Bagian 8: Hari Sayembara

155 18 0
                                    

HARI SAYEMBARA

"Baginda, mata-mata kita mengirim kabar bahwa Damar Maya dan semua pengikutnya serta prajurit dari Kalimantan telah merapat di pantai kerajaan Asokala. Jumlah mereka ribuan." Patih Gupala memberi laporannya.

Ruang tahta menegang mendengar kabar buruk itu.

"Harusnya anda membunuhnya sejak lama, Baginda," sahut sekretaris kerajaan.

"Jarak kita dengan mereka masih ratusan kilometer. Dan tentara kita jauh lebih unggul. Kita tak akan kalah dengan mudah," kata Baka dari singgahsananya. "Sekarang adalah hari penting, jangan biarkan ketakutan ada di wajah kalian. Sekarang kita ke stadium, para pangeran dan ksatria sudah menunggu." Baka bangkit lalu melangkah keluar disusul para abdinya.

***

Kota ramai sesak. Stadium padat dengan masyarakat dan ksatria dari penjuru Jawa. Para Pengeran duduk tersendiri di kursi empuk. Roro Jonggrang bersiap di keraton, dia memakai gaun terbaikknya, rambutnya dihias indah. Duhai, dia sungguh cantik memesona.

Bandung terpanah akan kecantikannya begitu Roro membuka pintu.

"Baginda Baka dan semua ksatria sudah menunggumu, Raden Ayu. Hamba akan mengantar anda," ucap Bandung sesopan mungkin.

"Kau melupakan janjimu," gumam Roro kecut. "Kau berjanji untuk bicara tidak formal saat kita berdua. Kau sudah lupa."

Bandung menunduk. Dia sama sekali tak lupa satu kata pun atas janjinya. Tapi dia sadar, semakin dia melewati batas semakin besar rasa cintanya. Perasaan itu harus dibunuh. "Kita bukan anak kecil lagi, Raden Ayu. Anda akan segera menikah."

Roro menghela nafas pasrah. "Kukira setelah melaksanakan tugas pemantasan kau akan lebih berani. Ternyata kau sama pengecutnya seperti dulu," ucap Roro tajam. Sebenar dia marah. Kesal karena tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Tidak senang akan keadaan yang memaksanya untuk menikah lewat sayembara. Marah akan status Puteri yang disandangnya membuat dia seolah dipenjara.

"Aku hanya berpikir bijak tentang bagaimana seorang ksatria melayani tuan puterinya," ucap Bandung datar.

Roro mengambil nafas dalam. "Aku tidak akan menikah hari ini." Lalu dia melangkah masuk ke kereta kencananya.

***

Stadium riuh saat Roro muncul. Stadium itu besar, bangunan melingkar yang ditengahnya arena bertarung. Berdiri megah di tengah kota. Janur-janur kuning melengkung dengan indah. Panji-panji ke Tujuh Kerajaan berkibar tinggi. Termasuk panji Wichi yang bergambar singa berbulu merak. Prabu Purwadi juga hadir sebagai tamu undangan. Dia cukup sedih, harusnya putranyalah yang hadir dan mengikuti sayembara. Tapi apalah daya, putranya sudah tak ada.

Baka berdiri dari tempat duduknya. Seketika menjadi diam. Hening. "Hari ini kita berkumpul dibawah panji-panji keluarga masing-masing untuk mengikuti sayembara pernikahan kerajaan. Sembilan belas tahun lalu kita berhasil melengserkan Raja Pengging. Kalian memilihku sebagai Raja baru Tujuh Kerajaan, karena itu marilah kita bersatu untuk melawan Damar Maya yang ingin tahtanya kembali. Untuk memperkuat kerajaan, aku mengadakan sayembara pernikahan ini. Tak perlu banyak waktu lagi, sayembara ini aku buka!" Baka memberikan pidato singkatnya.

Gong di tabuh. Stadium kembali bergemuruh. Roro Jonggrang berdiri lalu turun dari podium menuju tengah arena dengan anggun.

"Apa yang kau lakukan? Umumkan syaratnya dari sini, Roro!" seru Baka. Tapi Roro terus saja berjalan.

Tiba-tiba sebuah bayangan besar meliuk-liuk di atas arena. Semua orang mendongak. Di atas mereka sudah terbang naga Balasoka lalu mendarat di belakang Roro yang sudah di tengah arena. Semua orang terdiam menunggu syarat yang akan diajukan sang Puteri.

The Legend of PrambananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang