Satu.

28 9 0
                                    

Perempuan dengan apron yang masih melekat itu menganggurkan bahan masakan yang akan diolahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perempuan dengan apron yang masih melekat itu menganggurkan bahan masakan yang akan diolahnya. Pasalnya, dering telepon di gawainya terus saja mengganggu.

"Apa? Ibu Kamala jatuh di kamar mandi?" pekiknya disebrang telephone.

"Iya, iya. Aku akan kabari Mas Aziz dulu," tutupnya lalu melepaskan apron dan berlari ke ruang tamu.

"Mas Aziz, ibu jatuh dari kamar mandi. Tetangganya yang kabari, baru saja." Saziana tampak terengah-engah karena berlari.

Lelaki yang tak lain adalah suaminya itu melotot dan berdiri, tubuhnya gemetar dan panik. Saziana yang melihatnya lantas memeluk sang suami. Menguatkannya.

"Kami ikut prihatin. Segeralah temui ibumu, Aziz. Kami juga akan pulang kalau begitu." Shaka mengusap bahu Aziz yang melepas pelukannya.

"Kami akan berangkat sore ini juga, tapi aku tidak akan membawa Irana, oleh karena itu Kak Shaka dan Kak Inda jangan pulang dulu. Tetaplah di sini menemani Ira. Kami akan membawa ibu, dan merawatnya di sini saja. Maaf jika kedatangan kalian kami anggurkan." Saziana menautkan kedua tangannya sebagai permintaan maaf.

Wanita dengan hijab navy itu menatap Indarwati dan Shaka secara bergantian. Yang ditatap tersenyum lantas mengangguk.

"Baiklah kalau begitu, lagipula Chandra dan Isvara pun kelihatannya sangat senang bermain dengan Ira." Kali ini Indarwati yang bersuara.
Saziana dan Aziz tampak berterima kasih lantas mengemasi pakaian mereka.

"Eh, mama, papa, mau kemana?" tanya putri semata wayangnya dengan lugu. Gadis kecil berusia 7 tahun itu tampak belepotan dan lusuh karena asik bermain dengan dua sepupunya.

"Kami mau menjemput nenek, kamu kangen juga kan dengan nenek? Ira tunggu di sini saja ya, bersama Isvara, Bibi Indarwati juga akan jagain kamu. Ira enggak apa-apa, kan, papa sama mama pergi sebentar, mau jemput nenek. Oke?"

"Iya, papa. Mama. Hati-hati ya," ucap gadis polos itu lantas berlari dan kembali bermain.

Sore menjelang malam, Saziana dan Aziz berangkat dari Jakarta menuju Palembang, tempat sang ibu berada. Hanya butuh waktu 2 jam kurang lebih untuk sampai ke pelabuhan merak. Selebihnya, perjalanan akan lebih panjang.

Angin malam lumayan besar menerpa tubuh wanita yang masih saja berdiri di geladak utama kapal sembari menikmati lautan di hadapannya. Gamis dan hijab lebar yang ia pakai tampak berkibar-kibar tak berbentuk lagi lantaran diterpa angin.

"Saziana, kamu disini." Suara bariton itu mengusik pendengaran wanita cantik itu, hingga ia menoleh ke arah suara.

"Mas Aziz, iya. bosen di dalem, sesekali boleh lah, ya, seperti ini," katanya dengan senyuman.

Lelaki dengan kemeja navy itu berdehem sambil melingkarkan lengan diperut sang istri, lantas merebahkan kepalanya di bahu Saziana, "Iya, kita juga sudah lama ya, enggak pacaran?" kekehnya pelan, lantas terdiam beberapa saat.

Untouchable HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang