Matahari sudah mulai turun dan udara mulai terasa dingin. Alice menggosok tangannya dan sesekali meniup nya. Ia kedinginan, kelelahan dan juga kesakitan.
Kakinya yang terluka oleh bebatuan atau pun ranting kayu terasa perih.
Meskipun begitu, ia harus mencari jalan keluar dan tidak boleh mati sia-sia.Disaat tenaganya sudah hampir habis, ia bisa melihat secercah cahaya didepan sana. Ada sebuah jalan besar, segera Alice memaksakan kakinya untuk berjalan. “Sedikit lagi, ayo tolong.” Ucapnya kepada kakinya.
Setelah bersusah payah mencapai tujuan, akhirnya ia telah sampai di jalanan besar. Saat itu juga dari kejauhan ada sebuah mobil berwarna hitam yang mendekat.
Alice melambaikan tangannya namun tiba-tiba dirinya merasa pusing dan ia jatuh tidak sadarkan diri.
Mobil berwarna hitam tersebut berhenti disamping Alice. Sepasang suami-istri turun dari mobil tersebut dan terkejut melihat Alice dengan pakaiannya yang tipis dan kotor serta kakinya yang dipenuhi luka.
“Omo! Yeobeo cepat bawa dia kedalam mobil!.” Ucap sang istri memerintahkan suaminya.
“Badannya sangat dingin.” Ucap sang suami saat menggendong Alice.
Sang istri kemudian menyelimuti tubuh Alice dengan jaket tebal. “Yeobeo, kita ke rumah sakit terdekat sekarang.”
Sang suami mengangguk dan memutar arah mobilnya melaju ke rumah sakit terdekat.
. . .
Alice kembali terbangun di ruangan serba putih, namun kali ruangan itu berbeda dengan sebelumnya. Dan juga sekarang ia ditemani sepasang suami-istri yang membantunya tadi.
“Kau sudah bangun?”.
Alice berusaha untuk duduk namun mereka melarangnya.
“Tidak perlu, kau masih harus beristirahat”.
Alice merasa tidak enak. “Terimakasih telah membantuku eommeonim, abeonim.”
Mereka mengangguk. “Aku tidak tau apa yang terjadi padamu, tapi syukurlah kau baik-baik saja sekarang”.
Alice mengangguk. Dia berterima kasih didalam hati kedua suami-istri itu tidak bertanya lebih jauh tentangnya.
“Eommeonim, bolehkan saya meminjam ponsel anda?, saya ingin menghubungi keluarga saya”.
“Geureomyo.”
“Kamsahabnida.”
. . .
Tak lama setelah Alice menghubungi Veera, saudari nya itu langsung tiba bersama Max dan John.
“Oh my God, Zee!”. Veera berlari menghampiri nya lalu memeluk tubuhnya. “Are you okay?”.
Alice mengangguk. “Sapa lah mereka. Mereka yang telah menyelamatkan ku”. Ucapnya pada Veera, Max dan John.
“Oh, annyeonghaseyo”. Veera, Max dan John membungkuk memberi salam.
“Annyeonghaseyo.” Balas keduanya. “Nak, karena sudah ada keluarga mu disini, kami izin pergi.”
“Ne, kamsahabnida eommeonim, abeonim”. Ucap Alice menundukkan kepalanya.
Veera memberi kode kepada Max untuk menghantarkan mereka. Lelaki itu mengangguk dan mengikuti sepasang suami-istri tersebut.
“Can you tell me what happened?. And where is Aaron?”
Alice mengalihkan pandangannya kebawah. Raut kesedihan terpancar di wajahnya membuat Veera kembali memeluknya.
“Oke lupakan, ceritakan nanti saat kau sudah siap, okay?.”
Alice mengangguk. “Aku ingin bertemu Elio.”
“Aku akan menyuruh Neil membawanya kesini.”
“Terimakasih.”
“Hm. Istirahatlah.”
. . .
“Mommy!”. Elio berlari kemudian berusaha memanjat ranjang kasur.
Veera segera membantunya naik, setelah itu melihat Elio langsung memeluk Alice dengan erat.
“I miss you mommy.”
“I miss you too, El.”
“Where is daddy, mom?”.
“I’m sorry, El”.
Elio terdiam sejenak, ia melepaskan pelukan ibunya dan menatap wajahnya ibunya yang sembab.
Anak lelaki itu kemudian menghapus air mata di wajah ibunya. “It’s okay, mom. It’s not your fault. I know daddy will leave forever someday. But, I also know daddy will always be in my heart, in our hearts.”
Alice menangguk dengan derai air mata, “Right, daddy will always be in our hearts”.
Elio memeluk kembali ibunya, “I love you mom”.
“I love you too, El.”