Chap 18. Lukisan Sempurna

803 84 3
                                    

~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~

"Lukisan ini sempurna. Bahkan jauh lebih sempurna dariku, Kak."

- Rynella -

~~

Goresan cat pada canvas saling berpadu satu sama lain, membuat warna-warna indah tercipta untuk memanjakan mata siapapun yang melihatnya. Dengan pemandangan awan kelabu dan suara denting air hujan di luar sana, atmosfer ruang seni itu jadi terasa sedikit berbeda.

"Kamu gak pernah bosan, ya? Alfredo." Tanya salah seorang pria paruh baya, sambil meletakkan guci tanah liat buatannya ke atas meja.

Cowok berusia 17 tahun itu lalu tersenyum, dengan mata yang masih terfokus pada media dua dimensi di depannya. Ia balik bertanya pada pria itu. "Bosan kenapa, Pak?"

"Bosan ngelukis itu mulu. Sekali-kali ganti model gitu, loh. Ngelukis Bapak, kan, bisa. Bapak mau, kok, jadi model lukis kamu," jawab Pak Retno sambil berkaca manja di layar handphone nya.

Alfredo terkekeh, "Kapan-kapan, ya, Pak."

"Kapan-kapan tuh kapan? Lagian kamu jangan keseringan ngelukis kayak gitu. Gak baik." Nasehat pria yang merupakan Guru Seni Budaya itu.

Bukannya mengiyakan atau menanggapi nasehat Pak Retno, Alfredo malah diam membisu. Seakan tidak peduli dengan ucapan pria paruh baya yang sekarang berdiri di sampingnya ini. Cowok itu terus fokus melukis berbekal imajinasi yang ia punya.

"Cantik juga. Bakat lukis kamu gak berkurang ternyata," Puji Pak Retno sembari berkacak pinggang. "Kalau lukisannya udah jadi, mau kamu bawa pulang atau simpan disini?" tanyanya.

Tangan Fredo refleks terhenti saat mendengar pertanyaan Pak Retno. Ia terdiam. Memikirkan sesuatu sebelum menjawabnya.

"Gak akan saya bawa pulang. Dan gak akan saya simpan disini."

"Hah?" Pria itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, karena jawaban membingungkan yang diberikan oleh murid kesayangannya.

"Ah, ya sudah lah. Terserah kamu. Bapak mau ke ruang guru aja. Kamu kalau mau keluar, ruangan ini tolong di kunci, ya. Kuncinya Bapak taruh di tempat biasa. Oke?" ujar Pak Retno sambil mengacungkan kedua jempolnya.

Fredo tersenyum, lalu balas mengacungkan jempol untuk mengiyakan guru seni itu. Setelahnya, Pak Retno pun segera melangkah keluar dengan menyenandungkan lagu campursari favoritnya.

Sekarang, sisa Alfredo sendirilah yang ada di ruangan sebesar 35 meter persegi itu. Ditemani suara tetesan air hujan dan teriakan samar dari para siswa yang masih asik bermain hujan di lapangan. Fredo masih saja terus fokus menorehkan cat pada canvas putih yang ia letakkan di atas table easel, dengan kuas dan palet penuh warna yang ada di tangannya.

RYNELLA : Seconds Full of PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang