[JAMILATI]

157 23 0
                                    

"Ada yang indah dari malam. Yaitu menatap wujud berupa istri atas pengabulan doaku. Tiada yang lebih indah daripada malam selain cantiknya wujud doa makbulku. Ini tentangnya: Mustasna, Mustajab dan Mustahil."
-Mufid Maf'ul Kalam-

Mustasna memperhatikan dirinya di depan kaca. Perempuan itu tersenyum kaku lalu menatap aneh dirinya.

"Seumur-umur kamu nggak pernah ke pasar. Sekalinya ke pasar bareng mertua."

Perempuan itu keluar dari kamar dan menghampiri Al-Hiya yang sedang berpamitan dengan Mufid. Lelaki itu tidak ikut dikarenakan akan menyambut kedatangan adiknya yang dari Tarim.

Sejujurnya, Mustasna pun penasaran. Tapi apalah artinya jika dirinya berdua di sini bersama cowok itu? Ntahlah, Mustasna tak tahu mengapa Allah menyampaikan dirinya bersama keluarga Mufid yang di mana dirinya sangat merasa awam di antara mereka semua.

"Kamu nggak mau salim?" Mufid mencodongkan tubuhnya ke Mustasna seraya kedua tangannya berpangku pada meja.

Lantas perempuan itu memalingkan wajahnya. Rasanya apa? Seperti terbakar antara pipi, telinga dan tengkuk.

Perempuan itu menunduk malu lalu mencium tangan suaminya sedangkan Mufid melihatnya dengan tatapan sangat bahagia.

Mustasna menatap aneh kejadian itu. "Kamu natap bahagia banget, aku bisa dapet hadiah nggak?"

Pertanyaan konyol dari satu perempuan itu membuat mereka semua tertawa geli.

"Kamu emangnya mau dihadiahkan apa, Sayang?" Tanya Al-Hiya menatap gemas menantunya itu. Kenapa dirinya baru sadar bahwa Mustasna pun seorang gadis yang lugu?

Perempuan itu cengengesan. "Aku gak pernah ke pasar, Umma... Gimana nanti kalo Umma aja yang nawar?"

Mufid tampak terkejut. "Kalo begitu kenapa kamu gak di sini aja sama aku?" serobotnya cepat. Rupanya lelaki itu sudah tidak terlalu kaku logat bahasanya.

"Kalo aku berdua sama kamu di sini, nanti jadinya apa?"

"Anak?"

"Umma, ayo!! Nanti pasarnya ke buru penuh!!" Ajak Mustasna dengan cepat seraya menarik tangan Al-Hiya.

Al-Hiya dan suami hanya bisa tertawa melihat senyum di wajah Mustasna yang terkesan malu sedangkan Mufid tertawa lepas.

Cowok itu mengamati tubuh mungil istrinya dari jauh. Perempuan itu... lucu sekali pada saat malam kemarin.

Mustasna turun dari mobil seraya membawa tas yang terbuat dari anyaman itu. Belum apa-apa dirinya sudah sangat tidak betah, terlebih banyak sekali manusia di sini.

"Kamu nyaman, kan?"

Mustasna menoleh, menatap Al-Hiya. Perempuan itu mengangguk. "Aku mau terbiasa."

Kedua perempuan itu mulai melangkah memasukki pasar diikuti Mamnu di belakangnya.

Mustasna menatap para pedagang itu dengan pandangan sendu, terlebih ada satu keluarga yang ikut membantu berjualan di sana. Perempuan itu menghela napas sedih, bagaimana keadaan orang tuanya?

Perempuan itu mengamati Al-Hiya yang sedang memilih sayuran. Masih bertanya-tanya, kenapa wanita itu lebih memilih belanja di sini ketimbang di Supermarket?

Al-Hiya memasukkan belanjanya ke dalam tas yang dirinya pegang.

"Aku ke sini sama menantu buat pertama kalinya."

Rupanya Al-Hiya sudah begitu dekat dengan para penjual yang ada di sini. Mustasna tersenyum ramah kepada penjual yang menyapa dirinya.

Dering ponsel yang berasal dari Mustasna membuat perempuan itu menatap aneh layar ponselnya.

"Siapa, ya?"

"Mas-mu."

"Hah? Mas? Emas? Tapi Mustasna---"

"Itu suamimu, Sayang...."

Bola mata gadis itu melebar. "Mufid maksudnya?" Perempuan itu mencerna sebentar. "Masmu? Mufid... Masku?"

"Iya, Jamilati.... aku Mas-mu."

Dirinya meringis malu. Lupa jika masih tersambung.

"Bilangin ke Umma kalo Fatimah udah pulang."

"Jamilati itu apa?" Tanya Mustasna yang melenceng dari topik.

"Cantikku." Ada jeda. "Rupanya malam lebih ngebongkar diri kamu yang sebenarnya, ya...."

Perempuan itu buru-buru mematikan sambungan teleponnya.

Dirinya... sangat malu.

Pria berkepala dua itu menatap Fatimah yang sedang menikmati cemilan kesukaannya dengan satu kaki yang di angkat ke sofa.

"Tetep aja ya, kebiasaannya di rumah gak bisa diubah."

Perempuan itu menyengir. "Ya gimana... Dulu kan Umma juga bar-bar, sayang aja kalo gak ada penerusnya."

Mufid tersenyum paksa. Mau gimana lagi, kan? Sudah tabiat kebanyakan cewek seperti itu.

Suara mesin mobil membuat Fatimah buru-buru berdiri dan meninggalkan serpihan biskuit di depan Abangnya. lagi lagi Mufid yang harus berkorban untuk bertanggung jawab.

"UMMAAAAAAAAAA ABIIIII, MUSYTAQ ILAYK JIDDAN!!!" Teriak Fatimah begitu menggelegar.

Mustasna tampak terkejut dibuatnya. Perempuan itu berdehem melihat Al-Hiya tak kalah hebohnya.

"Emang istri Mufid yang paling kalem," celetuk Mufid dari arah pintu utama seraya memegang sapu.

Fatimah tersadar, perempuan itu buru-buru balik badan dan menatap Mustasna dengan bahagia.

"Kakak peliharaannya Mufid, ya?"

"Fatimah!" Tegur Mufid seraya menatap sinis adiknya itu.

Perempuan berwajah imut itu mengamit tangan Mustasna lalu berbisik. "Jangan percaya Abang, mantan Abang banyak."

"Hehhh sembarangan!!!"

Mustasna tertawa lebar melihat Fatimah yang jahil.

Mufid merebut Mustasna dari jangkauan adiknya.

"Kalo sama kamu, kasian istri Abang nanti balik ke setelan awal."

"Mau dibawa ke mana? Kita mau masak bareng," ujar Al-Hiya seraya masuk ke dalam rumah.

Mustasna melepas genggaman Mufid. "Aku mau ikut masak."

Mufid menghela napas. Cowok itu mencium pundak istrinya.

"Semoga aku laki-laki pertama dan terakhir yang nyobain masakan kamu."

"Kalo bukan dua-duanya gimana?"

"Anggap siapapun itu adalah aku. Meski gak terwujud dalam pandanganku tapi terwujud dalam pandanganmu." Ada jeda. "Kamu peran utama dari setiap peran."

Mustasna tersenyum sendu. "Mungkin itu yang bakalan jadi penyesalan terbesarku."

Mufid tertawa santai. "Penyesalan bagi kamu, kebahagiaan pula bagi kamu. Aku tetep bakalan jadi Kalam di setiap akhirnya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Khobar MuqoddamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang