11. dinas

3.1K 375 163
                                    


"Huh? Kamu mau dinas?"

Dua minggu setelah si kembar dijemput kembali oleh kedua orang tuanya, Sopan mendapat panggilan dinas. Lebih tepatnya, Glacier yang memanggil. Seharusnya, sih, Glacier yang pergi ke sana namun―istrinya sedang jatuh sakit, ia tak mau meninggalkan istrinya. Mungkin karena trauma waktu itu, ya.

"Iya. Mungkin sekitar tiga sampai empat hari, [Name]. Tak apa, kan? Kalau kamu takut merasa kesepian, aku bisa memanggil kedua Adikmu untuk kemari."

[Name] menggelengkan kepalanya. "No need. Aku sendirian aja. Ada mereka malah rusuh."

"Itu Adikmu sendiri loh, [Name]." kekehnya. "Aku panggil saja, deh. Lagipula, kalian sudah lama tidak kumpul bersama, kan?"

"Masing-masing dari kami sibuk."

Benar apa yang dikatakan Sopan, mereka memang sudah lama tak bertemu. Terakhir bertemu ketika ibu mereka meninggal. Lalu esoknya, mereka kembali saling tak peduli dan sibuk.

Kacau.

"Adikmu yang laki-laki masih SMA, kan? Kenapa tidak tinggal di sini saja daripada tinggal di kost-an? Kan biayanya juga lebih hemat, [Name]."

"Uh ... semua Adekku laki-laki, Sopan."

Benar juga.

Sebenarnya Sopan penasaran, sih. Di mana ayah [Name] tinggal sekarang? Terakhir kali ia melihatnya ketika mereka menikah. Saat ibu mertuanya meninggal pun, Sopan tak melihat ayah mertuanya. Jadi, di mana?

Adik pertama [Name] tinggal di kost dekat rumah Taufan, adik kedua [Name] tinggal di asrama kampus, dan adik ketiga [Name] juga tinggal di kost-kostan.

Apa ayahnya tinggal di rumah lama mereka? Seorang diri, begitu?

"Pokoknya akan aku panggilkan, deh! Kamu mau aku panggilan Prajurit nomor berapa? Nomor satu, dua, atau tiga?"

Adik berkedok Prajurit.

"Number one, deh. Dia yang paling kalem dan bisa diandalin daripada yang lain. Udah jamet, suka jj, sok ganteng lagi. Cuih."

Spek cowok Indo sekali adeknya [Name] ini. Tapi walau muka kayak jamet pun, tetep ada yang suka, sih.

"Siap. Prajurit nomor satu akan segera ditelpon untuk menjaga Nona [Name]."

"Terserah, deh. Mending kamu mulai packing sekarang, Pan. Jangan ditunda-tunda."

"Sejujurnya, aku itu tidak pandai dalam menyusun pakaian untuk bepergian."

"... Terus sebelum kita nikah, kalo mau dinas, kamu gimana?"

"... Bunda yang menyusun. Waktu itu kan, Aku masih tinggal dengan Bunda."

"Hadeh, anak Bunda."

"Ya sudah, sih ... kan itu dulu, [Name]."

; bahasa.

"Ini rumahnya?"

Pemuda itu mengecek sekali lagi pada alamat yang dikirimkan oleh sang kakak ipar. Benar, kok. Memang ini rumahnya. Namun, dirinya hanya masih tak percaya saja, rumah ini cukup besar untuk dua orang dewasa.

"Mentang-mentang kaya, beli rumah sembarangan. Hadeh, Kakak Ipar."

Adik pertama [Name] sudah berada di depan rumah mereka. Parasnya tampan, tinggi nya juga oke, bisa dibilang―ia cukup popular di kalangan perempuan. Namun, pemuda ini menolak menikah muda. Katanya, ia akan memikirkan pernikahan ketika adiknya yang masih SMA sudah lulus.

Tok... Tok...

Pintu rumah diketuk olehnya pelan―padahal ada bel di samping pagar rumah kakaknya. Ya, dia tak tahu, sih. Habisnya belnya ini kecil, bahkan kurir paket pun terkadang tak pencet bel karena tak kelihatan.

bahasa; b. sopan [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang