[TANDA ISIM]

319 37 0
                                    

"Sungguh sangat beruntung jika berjodoh dengan orang yang paham akan ilmu agama. Maka jangan mempersulit jalannya menuju halal jika ia menyukaimu, karena lelaki sholeh tidak datang dua kali."
-Abiya Muhammad Hatta-

Mustasna memandang kosong dinding yang ada di hadapannya. Perempuan itu sudah dirias, juga ijab pun sudah tercetus. Cowok itu memberi mahar seperangkat alat sholat, satu juta dirham, serta satu pondok pesantren yang ada di Tarim.

Masalahnya bukan itu yang membuat perempuan itu kini menjadi pucat pasi. Pasalnya dirinya dengan jelas melihat keberadaan Papanya di sana dan dengan mudahnya berjabat tangan dengan sosok suaminya.

Tak ada resepsi. Karena Mustasna yang memintanya.

Pintu dibuka memperlihatkan Mufid yang memakai warna senanda.

Cowok itu berdiri dengan jarak beberapa meter dengan pandangan sendu.

"Gak perlu balas perasaan saya kalo emang kamu gak ada rasa apa-apa."

Cowok itu maju lalu mengecup kening istrinya lama. Perlahan air mata mengalir di pipinya dan detik berikutnya tubuh mungil istrinya masuk ke dalam dekapannya.

"Saya ingin seperti ini....."

"Cukup memeluk udah lebih dari cukup."

Cowok itu mengamati wajah Mustasna dengan pandangan tulus.

"Gak peduli masa lalu kamu seperti apa, udah dipeluk berapa kali saya gak akan pusingkan hal itu." Ada jeda. "Yang terpenting sekarang kamu udah jadi milik saya."

Bibir Mustasna bergetar. "Kenapa Papa ada di sana?"

"Tanpa dirinya, saya gak akan bisa halalin kamu."

"Kalian saling kenal?"

"Bukannya selain deketin Allah, kita juga harus deketin orang tuanya?"

Mustasna kini paham. Perempuan itu tersenyum tipis.

"Istri kamu itu udah gak perawan."

Tak ada pandangan terkejut mau pun merendahkan dari laki-laki tersebut. Tatapan cowok itu masih sama.

"Apa saya menikahi kamu cuma mengharapkan itu?" Ada jeda. "Itu terlalu rendah."

"Saya beneran gak lancar baca Al-Qur'an."

"Nanti saya ajarin."

"Agak lupa sama bacaan sholat."

"Saya ajarin juga."

Mustasna menghela napas. "Kamu sempurna. Kenapa bisa-bisanya mau bersanding sama perempuan kayak saya?"

Mufid tersenyum lebar. "Karena kamu juga sempurna di mata saya."

"Dan denger, Mustasna..... Saya gak akan memusingkan atau mengeluh kalo kamu gak bisa ini-itu. Karena saya nyari istri, bukan nyari guru. Paham?"

"Gimana kalo saya ada niatan jahat?"

"Jahat?" Mufid tampak bingung. "Seorang pecinta gak akan pernah melihat celah kejahatan dari yang dicintainya. Jadi percuma aja kamu ngomong kayak gitu."

Mufid membuka jam tangannya dan juga jasnya lalu duduk di pinggiran ranjang.

"Kalo kamu apinya di dalam permainan ini, saya gak akan jadi api juga. Saya yang airnya, yang bakalan madamin itu meski akhirnya gak ada jejaknya sama sekali."

"Wallahi, Zaujati..... Saya mencintaimu dengan segala konsekuensinya bukan dengan segala kebahagiaannya."

Air mata Mustasna meluncur bebas. Seumur-umur dirinya rasa tak ada yang memperlakukannya dengan setulus ini seperti suaminya juga keluarga cowok itu.

"Beneran gak akan ninggalin saya?"

"Saya gak akan pernah ninggalin kamu demi makhluk-Nya tapi saya bakalan ninggalin kamu kalo saya pergi ke Pencipta."

🥀🥀🥀

Pagi harinya setelah sarapan pagi, Mustasna menekuni buku tajwid dasar sesekali dirinya bertanya kepada suaminya bahkan kepada Al-Hiya juga.

Al-Hiya tersenyum mendapati giatnya Mustasna.

"Saya gak nyesel restuin kamu sama anak saya. Karena kamu beneran mau belajar."

"Tapi kalo Mustasna sesekali mabuk gak papa, kan?"

Pertanyaan konyol dari Mustasna bukannya mendapatkan omelan justru mengundang tawa renyah dari dua orang tersebut.

"Kalo sesekali saya mabuk, gak papa, kan?," Mufid malah balik nanya.

Kontan alis tebal milik perempuan itu menyatu. "Orang kayak kamu mabok?" Perempuan itu menggeleng. "Jangan."

"Nah, Mufid juga sama seperti kamu. Muslim. Jadi, jawabannya juga jangan."

Mustasna tersenyum masam lalu mengangguk kaku. "Bakalan diusahain."

"Saya bakalan bimbing kamu sampe kamu bisa." Mufid pindah posisi menjadi di samping istrinya. Tangan kekar cowok itu terulur untuk mengusap jilbabnya.

"Tapi ada satu syarat."

"Syarat?" Alis perempuan itu naik sebelah. "Jadi cinta bersyarat, ya?"

Mufid menggeleng. "Saya cinta kamu tanpa sebab, syarat mau pun akibat."

"Saya bakalan bimbing kamu tapi tolong.... Kalo emang kamu gak bisa cinta sama saya, jangan paksain itu."

Mustasna tertegun mendengar penuturan seperti itu. Kenapa cowok itu sangat rela jika dirinya tak dapat membalas perasaannya?

"Saya mencintai kamu dengan kerelaan."

"Jadi kalo kamu mau manfaatin rasa cinta saya gak papa. Ambil kesempatan itu."

"Cukup kamu aja yang berhasil ngisi setengah hati saya, kamu jangan seperti itu juga."

"Kenapa begitu?"

"Isi sepenuhnya hati itu untuk Sang Khaliq."

"Karena kamu gak akan pernah ngerasain kekecewaan kalo seandainya kamu gak sama seperti saya.... Saya gak akan siap kalo kamu terluka."

"Hakikat cinta itu..... Membahagiakan Allah."

"Cinta itu ambil dari makna tersiratnya bukan dari definisi umumnya."
-Mufid Maf'ul Kalam-

Btw ini bahasa cintanya masih bisa dipahami, kan? Gak berat bgt?😭

Khobar MuqoddamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang