Chapter 19

149 32 2
                                    

Wang Yibo mengawasi beberapa pasangan menari berputar dan berayun di lantai dansa, saling mendekap mesra, sementara saksofon dan piano mengalun mengikuti tiap nada pada musik yang tengah dimainkan. Musik itu romantis, membangunkan suatu kerinduan dalam dirinya, dan Yibo tiba-tiba menyesal karena telah datang ke acara ini.

Ada acara pengangkatan karyawan magang menjadi karyawan tetap. Memang, itu adalah kesempatan yang sangat jarang saat dia diberitahu bahwa dia telah terpilih menjadi salah satu karyawan beruntung itu. Awalnya Yibo tidak akan bergabung, tapi Boss dan juga kawan-kawan memaksanya untuk datang di acara perayaan ini. Makan malam, menari, di salah satu klub malam terbaik di Beijing.

Sungguh tiada keperluan, Yibo membatin bosan.

Pemborosan waktu, biaya dan energi.

Semakin dipikirkan, semakin banyak yang bisa dia keluhkan. Dia merasa rugi waktu istirahatnya tersita tanpa alasan mendesak, meski ia tahu, bahkan dalam situasi dan kondisi tenang dan nyaman, dia tetap tidak bisa beristirahat dengan benar.

Yibo terus bertanya dalam hati mengapa ia berada di sini. Setiap orang kelihatan berpasangan dan bahagia, sedangkan ia sendirian. Kedengarannya tidak adil, sedikit tragis, dan mengenaskan. Dia meneguk lemon bercampur soda dalam gelas kaca tinggi berhias potongan jeruk nipis. Pecahan es batu membiaskan kerlip cahaya di wajahnya, di antara keremangan lampu kristal di langit-langit lantai dansa.

Semenjak Xiao Zhan pergi, Yibo telah menerima kenyataan hilangnya keakraban yang pernah dia rasakan bersama kawan-kawan. Kini, lebih sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan dengan tempat atau suasana baru. Dia selalu memikirkan seseorang yang menemaninya minum secangkir kopi, yang dengan sabar menghadapi sifat konyol dan keras kepalanya, dengan hangat bersedia mendengar omelan, merapikan apartemen berantakan, orang yang senyumnya menyiratkan pengertian.

Yibo awalnya mengira dengan berbaur dalam pesta perayaan, ia telah mengemas semuanya, mencoba menyimpan semua kenangan dan kesedihan yang ia rasakan. Akan tetapi saat dia termenung sendiri, melihat bayangan wajah Xiao Zhan di mana-mana, mengepungnya dengan lintasan demi lintasan momen manis yang pernah terlewati, dia merasa telah salah memutuskan. Musik dan lagu indah tidak lagi bergema dalam hidupnya. Hanya sepi.

Kepalanya nyaris menunduk turun akibat rasa kantuk yang ditimbulkan dari perasaan bosan. Ketika itu seorang pria tinggi kurus berpakaian setelan Alexander McQueen hitam mengkilat, berjalan ke arahnya.

Sorot mata si pemuda menembak tajam, dan untuk sesaat Yibo terseret dalam satu ingatan yang menyentak bersamaan dengan nostalgia menyergap diiringi rasa pedih mendalam di dadanya. Mungkin jika hal ini dirasakan sebelum berjumpa Xiao Zhan, dia akan jatuh pingsan. Akan tetapi, saat semua kenangan pahit telah menemui ujungnya, dia merasa lebih kuat. Terkejut memang, tapi tidak sedramatis yang pernah terlintas di pikirannya selama ini.

Pemuda yang berdiri di depannya adalah Arthur.

Warna hitam sangat kontras dengan wajah putih menyunggingkan senyum tanpa kesan ramah. Ekspresinya tenang, tetapi tidak bersahabat. Pemuda itu mengulurkan tangan dengan gaya angkuh.

"Hai, Yibo. Apa kabar?"

Yibo melemparkan pandangan ke lantai dansa yang licin mengkilat. Dengan enggan dia menyambut uluran tangan pemuda itu. Untuk beberapa saat mereka merasa canggung. Akan tetapi begitu musik kembali mengalun, sikap luwes Arthur mampu mengatasi suasana aneh akibat perjumpaan tak terduga dan mungkin tak pernah diharapkan oleh keduanya.

"Baik sekali. Bagaimana kau bisa ada di sini? Bukankah kau pergi kuliah dan berkarier di luar negeri?"

"Dulu ya," jawab Arthur, menarik kursi, duduk bertumpang kaki.

𝐏𝐨𝐫𝐭𝐫𝐚𝐢𝐭 𝐨𝐟 𝐋𝐨𝐯𝐞 (𝐄𝐧𝐝 𝐏𝐝𝐟 ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang