Jasmine's POV
Aku bisa merasakan sinar matahari menerobos melalui gorden, bayangan kemarin membanjiri otakku ketika aku ingat Zayn selalu membuatku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tersenyum, bahkan hampir setiap menit. Aku bangkit dari tempat tidurku dan berlari ke cermin, aku benar-benar kelihatan berantakan, aku yakin tak ada seorang pun yang percaya betapa bahagianya aku kemarin.
Aku berjalan ke kamar Alice dan mengetuk pintu pelan, tidak ada jawaban sama sekali. Aku mengetuk lebih keras, masih tidak ada jawaban. Aku menyerah dan masuk. Aku mendapati Alice berbaring lurus di kasur.
"Oi, kau, tukang tidur." Aku berjalan ke arah Alice dan menyenggol lengannya.
"Duh. Masih terlalu pagi. Apa maumu?" dia menggerutu.
"Bangun! Kita perlu jalan-jalan! Ini hari weekend," aku menarik selimut Alice, ini seperti Groundhog Day hari yang diperingati setiap 2 Februari. Menurut legenda, kalau cuaca berawan ketika seekor groundhog (berang-berang darat) keluar dari sarangnya, musim semi akan datang lebih cepat. Kalau cuaca cerah, groundhog akan bisa melihat bayangannya dan kembali ke sarang, dan musim dingin masih akan berlangsung selama enam minggu lagi. Aku yakin baru kemarin pagi kami ada di New York dan sekarang ada di apartemen Dave yang nyaman di London, sepertinya aku belum pulih dari perjalanan panjang.
"Kau kapan, sih tidurnya?" Alice menyalurkan kejengkelannya ke bantal.
"Pleeeeease!" aku mendekatkan tubuhku pada Alice, mulutku tepat di telinganya. Alice mendongak, melihat condong ke arahku, aku tersenyum dengan wajah yang berseri-seri penuh semangat.
Alice tertawa, "Oke, oke. Kalau kamu pergi aku bisa bangun," gerutu Alice.
"Cepat, ya." Aku menepuk kepala Alice tapi dia berusaha menepis tanganku, aku melompat dari ranjang dengan cepat dan dengan energi pagi ku yang berlibih, kupIkir mungkin ini efek yang Zayn lakukan kemarin.
"Byeee, sampai ketemu semenit lagi!" aku berteriak.
"BANYAK menit," protes Alice, ketika aku pergi dari kamarnya yang seperti gudang.
Aku berjalan keluar kamar Alice, memainkan ponselku sambil menunggu perempuan idiot itu. Aku tidak tahu apa yang Alice lakukan sebegitu lamanya, aku membenarkan bajuku di depan cermin besar, melihat betapa bahagianya aku hari ini dan kembali duduk di sofa.
Alice berjalan pelan, wajahnya merengut. Oh, dasar pemalas. "Akhirnya!" aku sedikit berteriak sambil melompat memeluk Alice yang sudah terlihat rapih dan wangi. Alice melirikku dengan pandangan marah, mungkin itu sebagai peringatan bagiku.
Aku tertawa melihat caranya memandangku, "Kamu kelihatan kaya monster."
" Well, kamu juga." Alice nyengir, aku bertingkah seperti monster menghampirinya.
"Menjauhlah dariku!" teriak Alice, tertawa dan memukulku pelan. Aku melihat Alice, dia kelihatan berbeda hari ini. Alice memakai t-shirt merah menyala dengan kata 'NY' yang di cetak warna hitam. Kurasa dia merindukan New York, kupikir kausnya lucu dan pas dengan tubuhnya yang tinggi dan ramping, terlihat sempurna.
"Kamu kelihatan keren," aku mengedipkan sebelah mataku, Alice terlihat jijik.
"Thanks, kamu juga, aku suka caramu mengedipkan mata."
"Well, aku memang pandai mengedipkan mata. Jadi kita cari makan sekarang? Aku kelaparan menunggumu. Dan, sekarang jam makan siang." Aku mengetuk jam tanganku dan menatapnya tajam.
"Oke, kalau gitu." Alice nyengir, menerima bahwa dia memang salah, dan selalu terlambat. "Kemana kita pergi?"
"Aku ingin kita ke McDonals!" aku berteriak senang, melompat naik turun dan merangkul Alice, aku memang sangat menyukai makanan junk food yang satu itu. Alice menghela napas, memutar bola matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spaces Between Us [Styles&Malik]
FanfictionJasmine Bravery dan Alice Delline memiliki keunikan tersendiri dalam hubungan persahabatannya. New York adalah tempat dimana mereka menemukan diri mereka yang sebenarnya sebagai sahabat. Tapi apa jadinya jika London akan menjadi tempat dimana merek...