8.

768 87 8
                                    

Harry mengganti saluran radio mobilnya sejak 10 detik yang lalu. Membuatku memutar mata kesal karena suara-suara yang tak jelas. Tapi, kekesalanku tak ada apa-apanya dibandingkan kegugupanku sekarang.

Aku diantar pulang oleh seorang Harry Styles. Dan aku berteman dengannya. Entah apa yang kuperbuat di masa lalu, tapi Tuhan pasti sangat menyayangiku. Semua kebetulan ini seperti tidak berakhir. Dan tidak masuk akal. Setidaknya, menurutku.

Apa tiga kejadian berturut-turut ini masih bisa dikatakan sebagai sebuah kebetulan? Tapi aku juga tak yakin untuk menyebutnya...

Takdir.

Harry akhirnya berhenti menekan-nekan tombol radio dan aku mendengar sebuah lagu yang mengalun merdu.

"Jadi, tadi kau dikejar-kejar oleh fansmu?" Kuputuskan untuk memecah keheningan. Lagipula aku juga tak ingin Harry menganggapku gadis yang membosankan.

Harry menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari setir. "Ya, begitulah. Kadang-kadang mereka berlebihan dan aku tidak suka dikuntit kemanapun aku pergi. Jadi, aku mengajak Zayn kabur tadi."

Kami berdua terkekeh pelan. Kukira, orang semacamnya dan spesiesnya sangat suka oleh perhatian. Bukankah bagi mereka, selain kepopuleran, fans adalah segalanya?

"Bukankah mereka berarti untuk kalian?" Aku kembali bertanya.

"Tentu saja. Tapi, aku tidak terlalu suka yang fanatik. Mereka berlebihan. Seperti yang tadi siang. Aku sudah berkali-kali menghadapi yang jauh lebih parah daripada itu."

Aku menggumam sebagai jawaban. Tak tahu harus berkomentar apa. Karena menurutku apa yang diutarakannya memang benar.

"Kau sendiri?" Harry menoleh sebentar dan melanjutkan dengan nada menggoda, "bukan salah satu dari directioner?"

Aku terkesiap. Rasanya seperti ditanyakan satu-satunya pertanyaan yang tidak ingin kujawab. Karena aku bahkan tak tahu persis jawabannya.

Namun aku memilih tidak menjawab 'iya' karena sejujurnya aku memang bukan penggemar berat mereka.

Harry pasti mendengarku berdeham dan berbisik pelan. "Tidak."

Ia menoleh lagi dan memberiku tatapan apa-kau-sedang-berbohong dengan kedua mata hijaunya yang memikat.

"Maaf saja, aku bukan penggemarmu maupun teman-temanmu yang lain." Aku menegaskan dengan tangan terlipat di dada.

Melihat ekspresi seriusku, Harry tertawa kencang sampai membungkuk. Aku menatapnya keheranan. Apa yang membuatnya tertawa sebegitunya?

Ia menyeka airmata di sudut matanya dan menjitak sisi kepalaku.

"Lily, ekspresimu lucu sekali. Tapi, aku bisa melihat kalau kau bukan salah satu dari mereka."

Aku menyipitkan mata tak suka. Oh, memangnya darimana ia tahu?

Seakan bisa membaca pikiranku, Harry kembali berkata. "Saat kita bertemu di Tower Bridge, sikapmu wajar-wajar saja. Kau bahkan bergumam waktu itu jika aku Harry yang nyata. Dan aku langsung tahu kalau kau pasti bukan penggemarku."

"Oh begitu?"

"Ya. Kau bersikap biasa. Dan aku suka itu. Terasa menenangkan, seperti sedang bersama teman. Aku tidak merasa berkewajiban seperti saat sedang bersama para penggemar. Meski aku juga menikmati saat-saat bersama mereka."

Aku mendengarkan dalam diam. Tak lama, mobil Harry sudah sampai di depan rumah. Aku membetukkan letak tasku dan tersenyum kearahnya yang juga sedang menatapku dari balik setir.

"Terimakasih Harry, kau baik sekali."

Ia tersenyum setengah, lesung pipinya yang dalam seketika membuatku berdebar. Astaga. Aku langsung membuka pintu dan keluar, mengabaikan senyumannya yang sempurna. Sebelum kembali menutupnya, aku menunduk dan melambai singkat.

"Dan Harry, terimakasih sudah mentraktirku."

Ia tertawa dan mengacungkan satu ibu jarinya padaku. "Never mind, new friend."

Aku menutup pintu dan melangkah mundur. Harry mulai menjalankan mobilnya perlahan namun langsung berhenti mendadak. Keningku berkerut. Ada apa lagi?

Harry memundurkan kembali mobilnya dan membuka kaca. "Dan Lily, jangan lupa aku akan meminjam filmnya ketika kau sudah selesai."

Aku terkikik geli demi melihat raut wajahnya yang begitu kepingin. Ia jadi seperti anak kecil.

"Oke."

"Baik kalau begitu. See you soon."

Ia membunyikan klakson dan mobilnya melaju mulus dan tidak terlihat lagi di ujung jalan.

Aku menarik napas dan Menghembuskannya perlahan. Kulangkahkan kakiku menaiki undakan menuju pintu depan dan sebelum membuka pintunya, Kaylie sudah muncul dengan wajah menyeringai.

Oh, ini akan menjadi malam yang sangat panjang.

***

HARRY'S POV

Aku memgemudikan mobilku kembali menuju apartemen setelah mengantarkan gadis itu pulang. Sepanjang jalan, aku berpikir betapa banyak kebetulan yang terjadi berhubungan dengannya. Semua pertemuan itu.

Lily Collins. Ia sangat manis, kuakui itu. Mata hazelnya dan rambutnya yang panjang berwarna cokelat memikat. Aku sudah banyak bertemu gadis yang lebih manis dan cantik daripadanya sebelum ini, tapi tidak ada yang semenarik dirinya.

Aku mendengus pelan seraya membesarkan volume radio. Gadis itu tidak mudah ditebak. Sesaat ia begitu pendiam, sesaat ia begitu gugup, sesaat ia bisa begitu menjengkelkan. Tapi, ia teman yang cukup menyenangkan.

Dan ia berbeda.

Karena ia bukan fansku, aku jadi bisa bersikap lebih santai. Seperti sedang bersama teman lama. Ya, seperti sudah mengenalnya sejak lama.

Tapi kenyataannya, kami baru resmi berteman hari ini. Dan aku, ingin tahu lebih banyak tentangnya. Kuharap, ia tidak keberatan berteman denganku. Karena, sepertinya aku begitu tertarik.

Apalagi dengan senyumannya yang memikat. Gila. Aku jadi membayangkan senyumnya beberapa saat yang lalu.

"God, kenapa aku jadi berpikir tentangnya? Be rational, Harry." Aku menggerutu dan memfokuskan pikiran untuk menyetir dan ingin segera sampai ke apartemen. Semoga Liam membuat sesuatu yang enak malam ini.

PS:

Sorry if i created this chap shortly. Cerita ini alurnya kayak throwback gitu, awalnya dari yang prolog. Jadi kuharap kalian bisa terus without getting confused.

Give me much votes like +30 for now and then I'll write the next chap about Hilly. Thanks a lot before and stay tune! :)

Where Do Broken Hearts Go?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang