Dirga melempar kemeja yang pertama kali ia lihat begitu membuka lemari pakainnya ke arah Davina yang berdiri di tengah ruang ganti. Dengan handuk yang melilit dada dan rambut yang masih basah. “Pakai itu.”
Davina menangkapnya, tetapi ia tidak hanya membutuhkan pakaian.
“Ada apa?” tanya Dirga melihat Davina yang hanya bergeming, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi masih tampak ragu.
“A-aku … membutuhkan sesuatu yang lain. Bolehkah aku ke bawah untuk memintanya pada temanku?”
Dirga terdiam, tentu saja ia tahu apa yang dibutuhkan oleh Davina. Pakaian dalam dan pembalut. Tetapi ia menjadi kesal karena Davina memintanya pada orang lain. “Jadi kau lebih membutuhkan temanmu yang sudah kupecat ketimbang diriku?”
Mata Davina melebar, lebih terkejut dengan Meera yang sudah pecat ketimbang kekesalan Dirga yang sudah jadi makanan sehari-harinya. “K-kau … memecat Meera?”
Dirga melangkah mendekat, menangkap rahang Davina dan mendongakkannya.
“K-kenapa?” Davina seketika menyadari sejak datang ke rumah ini memang tak pernah melihat Meera lagi. Ia pikir Meera sedang sibuk mengurus pekerjaan lain karena kamar wanita itu yang masih dipenuhi barang-barang.
“Kenapa aku tidak melakukannya apa pun alasannya?”
“Dia sama sekali tak bersalah.”
Cengkeraman Dirga semakin menguat. “Ya, dia tidak bersalah. Tapi aku memecatnya karena kau. Karena kesalahanmu.”
“Maafkan aku. Hanya ini pekerjaan yang dimilikinya. Kumohon …”
“Ck, kau terlalu banyak memohon,” decak Dirga kesal.
“Dia memiliki seorang ibu yang sakit-sakitan yang harus dirawat. Dan kau … kau sudah banyak membantunya agar ibunya mendapatkan perawatan yang layak. Kumohon, biarkan aku sendiri yang menanggung kesalahanku. Dia tidak ada hubungannya dengan kesalahanku.”
Dirga hanya menyeringai. Ya, Meera sudah bekerja dengannya ketika wanita itu masih berusia 17 tahun dan sudah bekerja padanya selama 7 tahun. Dan ibu Meera memang bekerja padanya sejak kedua orang tuanya masih hidup. Semua kebaikan yang diberikannya pada ibu Meera adalah karena kesetiaan keluarga kecil itu terhadapnya.
“Dengan kelemahanmu, kau sudah terlalu banyak menanggung kesalahan.”
“Hanya ini.”
Dirga menyentakkan wajah Davina. “Tidak ada pakaian untukmu lagi. Kau hanya bisa mengenakan pakaian yang kuberikan. Dan … aku cukup baik hati untuk memberimu pakaian dalam dan sesuatu yang kau butuhkan itu. Ada di laci paling atas. Dan …” Dirga menunjuk lemari yang ada di samping kanan mereka. “Apa pun yang kulakukan pada anak buahku, itu urusanku dan jangan ikut campur. Permohonanmu sama sekali tak mempengaruhi apa pun keputusanku.”
Mata Davina terpejam, pegangannya pada kemeja yang diberikan Dirga menguat. Dengan penyesalan dan rasa bersalah yang memenuhi dadanya untuk Meera. Hanya Meeralah satu-satunya orang yang peduli padanya di rumah ini.
Dirga mendengus tipis, melihat sesal di wajah Davina ketika ia berbalik dan berjalan menuju pintu. “Kembali ke tempat tidur,” perintahnya sebelum benar-benar keluar. Hari masih gelap dan ia butuh tidur nyenyak sebelum bangun beberapa jam lagi untuk ke kantor. Tak butuh diganggu dengan suara langkah atau apa pun.
Davina menganggguk, berjalan ke arah lemari yang tadi ditunjuk oleh Dirga dan menariknya laci paling atas. Ada banyak pakaian dalam di sana. Beberapa yang ada di kamarnya sebelumnya dan lebih banyak yang baru. Tapi … kenapa Dirga menempatkan barang-barang ini di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelayan Sang Tuan
RomanceNext Story Saga Sesil Banyu Dirgantara & Davina Riley Davina Riley, harus membayar nyawa yang nyaris dan sudah dilayangkan oleh sang ayah, Jimi. Sebagai pelayan Dirga. *** "Davina Riley?" Mata gadis itu mengerjap-ngerjap, seolah menahan rasa kantuk...