IRIS 04

3.6K 722 72
                                    

- I R I S -
;

Suasana begitu hening dalam ruangan di mana kini Jeno tengah mengobati luka yang ada di lengan Renjun lantaran tergores sesuatu yang tajam. Renjun tak mengatakan apapun, dia hanya diam seraya mengalihkan atensi pada jendela kamar yang tirainya berterbangan tertiup angin.

“Apa kau pikir hidupmu benar-benar tidak berarti sampai dengan mudahnya kau ingin mati? Padahal diluar sana ada begitu banyak orang yang berharap bahwa mereka bisa hidup lebih lama.” Tak ada balasan dari kalimat yang Jeno lontarkan, di dalam kamar ini hanya ada mereka berdua sebab Haechan pergi memanggil dokter sedang Jaemin kembali membalas pesan dari pihak istana yang katanya akan segera menjemput Renjun.

Menoleh, Renjun beri tatapan tajam pada Jeno, “Kau tidak tahu apapun! Jangan berbicara seolah kau adalah orang yang paling benar!”

“Kau sendiri! Jangan merasa kau yang paling menderita! Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup maka pintu lain akan terbuka, tetapi kau terlalu terpaku pada pintu yang telah tertutup dan mengabaikan kebahagiaan yang ada di depan mata!”

Renjun tertawa, tawa yang terdengar sumbang. “Kebahagiaan? Jangan mengatakan hal-hal memuakan seperti itu, kau bahkan tidak tahu apa yang aku alami! Kau tidak berhak menilaiku sesuka hatimu!”

Jeno tidak memiliki maksud yang buruk, dia sebenarnya ingin memberikan kalimat penghibur dan motivasi agar anak ini tidak menyerah atas hidupnya dengan begitu mudah. Tapi ya, Jeno adalah orang yang paling buruk jika harus berkomunikasi dengan orang lain, banyak orang yang sering salah paham dengan apa yang Jeno sampaikan pun kadang kalimatnya sedikit kasar untuk dibilang sebagai kalimat penghibur.

Helaan napas pelan keluar dari belahan bibir Jeno, “Aku tidak bermaksud untuk menilai sesuka hati, hanya dengan melihat luka pada tubuhmu saja aku bisa tahu bahwa hidupmu memang tidak mudah, namun kematian bukanlah pilihan yang harusnya kau ambil. Jangan menyia-nyiakan hidupmu dengan terus terjebak dalam kesedihan ataupun rasa sakit, jika kau tidak punya sayap untuk terbang, bukan berarti kau cacat, selalu ada cara lain untuk terbang bahkan jika itu tanpa sayap sekalipun, asalkan kau mau percaya dan tidak menyerah.” Jeno tidak berharap bahwa kalimatnya ini akan merubah pikiran Renjun, dia hanya berharap bahwa setelah ini tidak ada lagi hal-hal yang merepotkan yang harus dia tangani seperti sebelumnya.

Aneh, kalimat itu rasanya tidak asing, Renjun seperti pernah mendengarnya di suatu tempat, namun dia lupa kapan tepatnya dia pernah mendengar kalimat tersebut.

Proses mengobati luka Renjun telah usai, Jeno berniat untuk pergi namun baru saja akan beranjak Renjun tiba-tiba menahan lengannya. Yang lebih membuat Jeno terkejut adalah wajah Renjun yang teramat dekat dengan wajahnya, entah apa yang anak ini lakukan.

Iris mata Renjun memmindai dengan seksama seluruh bagian wajah Jeno tanpa satupun terlewat dan terakhir Renjun melihat lekat bola mata berwarna merah yang tampak tak asing dalam ingatan Renjun. Namun, karena Jeno yang tiba-tiba mendorong Renjun untuk sedikit menjauh membuatnya harus mundur kebelakang.

“Ada apa denganmu? Jika ada yang mau kau katakan, tidak perlu sampai mendekat seperti itu!” Selepas mengatakan kalimat tersebut, Jeno bergegas keluar dari dalam kamar Renjun sebab merasa bahwa ada yang tidak beres dengan degup jantungnnya.

Sepeninggal Jeno, Renjun menyeringai kecil dengan sorot mata yang tampak terluka. “Iya, benar juga.. Kau sudah hidup dengan baik, lantas untuk apa kembali kesana? Kau bahkan mungkin sudah lupa padaku.” Gumam Renjun yang kemudian tertawa, menertawakan kebodohannya yang pernah percaya jika Jeno akan kembali menjemput Renjun seperti janjinya dulu.

Benar, beginilah kehidupan bekerja, seharusnya Renjun memang tidak mengharapkan apapun dan tidak bergantung pada siapapun, itu adalah pilihan terbaik untuk keberlangsungan hidupnya.

I R I STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang