TERUSIR
Malam itu hujan enggan turun, bahkan mendung pun tak ada. Langit begitu cerah bertabur bintang, namun udara dingin terus menyelimut. Setelah mengganti perbannya, Roro duduk di atas batang kayu dekat api unggun, sementara Bandung memanggang daging kelinci untuk makan malam mereka. Tak jauh dari sana juga ada kuda putih Bandung yang sesekali medengus, dan bangkai siluman ular penghuni pondok sudah disingkirkan jauh-jauh.
"Apa siluman Sancaka itu benar-benar Permaisuri Kah yang membunuh ibuku di pesta penamaanku?" Roro memulai obrolan.
Bandung mengangguk. "Jangan khawatir. Tidak akan ada yang menyakitimu lagi."
Roro tersenyum simpul merasa dilindungi. "Apa kau pernah merindukan orangtuamu, Bandung? Tidakkah kau penasaran nama bapakmu?"
Bandung terdiam sesaat. Lalu membalikkan daging kelinci yang dibakarnya. "Keluargaku adalah orang-orang di keraton Prambanan. Selain itu tak penting siapa," jawabnya kalem. Namun itu semua bohong. Anak mana yang tak ingin siapa orangtuanya sebenarnya.
Mereka kembali dalam keheningan.
"Ini. Gusti Ayu," kata Badung sambil memberikan potongan daging yang ditusuk dengan bambu pada Roro.
"Apa kau selalu hidup seperti ini selama menjalankan tugas?" tanya Roro setelah lama dalam keheningan.
"Terkadang. Tapi aku sering menghabiskan waktuku di Wichi, dan juga pertapaan. Aku bahkan tidur di istana Bidadara selama tujuh purnama."
"Tujuh purnama? Istana Bidadara?" tanya Roro bingung, menoleh ke Bandung.
"Aku terluka parah saat bertarung melawan raja Jin. Seorang Bidadara Putih menyelamatkanku. Tapi sebenarnya..." Bandung menggantung kalimatnya sebentar, "Aku tak benar-benar mengalahkan raja Jin, sukmanya menyatu dalam tubuh. Aku tak benar-benar menyelesaikan tugasku."
Mereka kembali diam. Hening. Mereka lebih canggung dari masa yang lalu. Di antara mereka hanya ada hubungan Puteri dan Ksatrianya yang dipaksakan. Roro menjadi kalut. Ia tak tau lagi harus bagaimana, ia menunggu selama tiga tahun lebih dan hanya ini yang ia dapatkan? Dia tahu dia seorang wanita, tapi jika mereka terus seperti ini, saling memendam perasaan masing-masing. Dia bahkan mengacaukan sayembaranya sendiri.
Terkadang dalam cinta melangkah lebih dulu adalah tindakan yang tepat. Tak peduli kau wanita atau pria, tak peduli kau seorang bangsawan atau rakyat jelata, bahka jika kau bukan siapa-siapa. Kalau memang cinta ya katakan, kalau benar-benar sayang tunjukkan. Memang kelihatannya tidak semudah itu, tapi harus sampai kapan?
Bukankah cinta tak memandang status?
Api unggun itu terus melahap kayunya, menerbangkan debu bara ke langit. Roro semakin larut dalam perasaannya. Dia menatap bintang-bintang, mencari kalimat yang tepat untuk memulainya.
"Apa kau pernah merindukanku?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Bandung tersentak, tak mendukanya. Dia menatap wajah Roro yang memandang sendu ke langit.
"Apa aku punya hak untuk itu?" kata Bandung, ikut menatap langit malam dengan risau. "Kau seperti bintang, cantik dan anggun, tapi jauh di atas langit. Sementara aku? Aku bukanlah siapa-siapa. Seberapa keras aku mencoba, bahkan saat aku memanjat gunung Semeru untuk bertemu Dewa, aku tetap tidak akan bisa meraihmu. Tidak akan pernah. Aku bahkan gagal dalam tugas pemantasanku sebagai ksatria."
Berlahan Roro beralih memandang pria di sampingnya itu. Air matanya membendung. Pikirannya di selimuti kerancuan yang memutar terus menerus. Selama ini Bandung memiliki perasaan yang sama padanya, dia tahu itu. Tapi Bandung terlalu takut untuk menyatakannya. Bodoh. Sungguh bodoh. Mau dibawa kemana hubungan mereka ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legend of Prambanan
Historia CortaIni kisah cinta antara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Pasti semua orang tahu kalau legenda candi Prambanan, candi yang merupakan bukti cinta Bandung Untuk Roro. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi, itu hanyalah legenda. Bagaimana jika wa...