14. Mark dan Chantika

689 148 0
                                    

Indomaret point tempat mereka janjian masih ramai di jam sembilan malam saat Chantika membelokkan sepeda listriknya, gadis itu melepas jaket biru dan meletakkan di keranjang sepeda sebelum menghampiri Mark yang duduk di bagian depan toko.

Dia juga nggak tau apa yang bikin dia rela ninggalin kamarnya yang hangat dan ngeluarin effort lebih buat naik sepeda keluar komplek cuma karena cowok yang duduk di depannya ini nge-chat.

Alibinya sih mau ketemuan buat bahas acara Sync-fest dan Chantika beneran berharap mereka bakal bahas itu. Soalnya, satu-satunya alasan paling masuk akal adalah Chantika yang masih punya tanggung jawab terhadap proker OSIS.

Mark terlihat beda di luar sekolah. Jeans hitamnya robek di bagian lutut, dipadu kaos kelabu yang ditutupi sama jaket baseball.

Chantika nggak pernah bener-bener merhatiin penampilan cowok itu karena mereka emang jarang ketemu.

Hidup Mark di luar sekolah tergolong misterius, bahkan untuk rapat-rapat biasa aja, mereka nggak pernah ke rumah cowok itu. Pasti selalu janjian di luar.

Nggak ada yang tau siapa orang tuanya, berapa jumlah saudaranya, dimana dia tinggal, atau orang tuanya kerja apa?

Fokusnya kembali teralih, pada Mark yang tersenyum kecil ngeliat dia berdiri di sini. Cowok itu berhasil bikin dia bohong ke abangnya malem ini.

"Kenapa sih? Harus banget dibahas malem ini?" sungutnya, masih kesal.

"Duduk dulu, mau minum apa?"

"Gue nggak bisa lama, izinnya buat beli camilan doang."

Jam sembilan malam di hari sabtu mungkin masih lumayan sore bagi beberapa remaja ibukota, tapi enggak buat Chantika yang punya tiga kakak laki-laki yang siap nyeret dia pulang.

"Nggak bakalan lama, gue janji."

Mark mengeluarkan buku catatan yang lumayan tebal dari tasnya, ngebuat Chantika mau nggak mau duduk dengan penasaran.

"Ini gambaran kasar rundown buat synchfest nanti."

"Kok udah dikerjain? Bukannya harus diskusi dulu ya? Oprec aja belom."

Sebelum gadis itu melayangkan protes lebih lanjut, Mark buru-buru memotong, "Ini gambaran kasar aja, Chan. Nanti kalo udah oprec kan gampang bagi-bagi jobnya gimana. Terutama di bagian dana."

Chantika tau banget kalo angkatan mereka tuh agak-agak gengsian, untuk guest aja pengen ngundang beberapa artis top ibukota kayak Bung Fiersa, Kunto Aji, Feby Putri dan Sheila On 7.

Pertanyaannya, dari mana dana sebanyak itu buat undang mereka? Belum lagi masalah keamanan dan konsumsi. Chantika nggak mau acara besar selama mereka menjabat sebagai OSIS malah kacau karena gengsi.

"Makanya ini gue ngajak lu brainstorming, Chan."

"Bilang aja lu butuh back-up buat ngomong ke anak-anak yang lain."

Kalimat itu bikin senyum Mark terbit, dia tau kalo Chantika selalu punya power buat membungkam mulut-mulut yang akan protes nanti.

Chantika merebut buku catatan Mark, ngebaca beberapa poin yang udah dijabarkan cowok itu dengan baik, dia tau kalo Mark Lintang Andromeda ini adalah spesies manusia perfeksionis.

Semua beneran udah dia pikirin dari a sampai z yang bikin Chantika ngelempar buku ke atas meja.

"Ini mah nggak ada celanya, mau ditolak dengan alasan apa?"

Bahu Mark mengedik, "Gue nggak bisa tidur, selalu kepikiran."

"Nggak percaya sama Rino?"

Pertanyaan itu bikin Mark diam, sejujurnya dia lebih lega kalo Chantika yang menjadi ketua tahun ini.

Kiprah gadis itu di dunia event dan festival udah lumayan. Mark tau karena mereka sering ketemu sebagai volunteer.

