Gossip.
Siswi yang sering menyebar gossip itu bernama Eliza. Yang sampai saat ini Irana tidak tahu yang mana orangnya. Entah apa motifnya, ia selalu menyebarkan berita-berita yang tidak berfaedah, kadang Eliza membuat gossip yang terkesan sotoy ditelinga Irana. Seperti tadi, soal tanggal ulang tahun Irana, nomor sepatu, dan hal-hal yang berbau pribadi lainnya. Risih? Tentu. Tapi saat ingin ditemui, Eliza seperti menghindar dan tak pernah menunjukkan batang hidungnya pada Irana.
"Udah lah, kan udah biasa juga kayak gitu?" kata Chandra saat Irana mengisahkan ia berjalan dari gerbang ke halte. Sambil mengemudikan mobil menuju rumah terapi Aun Sazia alias ibunya Irana.
"Gue aja yang sehari-hari bareng Teh Ira ngerasain risihnya. Ya meski seneng sih gue kenyang terus, uang jajan gue utuh." Isvara menyibak hijabnya seperti ia tengah menyibak rambut.
"Yeu, makan aja lu mah, Dek, Dek," ledek Chandra memutar bola mata.
Mereka mengobrol asyik di mobil, sampai tak sadar kalau ternyata sudah berada di parkiran tempat terapi sang ibu.
Ira yang pertama kali turun dan berlari, tak sabar bertemu sang ibu yang sangat ia rindukan.
"Ibuuu!!!"
Sang ibu menoleh ke arah suara. Sazia sedang duduk melamun di kursi taman.
"Ira kangen," manjanya saat memeluk sang ibu yang tersenyum.
"Ibu juga." Sazia mengecup wajah Irana seluruhnya.
"Kamu kemana aja sih, Ra? Kok baru ke sini? Katanya mau sering ke sini?" Sazia menatap lekat mata Irana.
"Maafin aku ya Bu, baru sempet. Hehe. Ibu gimana? Sehat? Masih takut air? Masih takut takut? Hem?" tanya Irana sambil bersandar di paha sang ibu.
Sementara Isvara dan Chandra yang baru memasuki tempat itu hanya memantau Irana dari jauh. Tak ingin mengganggu moment kebersamaan bersama sang Ibu.
Tak lupa, Isvara iseng memotret candid Irana yang sedang bersenda gurau dengan Saziana.
"Enggak, ibu udah gak takut sama sekali. Yang terpenting, kata dokter ibu gak boleh lihat-lihat yang bikin ibu inget sama trauma ibu dulu." Saziana menunduk dengan bulir bening yang terus mengucur.
"Ibu jangan sedih, Ira tetep sayang ibu apapaun yang terjadi, Bu." Gadis itu meraup pipi sang ibu lalu menghapus aliran air yang menganak dipipinya.
"Kalau gitu ... Ibu sudah boleh pulang dong?" tanya Irana dengan sumringah.
"Satu minggu lagi Ibu Saziana sudah boleh pulang, Ira." Itu suara dokter Carrisa Delinda.
"Serius Dok? Ah aku gak sabar Minggu depan, sih Dok. Sekarang saja boleh?"
"Saya faham kamu pasti rindu banget ya sama ibu? Tapi tunggu satu Minggu lagi ya? Masih ada rangkaian terapi yang perlu ibu kamu lakukan," jelasnya lalu menjawil pipi Irana.
"Si Cantik, Baik. Maa syaa Allah." Dokter Carrisa menatap Irana penuh kagum.
"Ah, Bu dokter bisa aja!" Irama tersipu lalu dipeluk Sazia.
Setelah lama berbincang dengan dokter, akhirnya Chandra dan Isvara memutuskan untuk ikut bergabung mengobrol.
"Assalamu'alaikum Aun! Masih inget aku gak? Aku Isvara, keponakan tersayang Aun," sapa Isvara sembari menggamit tangan Sazia untuk disalimi. Begitu pula Chandra.
"Bohong Aun, keponakan tersayang Aun itu aku, kan?" Chandra tampak melirik Isvara sekilas.
"Kalian berdua itu keponakan kesayangan Aun! Isva Cantik, Chandraku yang tampan. Hei. Kamu sudah setinggi ini ya?" Sazia memeluk keponakannya itu penuh sayang.
Melihatnya, hati Irana menghangat. Meski teman-teman SMP nya dulu bilang kalau Ibunya Irana gila, stress, atau apapun, mereka tidak risih sama sekali dengan ibunya. Bahkan makin sayang.
"Ibu sudah boleh pulang lho, Minggu depan, hari di mana aku naik kelas 12! Nanti kita tinggal di rumah yang udah aku siapin ya Bu."
"Serius? Aaak!! Seneng banget Aun udah boleh pulang. Nanti Aun buatkan kue terenak buat Aunku yang tercinta. Tapi ... Kenapa harus pindah teh Ira? Di rumah kita yang sekarang saja?"
"Aku malu merepotkan kalian terus, sudah saatnya aku mandiri, kan?"
"Tapi Bunda sama Ayah pasti marah besar kalau tahu ide gila kamu, Ira." Chandra menatap Irana dengan tajam.
Irana menunduk gelisah. Haruskah ia tetap bersama paman dan bibinya? Ikut tinggal dan merepotkan seumur hidup?
"Aku gak enak, masa numpang di rumah tangga om Shaka terus. Apalagi sama ibu," lirihnya dengan mata yang mulai berair.
"Percaya sama aku, Ira. Ayah Shaka gak bakal ngizinin kalian pergi dari rumah. Apalagi masa tahanan Om Aziz udah tinggal beberapa tahun lagi. Kamu dalam jaminan aman kalau terus bersama kita. Dan selalu jagain ibu kamu dari apapun. Ya?"
Irana terdiam cukup lama hingga akhirnya mengangguk. Tentu saja. Ancaman apa lagi yang mampu membuatnya tunduk kalau bukan hal terlemahnya, Bahrurain Al-Aziz. Ayah kandungnya.
Dokter Carrisa yang tahu persis kejadian yang dialami keluarga itu pun hanya bisa mengusap punggung Irana. Menguatkan dan mensupport gadis kecil yang kini beranjak dewasa.
"Ibu ikut yang terbaik saja deh, ibu pusing mikirnya," timpal Saziana lalu menggaruk kepalanya dengan sedikit brutal.
"Ibu tenang ya, ibu cuma tinggal ikut dan nikmati yang ada. Okei?"
"Hmm," balasnya lalu mengangguk.
#day8
#tim3
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouchable Heart
Подростковая литератураAkibat kejadian tragis di masa lalunya, Irana menjadi sosok yang sangat sulit didekati pria. Karena kecantikannya, ia menjadi incaran siswa laki-laki yang ingin menjadikannya pacar. Hal ini membuat teman-teman wanita bahkan kakak kelasnya merasa ir...