"Dari dulu, saya cuma punya satu hati buat manusia. Dan satu-satunya hati yang saya punya hanya untuk jodoh saya. Selain itu, tidak ada insan yang berhak memiliki selain dirinya. Denyut nadiku berada dalam genggaman-Nya sedangkan seluruh napasku untuk keluargaku bahagia. Dan hati, hanya untuk jodohku yang jelita."
-Mufid Maf'ul Kalam-Di langit malam Dubai dengan dihiasi banyaknya bintang bercahaya, tak lupa angin yang berembus kencang berhasil membawa surai hitam legam lelaki itu berirama, mengikuti aliran angin yang sanggup menggoyangkannya.
Netra safir bak obsidan terlampau legam yang dapat membuat lawan bicaranya diam tak berkutik itu memandang jalan raya dari atas gedung nyaris menyipit ketika mendengarkan celotehan kedua orang tuanya dari sebrang sana.
"Mufid bakalan pulang besok."
Sosok itu memegang pembatas dengan irama jantung yang tak menentu ketika tanpa sengaja bayangan sosok anak kecil yang beberapa tahun silam dirinya temui mucul dibenaknya.
Mendengar omelan dari kedua orang tuanya, mampu membuat bibir tipisnya tersungging. Karena pasalnya sudah dari dua bulan yang lalu dirinya bilang akan pulang tapi pria yang bercampur darah Dubai itu masih menginginkan menapaki indahnya tanah kelahirannya.
Pria berumur 25 tahun itu lantas tertawa manis berhasil memunculkan lesung di kedua belah pipi tirusnya ditemani dengan rahang yang begitu tegas.
"Iya, Mufid pulang-pulang langsung nikah."
Itu hanya guyonan. Karena bagaimana pun sejauh ini belum ada yang bisa membuat detak jantungnya berdetak tak normal.
Kecuali hanya dengan sosok itu.
Dirinya lahir di Dubai, tapi pada saat berumur dua tahun kedua orang tuanya pindah ke Indonesia karena cabang perusahaan milik Babanya yang berada di sana ada masalah. Tak disangka, istri yang notebanenya adalah Umma dari lelaki itu---yang terlampau dicintai Babanya membuat sosok itu tak berani untuk menolak permintaan wanitanya yang ingin menetap di Indonesia.
Tapi pada saat berumur sembilan belas tahun cowok itu diberi ijazah agar melanjutkan studinya dan mengabdi di kota Tarim, tepatnya di Hadramaut, Yaman. Tempat Ummanya berasal.
S2 sudah dirinya penuhi, hingga pria yang sangat merindukan tanah kelahirannya itu akhirnya memutuskan untuk menetap sementara di sini.
Mufid mematikan ponselnya dan melepas sorban yang melingkari lehernya. Cowok itu membetulkan letak sorban yang berada di kepalanya dan memandang datar jalan raya yang begitu indah dipandang memanjakan mata siapa saja yang melihatnya. Di hadapannya juga terlihat jelas Burj Khalifa.
"Kayf haluk, Zaujati?"
Mufid tertawa konyol mendengar penuturannya sendiri.
"Di mana pun kamu berada, semoga doaku untukmu sampai."
Mufid menelan salivanya memikiran tentang hal lain. Cowok itu tersenyum amat tipis dan mengembuskan napas guna melegakan segala pikirannya.
"Gak mau jadi yang pertama, gak mau jadi yang terakhir di dunia ini juga." Ada jeda. "Yang saya mau nantinya, jadi terakhir untukmu di surga."
"Bukannya itu kemenangan yang mutlak dalam hal percintaan?"
"Jadi gak peduli nantinya kalo doa saya kurang mempan. Gak peduli kalo kamu udah pernah pacaran...."
"Gak peduli kalo.... Kamu mungkin udah melepas sesuatu ke orang yang salah?" Mufis terkekeh. "Gak pandang masa lalumu. Kamu muncul di hadapan saya sebagai jodoh dari-Nya aja udah buat saya bangga."
"Yang terpenting ketika qobul udah tercetus, kamu sepenuhnya tanggung jawab saya, milik saya."
Mufid mengusap tengkuk dinginnya lalu berjalan untuk masuk ke dalam kamarnya.
Pria itu kembali ditemani segelintir kekehan yang keluar dari lisannya.
"Ngomong sendiri aja berani, giliran orangnya udah dateng malah kayak patung."
Ini Mufid. Laki-laki yang selalu melontarkan kata-kata dikala sendiri, kebiasannya dari dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khobar Muqoddam
EspiritualMustasna Nida Isyaroh. Bagaimana kesan kalian pertama kali mendengar nama itu? Jika orang lain beranggapan cewek itu merupakan sosok yang taat dalam agamanya, kalian salah besar. Karena kenyataannya justru perempuan itu selalu melanggar syariat-Nya...