29. TRAUMA

47 16 33
                                    



Mentari itu benci jika harus terpuruk dalam kesedihan. Ia selalu berusaha melupakan kejadian buruk yang menimpanya walaupun pada akhirnya lari dari kenyataan itu tidak akan pernah berkahir. Setidaknya Mentari bisa melupakan sejenak sesuatu yang menjadi alasannya menderita di bumi ini. Setidaknya ia merasa dibebaskan dalam penjara lara yang melingkari hidupnya.

Pukul sembilan pagi. Rumah tampak hening dan diselimuti kedamaian.

"Ke mana?" Rean bertanya. Dia tampak rapi di bawah tangga dengan pandangan menatap Mentari di lantai atas. Hal itu membuat Mentari terkesiap.

"Raya," balas Mentari, seadanya. Kakinya mulai menuruni anak tangga. Katakan tidak terjadi sesuatu padanya. Mentari terlihat baik dengan wajahnya yang tidak menghakimi rasa benci pada laki-laki itu.

"Bareng aja."

"Gak usah, gue mau mampir dulu ke tempat lain." Mentari melengos pergi melewati Rean begitu saja.

"Lo kenapa?" tanya Rean sembari mengikuti langkah Mentari.

"Gak tahu kenapa. Yang jelas akhir-akhir ini rasanya kecewa terus," tukas Mentari tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.

"Maaf." Satu kata itu membuat langkah Mentari terhenti.

Mentari tertawa hambar sampai akhirnya ia melihat Rean berdiri di hadapannya. "Minta maaf kenapa?"

"Kemarin .... " Rean berhenti sejenak, "gue yang bikin lo kecewa."

"Ya, sekarang jangan bikin gue kecewa."

Rean mangut-mangut. "Gue harus apa?"

"Jangan deket-deket sama gue."

"Kenapa?"

"Masih bilang kenapa?" Mentari melipat kedua tangannya di depan dada. "Jelas karena gue takut gue kecewa—"

"Gak akan."

"Lo gak nyadar. Terkadang kehadiran lo membuat gue ... luluh."

Rean terdiam. Begitu juga dengan Mentari yang terdiam. Mereka berkontak mata bertukar pikiran dalam tatapan tersebut.

"Perlu lo tahu, gue pernah salah paham, dan salah mengartikan seseorang. Gue kecewa, dibuat kecewa, dan kecewa. Sekarang, kalo lo kasihan sama gue, jaga jarak antara kita," ucap Mentari masih menatap kornea milik Rean. "Gue yang salah, bukan seseorang itu." Lantas Mentari bergegas pergi. Dalam hatinya terus memohon agar Rean paham dengan apa yang diucapkannya. Jikalau sudah paham pun Mentari tidak akan tahu seandainya Rean tidak mengatakannya.

 
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

"Gue mau move-on sama kak Deran. Udah beberapa hari ini gue gak chat dia. Gue juga gak sapa dia lagi saat ketemu." Raya dengan berat hati mengatakan itu. Ia sendiri merasa lelah dan malas untuk lagi berjuang meluluhkan kulkas berjalan dengan seribu pesona yang menjadi alasan Raya menyukainya.

"Siapa suruh!" cetus Elza yang tengah terbaring di atas ranjang milik Raya.

Raya yang tengah terbaring di sofa pun dalam hitungan detik sudah terbaring di samping Elza. "Btw lo masih dikejar sama abang gue gak?"

Elza terdiam sesaat sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya.

"Ada yang beda gak?"

Elza mendengkus kesal. "Apaan sih!"

"Ih, Elza, gue itu cuma pengen tahu kak Deran—" Raya tidak melanjutkan ucapannya di saat pintu kamarnya terbuka begitu saja cukup keras. Pelaku tersebut menatapnya nyalang.

HIMMEL; Dipertemuan Kedua  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang