Surat Tak Terbalas

202 2 1
                                    

"Minal jinnati wan nas.... Shodaqallahul 'adzim, wa shodaqa rasuluhul kariim, walhamdulillahi robbil 'alamiin."

Kyai Khoirun memimpin doa khatmil qur'an. Bima yang baru saja menuntaskan hafalan Al-Qur'an-nya, belum se-langkah beranjak dari tempat duduknya. Dia mengangkat kedua tangannya, menengadah, mengaminkan doa-doa yang dipanjatkan Kyai Khoirun.

"Alhamdulillah. Saudara kita, Bima Aditya Gunawan, telah menyelesaikan hafalan Al-Qur'annya pagi ini. Setahun lebih tiga hari. Semoga kita mendapatkan berkah khatmil qur'an, dan menjadi motivasi bagi saudara-saudara yang lain." Kyai Khoirun memberikan sedikit sambutannya setelah berdoa.

Suasana pagi di pedesaan yang tenang. Hanya suara sandal para santri yang kembali dari ndalem yang terdengar. Dan sedikit desas-desus dari para santri putri yang ikut menyimak Bima tadi. Desas-desus kagum, dengan khatamnya hafalan Al-Qur'an Bima membuat lelaki itu kian menjadi idola para Mbak Santri.

Paras tampan, keluarga berkecukupan, hafal Al-Qur'an, cerdas, rendah hati, jago olah raga. Seakan tidak memiliki kekurangan.

Namun, setiap orang yang sukses pasti memiliki musuh pendengki. Bisa dibilang Bima adalah santri putra paling didamba para Mbak Santri, namun bagi santri putra itu sebaliknya. Meski tak semua, namun Kang-Kang santri yang sebelumnya terkenal di kalangan santri putri, tiba-tiba tenggelam setelah kedatangan Bima. Ditambah Kang-Kang yang berusaha mendapatkan hati Ning Alika. Kabar bahwa putri Kyai Khoirun itu jatuh hati pada Bima sudah tersebar ke seluruh penjuru pondok. Namun sosok yang dipanggil Abah oleh para santrinya itu belum memberi komentar.

"Assalamualaikum, Kang Kafa. Aku mau njileh telpon-e. Buat ngabarin orang tua." Bima saat ini sudah berdiri di depan pintu kamar pengurus.

Abdullah Kafabihi. Salah satu pengurus yang menjadi idaman Mbak-Mbak Santri. Bahkan setelah kedatangan Bima, namanya tidak terpengaruh. Meski wajahnya tampan, namun bukan itu yang menjadikannya tenar. Namun prestasi di bidang bela dirinya, bahkan dia pernah dimintai bantuan warga saat ada segerombol anak muda yang mengamuk di desa. Dia juga dikenal sebagai orang kepercayaan Kyai Khoirun.

"Oh, Bima. Selamat, ya. Keren, bisa khatam satu tahun." Kang Kafa muncul dari balik pintu, berbasa-basi sejenak. Wajahnya yang ramah, dan murah senyum itu menyembunyikan kekuatan besar yang dia miliki.

"Ini, hp-nya. Tapi kamu di dalem aja nelponnya, aku mau ke ndalem dulu." Kang Kafa menata rambut gondrongnya, sebelum ditutupi dengan peci.

Bima masuk ke dalam kamar pengurus. Mereka tampak sedang sibuk sendiri-sendiri. Bima menelpon di balik pintu.

"Assalamualaikum, Yah."

"Engga, Bima cuma mau ngabarin kalo udah khatam Al-Qur'an bil ghoib."

"ALHAMDULILLAH!" Suara di sebrang panggilan terdengar sangat antusias dan bersyukur.

"Iya, Pah. Nanti sekalian jemput, ya. Katanya boleh ijin pulang. Assalamualaikum." Bima mengakhiri panggilannya.

"Udah, Bim?" Kang Kafa yang baru kembali dari ndalem, tepat sesaat setelah Bima menutup panggilan.

"Udah, Kang. Matur suwun." Bima menyerahkan hp milik Kang Kafa. Saat dia hendak keluar.

Bagi seorang santri yang menghafal Al-Qur'an, menyelesaikan hafalan adalah sebuah kenikmatan yang teramat sangat. Seakan dapat melihat surga tepat di depan mata. Tak jarang santri yang menangis bahagia saat prosesi khataman.

Namun, Khatam setoran Al-Qur'an bukanlah akhir perjuaangan. Ini adalah awal dari sebuah kemesraan. Bagaimana cara kamu menjaga dan mencintai Al-Qur'an.

___•••___

Rahma mengusap peluh yang mengalir di pelipisnya. Punggungnya sangat pegal karena seharian menunduk. Ingin rasanya dia berteriak kesal, apa di rumah ini tidak ada alat untuk mengepel selain kain gombal ini? Rahma mencengkram kain lusuh yang basah kuyub.

Se-pagian ini Rahma sudah mengepel seluruh sudut rumah Mu'in yang terbilang besar. Ini baru sebagian kecil tugasnya, belum termasuk memasak dan mencuci pakaian Mu'in dan Istri-Istrinya yang lain.

Hampir satu tahun menikah, dan Rahma masih perawan. Apakah memang sejak awal Mu'in sengaja menikahinya untuk dijadikan pembantu?

"Dik, tolong nanti masak agak banyak sedikit, ya. Mau ada acara rt di sini." Ucap Anjani, Istri ke dua Mu'in. Meski sebenarnya sama saja dengan istri Mu'in yang lain, menganggapnya seperti pembantu, setidaknya sikap Anjani lebih ramah. Rahma hanya mengangguk paham.

"Aku belanja dulu, mau nitip apa?" Tawar Anjani sebelum pergi.

"Es gempol aja, Kak." Balas Rahma sambil memeras kain gombal yang dia gunakan untuk mengepel.

Entah mengapa, meski Rahma sudah menerima dengan ikhlas pernikahan ini, hatinya tetap terasa hambar. Seakan ada kekosongan dalam relung hatinya. Padahal ini pernikahan pertamanya, harusnya dia bisa bahagia. Namun entah, segala tugas dari Mu'in dia kerjakan dengan ikhlas, hanya mengharap ridho dari suaminya itu. Namun entah, seakan seluruh ilmu yang telah dia pelajari hanya membawanya ke dalam masalah ini.

"Mas, besok aku mau ke kota buat ambil buku-buku kuliah aku." Ucap Rahma sambil meletakkan secangkir kopi di hadapan lelaki yang sedang sibuk dengan korannya.

"Hmm... Sama siapa ke sana?" Mu'in menutup korannya, menyuruh Rahma duduk di sampingnya.

"Sendirian, naik bus." Rahma duduk di samping Mu'in dengan kepala tertunduk. Jujur, Rahma belum berani menatap Mu'in secara langsung. Bahkan ini adalah pertama kalinya dia duduk dengan jarak yang sangat dekat dengan Mu'in.

"Kamu engga bisa nyopir, ya dek? Gimana kalo bareng aku aja. Sekalian besok aku mau ke kota buat nagih bayaran." Mu'in menyeruput kopi hangat buatan Rahma.

"Kamu ga usah sungkan gitu, kamu kan Istri aku." Mu'in meletakkan cangkir kopinya, beralih mengusap puncak kepala Rahma yang masih tertutup hijab. Seriusan ini buaya bisa semanin ini? Rahma mencoba memberanikan diri untuk menatap wajah Mu'in.

Jujur, Mu'in memiliki sisi tampannya sendiri saat dilihat dari dekat. Rahma tak percaya bahwa lelaki itu yang menyuruhnya membersihkan rumah seperti yang diucapkan oleh Enjang, istri ke tiga Mu'in.

"Ya, udah. Kamu istirahat dulu, besok abis subuh kita berangkat ke kota. Biar ga kena macet." Mu'in meraih sebatang rokok, membiarkan Rahma pergi ke kamar.

Rahma benar-benar tak percaya bahwa itu adalah sikap Mu'in. Baru saja hendak masuk ke kamar, Rahma sudah dipanggil oleh Enjang yang sedang menikmati teh hangat dengan sebatang rokok di tangannya.

"Itu bekas acara rt engga kamu beresin?" Tanya Enjang sambil menunjuk ruang tamu yang masih berantakan.

"Enak banget kamu, tadi pas acara ngapain aja?" Nada Enjang berubah sedikit tajam. Rahma hanya mengangguk, dan pergi membereskan ruang tamu.

Sementara dari lantai dua, ada sepasang mata dengan tatapan iba. Namun dia tak bisa melakukan apa-apa. Dia kenal sifat Enjang yang licik dan pintar bersandiwara. Dia hanya bisa menghela nafas sambil mengamati Rahma yang mulai membereskan ruang tamu.

Dasar ratu ular

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

 Back With Me, Ustadzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang