Davina tak tahu berapa lama waktu yang sudah ia habiskan untuk membersihkan kamar mandi dan dirinya. Ditambah ia harus mencari pakaiannya di kamar sebelah, yang ternyata sudah dikosongkan oleh Dirga.
"Ke mana semua pakaian di kamar itu?" tanya Davina pada pelayan yang kebetulan muncul saat ia keluar dari kamar.
"Tuan Dirga sudah membakar semuanya?"
Mata Davina melebar. "Membakarnya?"
Pelayan itu mengangguk, kemudian berpamit pergi karena harus segera ke bawah. Meninggalkan Davina yang masih terbengong. Mendesah pendek, wajahnya tertunduk, menatap jubah mandi yang masih dikenakannya.
Ya, Dirga bisa melakukan apa pun sesuka pria itu. Toh semua pakaian itu juga pemberian Dirga. Pria itu menculiknya tanpa membawa pakaian miliknya. Satu-satunya pakaian yang ia kenakan pada hari itu sudah dibuang ke tempat sampah karena berlumuran darahnya.
Dan menyadari tak ada pakaian yang bisa dikenakannya selain kain ini, jadi ia pun turun ke lantai satu, menyempatkan diri ke kamar Meera untuk mendapatkan pembalut dan pakaian dalam. Dirga jelas tak mau tahu tentang kebutuhannya yang satu itu. Meski pendarahannya sudah tak sebanyak tiga hari setelah keguguran, tetap saja ia masih membutuhkan benda itu.
"Kau terlambat 10 menit lebih 36 detik." Dirga menurunkan pergelangan tangannya ketika Davina muncul di ruang makan. "Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak terlambat satu detik pun dan kau malah merampok seluruh waktu yang kuberikan padamu."
Kepala Davina tertunduk. Tak terkejut dengan cecaran tersebut. Waktu yang diberikan Dirga memang tak masuk akal.
Pandangan Dirga mengamati penampilan Davina dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut yang masih lembab meski sudah disisir rapi, juga jubah mandi yang tampak kebesaran di tubuh gadis itu.
Ya, ia memang sengaja membakar semua pakaian yang dibelikannya untuk wanita itu demi menghukum gadis itu agar tetap terkurung di dalam kamar. Mendapatkan hukuman di balik hukuman. Tetapi rupanya otak Davina cukup cerdas dengan menggunakan jubah handuk di kamar mandinya.
"Maaf."
"Apakah hanya itu satu-satunya bentuk tanggung jawab yang kau miliki untuk setiap kesalahan yang sudah kau lakukan?"
Davina terdiam.
Dirga memukulkan kepalan tangannya di meja, membuat piring yang ada di pinggiran meja jatuh, tepat di samping kaki Davina yang tidak mengenakan alas kaki.
Davina menahan ringis kesakitannya ketika beberapa pecahan kaca menggores kulit kakinya. Ia tak berani menggerakkan kedua kakinya. Satu gerakan saja akan membuatnya menginjak pecahan tersebut.
Dirga melirik ke lantai. Ada beberapa luka goresan di kaki Davina. Tak seberapa dibandingkan ketika gadis melarikan diri di dalam hutan. Bahkan salah satu telapak kaki Davina membutuhkan satu jahitan karena menginjak akar atau batu yang tajam.
"Aku ingin air putih," perintahnya kemudian. Merasa cukup memberikan pelajaran Davina untuk saat ini.
Davina segera menuangkan air putih di gelas kosong tanpa menggerakkan kaki. Tetapi tahu bahwa ia tak mungkin terus-terusan menjadi patung karena ia harus membawa piring yang baru untuk Dirga, Davina pun melangkah mundur dengan hati-hati. Tetapi kakinya belum sempat menyentuh bagian lain lantai ketika pinggangnya disambar dan tubuhnya dibanting di kursi oleh Dirga.
"Apa kau sengaja melukai dirimu sendiri untuk dijadikan alasan agar kau tak mampu menerima hukumanku yang lain?" dengus Dirga dengan tatapan yang lebih tajam. "Kau bahkan tak berhak menyakiti dirimu sendiri, gadis licik. Hanya aku. Hanya diriku sendiri yang memiliki semua hak untuk itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelayan Sang Tuan
RomanceNext Story Saga Sesil Banyu Dirgantara & Davina Riley Davina Riley, harus membayar nyawa yang nyaris dan sudah dilayangkan oleh sang ayah, Jimi. Sebagai pelayan Dirga. *** "Davina Riley?" Mata gadis itu mengerjap-ngerjap, seolah menahan rasa kantuk...