"Lu lebih cocok jadi ketua daripada Rino, Cha."

"Nggak bisa, gue udah punya konsep buat acara, jadi lu harus ngangkat gue jadi ketua seksi acara."

"Rangkap jabatan aja, Cha."

Matanya menyipit tajam, menatap Mark yang senyum kecil.

"Kenapa nggak lu aja yang rangkap jabatan? Apa bedanya penanggung jawab sama ketua? Terus, apa gunanya ada ketua dan semua seksi pembantu kalo lu udah mikirin job desc sematang ini?"

Mark ketawa kecil, Chantika emang keliatan nggak peduli tapi gadis itu punya cara sendiri untuk nunjukin perhatiannya.

Dia juga kritis dan kreatif. Makanya Mark ngerasa aman aja kalo kerja bareng Chantika karena gadis itu punya banyak sekali sisi yang selalu menjadikannya menonjol di semua event.

"Nilai UH bahasa inggris udah keluar," katanya, saat Chantika kembali fokus nyoret entah apa itu di buku catatannya.

"Iya tau."

"Maaf ya, Chan. Itu di luar kuasa gue."

"Hmm."

Namanya yang lagi-lagi di bawah nama Mark kayaknya bukan rahasia lagi, Chantika tau dia harus bersyukur tapi rasanya masih sakit hati ngeliat berkali-kali dirinya kalah dari cowok ini.

"Mark."

"Ya?"

"Nggak apa-apa."

Kalimat protes akhirnya kembali ditelan, Chantika ngehela napas panjang. Bukan salah Mark yang selalu jadi juara umum, salahnya yang kurang belajar dan kurang ambis.

Nana tadi udah ngomong ini dan sebenernya udah dia denger jutaan kali.

Semua bukan salah Mark.

Bukan juga salahnya.

Toh dia udah belajar dengan baik dan rajin.

Tapi, Mark juga melakukan itu.

Jadi, its okay. Kali ini, Chantika akan coba berlapang dada.

"Chan, gue minta maaf untuk semua hal yang bikin lu nggak nyaman selama kita masuk SMA."

"Bukan salah lu, salah gue yang kurang bisa nerima aja."

"Maaf ya, Chan."

"Iya. One day," katanya, natap Mark dengan mata berkilat penuh ambisi, "Gue bakal ngalahin lu."

Mark senyum kecil, nepuk lembut bahu Chantika, "Iya, ill wait for that ya, Chan."

"Iya, tunggu aja tanggal mainnya."

"Jadi, gimana? Masih belum berminat jadi ketua?"

"Nggak ya, Mark. Jangan bikin gue makin emosi."

Tawa renyah Mark jadi penutup pertemuan mereka malam ini, setelah Chantika janji bakalan kerja maksimal buat nyari sponsor juga ide-ide tentang penampilan dan tata panggung yang bikin Mark sadar kalo Chantika emang punya banyak potensi yang sering kali disembunyikan karena udah kepalang sensi sama anggota OSIS lainnya gara-gara Mading yang sering dipandang sebelah mata.

"Times up, gue harus pulang."

Jarum di jam yang melingkar di tangan kirinya nunjukin angka sepuluh, Chantika berdiri, natap Mark yang ikutan berdiri.

"Thanks kopinya, Mark."

"Gue anter pulang, ya?"

"Hah? Gue pake sepeda dan bisa pulang sendiri."

Mark menggaruk leher, natap gadis di depannya dengan mata bulat yang membinarkan harap.

"Gue ikutin dari belakang aja, bahaya jam segini balik sendiri."

"Oh. Serah lu sih."

Chantika memasang jaketnya, juga helm sepeda yang tadi dia pake sebelum mengayuh pulang ke komplek rumahnya yang nggak terlalu jauh.

Deru motor Mark mengikuti dari belakang, memastikan gadis itu masuk ke dalam rumahnya yang nyaman sebelum dia berbelok dan kembali ke tempat tadi, mau ngumpul bareng temen-temennya yang lain.

Padahal kalo mau berhenti bentar, Mark pasti bisa liat Chantika ngintip dari balik tirai jendela kamarnya di lantai dua, ngeliatin sosok cowok yang entah kenapa selalu satu sekolah dengannya sejak SMP.

***

philocalyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang