Chapter 10

184 29 18
                                    

Wang Yibo berdiri mematung, kaku, tidak bergerak, sepertinya tidak menyadari di mana dirinya berada.
Dia hanya gemetar saat dia berdiri di sana. Musim panas baru-baru ini berubah menjadi musim gugur, dan udara terasa tajam, aroma khas bunga segar pada saat-saat seperti ini.

Dia berada di samping kuburan Bai Lu. Baru beberapa jam lalu peti matinya diturunkan sekitar dua meter di bawah kakinya. Jalur-jalur jalan setapak di komplek pemakaman di kaki bukit mulai sunyi. Kawasan itu terhampar luas, dipenuhi pepohonan berjejer di sepanjang tepian, pohon-pohon ek tua tampak membungkuk dan mengerang tertiup angin, sementara dedaunan beraneka warna menari-nari di jalan dan menyapu pemandangan seolah-olah mereka juga sangat terganggu oleh suasana hati para pengunjung yang muram dan berduka.

Apakah ini benar-benar terjadi? Yibo berjuang memilah-milah bagian demi bagian kenangan yang tertinggal dalam ingatannya tentang Bai Lu. Untuk sesaat mengabaikan bagaimana hidupnya yang indah tiba-tiba berakhir menyedihkan. Hanya dengan memikirkan kenangan manis yang bisa membuatnya tetap waras setelah dihantam gelombang kesedihan dan rasa shock yang luar biasa. Penolakan akan kenyataan yang ada melintas di benaknya, meskipun itu tidak mengubah apa pun.

Dua bulan lebih setelah peristiwa nahas di gang yang menimpanya, foto-foto vulgar Bai Lu dan Arthur tersebar luas. Hari-hari itu bagaikan rangkaian mimpi buruk bagi Yibo. Dia dimarahi, dimusuhi, dan dipermalukan. Namun itu bukanlah apa-apa. Yang lebih menyakitkan hati adalah Bai Lu tidak lama kemudian berubah murung dan jatuh dalam depresi. Banyak pihak dikerahkan untuk mencegah foto-foto itu semakin viral. Beberapa bisa dihapus, sisanya masih muncul dan muncul lagi, seperti virus.

Pihak berwajib telah menangkap kawanan berandalan yang memukuli dirinya dan Luhan, dan mendakwa mereka atas pelanggaran menyebarluaskan foto-foto itu. Yibo bahkan bisa melacak kameranya dan menebusnya kembali dari seorang pemilik toko. Namun yang paling dirugikan dalam peristiwa ini tentunya adalah Bai Lu. Dia harus menanggung malu yang paling menakutkan bagi semua wanita di dunia. Semua orang bisa melihat bagaimana cahaya di matanya perlahan redup dan senyumannya memudar.

"Yibo .... " satu sentuhan lembut mendarat di bahunya, mengejutkannya, di saat ia berpikir hanya dirinya seorang yang masih tinggal. Seseorang itu kini berdiri di sampingnya dengan setelan jas hitam tanda berkabung. Dia adalah Luhan.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

Untuk sepersekian detik Yibo ragu apakah ia bisa kembali baik-baik saja setelah menghadapi peristiwa traumatis ini. Pikirannya bergolak, mengembara, tapi hal apa pun yang dia pikirkan, kengerian masih tetap ada di sana. Di sudut pikirannya yang gelap, meringkuk seperti monster hitam.

"Mengapa dia melakukan hal seburuk ini?" gumamnya, lemas.

Ribuan kali sudah dia mengajukan pertanyaan yang sama, tanpa pernah ada jawabnya.

"Kau sudah tahu. Bai Lu jatuh dalam depresi setelah kejadian itu," sahut Luhan dengan nada prihatin.

"Hati dan pikiranmu terus menolak kenyataan hingga kau lelah. Nyatanya, sekeras apa pun kau mencoba mengendalikan situasi, foto-foto vulgar itu tetap tersebar luas."

"Ayah bilang ini salahku." Wajah Yibo kian tertunduk, sementara suaranya melemah.
"Aku akan hidup dengan penghakiman ini. Semua salahku. Bai Lu tiada karena aku."

"Yibo," desah Luhan, menatap kosong pada seekor gagak yang hinggap di bahu patung berbentuk malaikat bersayap yang ditempatkan di sisi gerbang pemakaman.

"Seberapa lama seseorang bisa hidup dengan menanggung beban rasa bersalah?" bisik Luhan.

"Entahlah." Tubuh Yibo semakin gemetar, menahan kesedihan yang mendera hatinya.

"Apa yang kau rasakan adalah hal yang wajar. Akan tetapi, hanya karena Bai Lu depresi dan mengakhiri hidupnya, bukan berarti kau harus mengalami keterpurukan yang sama. Itu penebusan yang tidak diperlukan, dan tidak akan ada yang peduli tentang itu. Bersedihlah sebentar saja."

𝐏𝐨𝐫𝐭𝐫𝐚𝐢𝐭 𝐨𝐟 𝐋𝐨𝐯𝐞 (𝐄𝐧𝐝 𝐏𝐝𝐟 ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang