menjawil pipi Indarwati.
"Ah kamu, dari dulu selalu berlebihan. Toh, cuma beres-beres kamar. Bukan hal berat. Iya kan, anak-anak?"
"Siapp bunda, betul bangeeet!" kata Chandra antusias.
"Seratus buat bunda!" Isvara mengacungkan dua jempolnya.
"Kami baru pulang tadi setelah ekskul, jadi baru sempat bereskan ini semua. Tadinya mau hari Sabtu tapi aku ada kerja kelompok, Bu. Jadi ya, dadakan. Hehe, maaf Bu Indarr." Indarwati tersenyum hingga menampilkan deretan giginya yang putih bersih.
Setelah selesai, mereka mempersilakan Sazia dan Indarwati untuk masuk dan duduk di sofa kamar.
Irana langsung berhambur kepelukan Saziana dengan dekapan yang erat.
"Aciee yang melepas rindu dengan ibunda," goda mereka serempak.
Shaka yang baru selesai mengurus administrasi dan surat menyurat dari rumah terapi itu sampai di rumah dan langsung menghampiri sang adik.
"Sazia," sapa Shaka lalu menghampirinya. Membuat Irana melepaskan pelukannya.
"Kakak," gumam Sazia lalu berhambur kepelukannya. Meski sudah berumur, tetap saja ia rindu kakaknya.
"Kak, aku sudah gak takut air lagi, aku juga gak terlalu takut ketinggian," lapornya pada Shaka saat masih dalam pelukannya.
"Kakak senang sekali kamu sudah pulih dan pulang ke rumah ini lagi."
"Om Sha-" Irana berbiat menginterupsi, namun Shaka lebih dulu berbicara.
"Om tau, Rana, kamu mau bilang kalau kamu mau ke rumah villa yang kamu punya? Enggak akan om biarin kalian berdua sebatang kara di sana. Tempat terpencil yang harusnya cuma jadi tempat healing kita. Tetap di sini dan jangan macem-macem," ucap Shaka tegas membuat Irana meringis.
Dengan lesu, Irana meng-iyakan.
"Persetan dengan mandiri kak. Selama ada kita yang akan selalu sama teteh, Teh Ira sama Aun jangan khawatir."
"Kamu ini menganggap kami apa Ira?"
"Aku hanya tidak mau merepotkan kalian lebih lama lagi," cicitnya lalu menangis.
"Gak ada ceritanya kamu merepotkan Ira. Sudah, jangan aneh-aneh. Kita harus hemat tissue untuk selamatkan pepohonan! Dan juga kecantikan kamu yang tiada tanding. Dan juga harus melestarikan mata indah kamu jangan sampai sembab seperti bintitan habis ngintip orang!" Chandra mengerlingkan matanya, membuat Ira hampir melempar vas bunga kecil yang tergeletak dihadapannya.
"Kalian berdua, masih aja cosplay Tom & Jerry. Filmnya aja udah ilang dari TV," komentar Isvara.
"Lagian kak Chandra nyebelin."
"Ih kamu," protes Chandra lalu menoel hidung Ira.
"Masih saja usil!" geram Irana.
Melihat tingkah Irana dan Chandra, mereka hanya mampu geleng-geleng kepala.
"Sudah Irana. Di balik itu, Chandra pasti sayang banget kok sama kamu. Iya kan Chandra?" tanya Saziana sambil menatap keduanya bergantian. Saziana duduk diapit Shaka dan Indarwati.
"Beuh, iya banget, Aun. Sayaaaaangg banget." Seperti biasa, Chandra selalu menjawab Saziana dengan antusias dan semangat. Kali ini dengan ekspresi meledek.
"Ah, kamu!" Indarwati dan Shaka kompak menjewer Chandra dengan gemas.
"Ampun Yah, Bund. Chandra serius, kok. Suer takewer-kewer pokoknya!"
Mendengar Chandra meringis dan merintih, Irana tertawa cekikikan hingga keluar air mata. Begitupula Isvara. Puas melihat kakaknya dinistakan oleh ayah dan bundanya.
"Mampus Lo, kak! Haha."
"Kalian tega ya, sama aku ...." Chandra cemberut dan bertingkah seperti anak kecil yang merajuk.
Keharmonisan seperti ini yang lama sekali tak Saziana dapatkan, kini membuatnya perlahan tenang dan hangat sehingga ia pun akhirnya nyaman.
***
Pagi sekali, hari yang diawali Senin itu mengharuskan mereka on time. Kalau tidak, mereka akan dihukum karena tidak ikut upacara.
Saziana memperhatikan Irana dan Isvara mengenakan pakaian putih abu lengkap dengan atribut lainnya. Ia meneteskan air mata haru.
Kedua anak gadisnya itu hendak masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Chandra. Meski jadwal kuliahnya setelah Dzuhur, ia tetap harus mengantar Irana dan Isvara ke sekolah. Karena tentu saja kedua gadis itu memaksanya mengantar sekolah.
"Ya dari pada Kak Chandra nganggur," seloroh Isvara sambil menyalimi Sazia dan Indarwati, lalu Shaka. Irana mengantri di belakang Isvara.
"Kalian ... Belajar yang betul, nanti terusin perusahaan Ayah. Ya, Irana? Siap jadi CEO penerus Om?"
"Hemm, iya deh Om, ikut baiknya saja gimana."
"Yaudah, berangkat. Hati-hati nyetirnya Chand." Indarwati mengingatkan.
"Ibu tunggu di rumah, Hem? Pulang yang tepat waktu," pesan Saziana lalu mengecup singkat kening putrinya.
Sudah lama sekali Irana mengharapkan hal ini setiap pagi dari ibunya. Meski Indarwati juga menjadi figur ibu yang baik untuknya. Tetap saja Irana rindu sang ibu. Ingin perhatian ibunya.
#day9
#tim3

KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable Heart
Teen FictionAkibat kejadian tragis di masa lalunya, Irana menjadi sosok yang sangat sulit didekati pria. Karena kecantikannya, ia menjadi incaran siswa laki-laki yang ingin menjadikannya pacar. Hal ini membuat teman-teman wanita bahkan kakak kelasnya merasa ir...