Kita sama, Sa.

9 1 0
                                    

***

Hening.

Dua orang yang tenggelam dalam pikiran nya masing-masing, setia mendengarkan isi kepala yang berisik, dan sisa isak tangis seorang wanita yang terlihat pilu. Langit sore itu menjadi saksi betapa rapuhnya dua sosok manusia yang saling memandang kosong indahnya langit kala itu.

Radipta yang tidak tahu harus memulai dari mana, dan Melisa yang setia pada berisik nya isi kepala. Mereka saling menikmati terpaan angin sore itu saling harap berisik nya saat itu juga hilang tak kala angin menerpa kulit mereka yang sama-sama kedinginan dan penuh sayatan.

"K-kita sama?"

Melisa terpenjat mendengar suara kecil namun ada arti yang sangat dalam dan penuh penderitaan. Melisa berusaha mencerna apa yang Radipta ucapkan. Apa Radipta juga sama rapuh dengan nya?

"Menurut lo, siapa yang dirugikan di dunia ini? Orang tua atau anak?" Radipta memulai pembicaraan seraya setia menatap kosong langit jingga yang terbentang luas.

Melisa terdiam, mencerna ucapan nya dan berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang Radipta berikan.

"Orang tua?" Melisa menjawab dengan ragu.

"Right, mereka berusaha keras untuk menghidupi kita, tapi apa lo pernah mikir? siapa yang menginginkan lo lahir ke dunia?" Radipta berkata pelan agar mudah di pahami oleh sosok di samping nya.

Melisa berpikir sejenak. Siapa yang menginginkan dirinya terlahir di dunia? "Mereka yang membuat gue terlahir di dunia, jadi itu keinginan mereka?"

"Lebih tepatnya tanpa persetujuan lo," Radipta melanjutkan ucapan nya, kali ini dengan nada penuh penekanan. "Membuat lo berada di dunia yang penuh kekecewaan, penuh tekanan, yang terus meramu rasa sakit tanpa persetujuan lo."

Melisa mencerna dengan baik apa yang Radipta ucapkan. Benar adanya.

Radipta melanjutkan perkataanya.

"Tapi satu hal yang perlu lo tau, kehadiran lo di dunia secara tidak langsung sudah lo setujui." Radipta berkata demikian sembari melirik ke arah Melisa dengan tatapan teduh dan tenang namun juga menyimpan penderitaan.

Alis Melisa mengkerut, menandakan dirinya tidak mengerti maksud ucapan Radipta. Kapan dirinya berkata demikian?

Melihat kebingungan di wajah Melisa, Radipta melanjutkan perkataanya.
"Sebelum lo memilih untuk lahir ke dunia, lo di tanya oleh Tuhan apa lo yakin untuk terlahir di dunia, dan adanya lo di sini artinya lo menyanggupi segala hal yang terjadi dalam hidup lo, karena memang lo sudah berkata demikian pada saat keputusan lo terlahir di dunia."

Melisa tertegun atas ucapan Radipta, sekian lama Melisa hanya bisa melihat raganya dari jauh, saat ini Melisa mendengarkan dengan sangat leluasa perkataan yang silih berganti pada bibir Radipta dengan penuh ketenangan.

"Lalu.. apa yang membuat lo memilih untuk terlahir ke dunia?" Melisa melirik pada laki-laki di samping nya.

Radipta berfikir sejenak.

Sembari tersenyum kecil menatap langit sore itu, Radipta berkata, "Untuk semua hal yang belum dan ingin gue miliki, untuk tempat-tempat yang belum gue datangi, dan untuk seseorang yang membuat gue kuat dan bertahan sampe detik ini, Ibu."

Melisa tertegun mendengar kalimat akhir yang Radipta katakan. Ibu. Melisa selalu lemah jika soal wanita yang melahirkan dirinya ke dunia.

"Ah, Ibu ya.." Melisa berkata pelan sembari menunduk menatap kosong kaki yang sengaja di goyangkan karena tidak sampai menapak pada tanah, berbeda dengan kaki di sampingnya yang berbalut sepatu Converse yang menapak langsung dengan tanah.

After Meet You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang