Malaikat!

1.8K 6 0
                                    

Malam minggu adalah malam penuh canda tawa anak muda, membayar lunas penat sepekan yang dilalui. Waktu di mana mereka dapat memadati bahu jalanan dengan motor seragam, atau sekedar berkumpul di penjual jajanan keliling yang mangkal di J.L Pahlawan. Ada yang membawa pujaan hatinya sendiri, ada pula yang membawa kekasih orang, tergantung kondisi.

Beralaskan tikar dengan beberapa gelas minuman instan dingin, yang sudah setengah jalan. Dua bocah dengan tampilan dewasa duduk sambil saling lontar lelucon yang hanya dipahami mereka, tertawa lepas. Mereka menikmati malam dengan rokok yang tergamit di tangan masing-masing.

"Mas, boleh minta waktunya sebentar. Saya mahasiswi jurusan marketing mau minta tolong buat menuhin target penjualan." Seorang wanita cantik dengan rok hitam sepaha dan kemeja putih menghampiri mereka. Rambutnya hitam sepundak yang dicat semi pirang, dengan kacamata ber-frame kekinian. Wanita itu menunjukkan sebuah aplikasi di hp-nya.

"Nama saya Archan, nama Mbak siapa?" Lelaki berwajah tampan dengan hidung mancung dan raut bersahabat itu mengulurkan tangannya.

"Saya Sabrina, Kak. Mau ya, Kak. Cuma unduh aplikasi terus daftar. Abis itu dihapus ga papa, nanti data Kakak juga ikut hangus." Ucap Mbak-Mbak bernama Sabrina itu.

"Oh, tentu boleh, dong. Saya mana bisa nolak permintaan bidadari." Archan meraih hpnya yang tergeletak. Membuka app store-miliknya.

"Mbaknya sendirian?" Tanya Archan saat wanita itu masih sibuk memasukkan kode verifikasi.

"Ya, gimana lagi, Kak? Namanya juga jomblo. Eh, tapi itu ada teman-teman saya." Sabrina menunjuk ke arah orang-orang berpakaian hitam putih yang mendatangi pengunjung lain. Archan hanya mengangguk-angguk paham.

"Oh, WA-nya sekalian kalau bisa." Celetuk Archan saat Sabrina hendak mengembalikan hp Archan. Sementara lelaki di sebelah Archan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan temannya itu.

"Jangan diem bae, Bim. Hidup juga butuh hiburan, kali." Archan terkekeh sambil melirik karibnya, yang masih dengan muka datarnya.

"Serah lu, Can." Archan terkekeh mendengar sahutan Bima yang terdengar pasrah.

Ditengah-tengah percakapan mereka, pandangan Bima jatuh pada wanita yang melangkah sambil memeriksa gang sempit antar bangunan, seperti mencari sesuatu. Wanita itu berhijab dengan gamis yang menutupi seluruh bagian tubuhnya, selain pergelangan tangan hingga jemari. Hijabnya tidak diikat seperti wanita-wanita zaman sekarang. Tatapannya terlihat khawatir.

Bima masih menatap wanita itu hingga dua orang lelaki menghampirinya. Lelaki itu tidak terlihat seperti lelaki baik-baik, dengan tato di sepanjang lengannya. Bima terbelalak saat wanita itu di bekap mulutnya dan di seret paksa ke dalam gang. Wanita itu meronta, berusaha kabur, apadaya tenaganya yang kalah jauh.

Bima bangkit dari duduknya, menyebrang jalanan yang sedikit padat, pergi menuju gang sempit tempat wanita itu di seret. Bima memastikan di bibir gang, menguping pembicaraan mereka. Sayangnya itu hanya rintihan tangis dan minta tolong dari wanita itu, yang disahut galak oleh suara lelaki.

"Teriak aja, cantik. Kaga bakal ada yang denger. HAHAHAHA!"

Rahang Bima mengeras. Archan yang baru sampai pun langsung paham saat mendengar penggalan kalimat itu dari dalam gang.

Bima melangkah ke dalam gang sempit itu dengan tangan terkepal. Ternyata wanita itu di bawa kebelakang bangunan yang sedikit luas. Mereka disambut oleh pemandangan wanita yang tangannya di tahan oleh lelaki bertato di lengan, dan kakinya diduduki oleh lelaki botak dengan tindik hitam di telinga. Gamis wanita itu sudah setengah jalan, tersingkap sampai atas lutut.

"WOY, BAJINGAN!" Bima dan Archan melompat ke arah mereka. Dua preman yang kaget itu kebingungan, habis di tangan Archan dan Bima. Sementara wanita itu meringkuk ketakutan.

"Mbak? Bisa berdiri?" Bima menghampiri wanita yang ketakutan itu. Namun tidak mendapatkan respon apapun selain tangisan.

"Chan, pesenin taksi on-line." Ucap Bima, menatap Archan yang menatapnya sambil tersenyum, tumben.

"Mbak, tulis tujuannya." Bima memberikan Hp Archan yang sudah membuka aplikasi pemesanan taksi on-line. Wanita itu menekan satu titik pada gambar peta dengan jemari bergetar.

Seperginya wanita itu dengan taksi, mereka berdua memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.

___NTG___

Bima bangun saat jam di atas nakasnya menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia mengerjapkan matanya sambil meregangkan otot-ototnya yang masih kaku. Rambut acak-acakan dan tatapan malas, Bima melangkah turun ke ruang makan dengan langkah gontainya.

Baru saja dia mencomot sepotong roti tawar, matanya langsung membesar. Melihat seorang wanita berhijab yang mengobrol dengan Ibunya di meja makan.

"Nah, ini anak pertama saya. Bima namanya." Wanita itu tak kalah kaget, sepintas ingatan jelas. Dia, kan?

"Kalian udah saling kenal?" Ana, Ibu Bima, melihat reaksi keduanya.

"Ud..." Ucapan Wanita itu terpotong.

"Belum, Kok." Bima melangkah mengambil segelas air putih.

"Ini Ustadzah Rahma, yang ngajarin adek ngaji mulai hari ini. Kakak kalo mau ikut juga boleh." Ana tampak terkekeh kecil. Meski anak pertamanya itu punya wajah datar, dia tahu saat Bima menyembunyikan sesuatu. Tanpa berbicara lagi, Bima berlalu, setelah menenggak segelas air putihnya.

"Shadaqallahul 'adzim." Rahma mengakhiri pelajaran mengajinya dengan Nadya, adik Bima. Nadya, yang saat ini duduk di kelas 6, harus ikut privat mengaji dengan Rahma tiap hari minggu. Ini adalah rencana Gunawan, ayah Bima, yang ingin memasukkan Nadya ke sekolah agama yang berasrama.

Gunawan Hadiyono adalah pengusaha properti sukses di tanah jawa. Entah berapa ratus juta dollar total kekayaannya, yang jelas dia berasal dari desa kecil. Keluarga Hadiyono terkenal sebagai keluarga yang agamis, kecuali Gunawan, yang menolak saat hendak dimasukkan ke dalam pesantren. Dia memilih masuk ke SMK dan merantau saat itu juga.  Jadilah dia satu-satunya anak Hadiyono yang jauh dari agama.

Hingga sebulan lalu Gunawan mendapat berita kematian Hadiyono dari kakak-kakaknya. Dia ditinggali sepetak tanah yang tak luas, namun cukup untuk dibilang strategis. Juga dengan secarik kertas wasiat yang disimpan Hadiyono di bawah bantalnya.

Kepada: Putra Bungsuku, Gunawan.

Anakku yang paling kecil, namun paling cerdas. Maafkan bapakmu ini, yang tidak bisa memenuhi keinginanmu, nak. Bapak tahu, bapak belum berhasil membahagiakanmu, sehingga bapak tidak akan menuntutmu. Hingga kapanpun bapak tidak akan memintamu untuk menuruti kemauan bapak. Tapi rasa sayang bapak tak bisa berbohong, bapak khawatir denganmu yang sudah tidak pernah berkunjung.

Bapak tidak pernah melarang kamu menjadi apapun, selama itu baik dan halal. Bapak hanya ingin kamu mondok, bukan berarti bapak memintamu mengikuti jejak kakak-kakakmu. Tapi karena agamu adalah tanggung jawab bapak di akhirat.

Biarlah, ga papa. Bapak akan menerima apapun kehendak Allah. Selama kamu, istrimu, anak-anakmu, sehat dan bahagia.

Pesan bapak, yang mungkin ini adalah pesan terakhir. Biarkanlah salah satu anakmu belajar agama, agar dia menjadi penyelamat keluargamu kelak di akhirat. Sukur-sukur bila mau menghafal Al-Qur'an.

Mungkin bapak sudah tiada saat kamu membaca surat lusuh ini, tapi ingatlah, Wan. Hari saat kau merantau ke kota adalah hari terberat bagi kami. Sama seperti hari dimana aku dipanggil Allah, bagimu.

Salam untuk Nawan kecilku.

Bapak-


 Back With Me, Ustadzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang