Salah Pelabuhan

375 5 0
                                    

"Ayo, mampir dulu." Rahma turun dari mobil Bima, memaksa kakak beradik itu ikut turun. Mobil Bima terparkir di sebelah motor CB classic di halaman rumah kontrakan Rahma. Pintu rumah kontrakan itu terbuka. Rahma dan Bima disambut dengan pemandangan wanita dan pria yang saling memeluk. Rahma terkesiap, kaget. Roby?

Bima berusaha menutupi mata Nadya agar tidak melihat Roby dan Silvy, yang tak kalah kaget dan langsung melepaskan pelukan mereka.

"Sepertinya kapan-kapan aja kita mampir." Ucap Bima sambil tersenyum terpaksa, menatap Silvy. Bima berlalu, pergi dari kontrakan Rahma. Wanita itu hanya menatap sekilas ke arah Roby, dengan tatapan tajam, sebelum berlalu.

Rahma mengempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk. Tubuhnya pegal setelah kegiatan seharian. Setelah acara dari panti, yang rampung setelah asar, Nadya memintanya untuk ikut pergi Arga Resto & Playing ground. Sebuah resto yang terletak di daerah pegunungan dengan nuansa alam. Ditambah dengan tempat bermain seperti rumah hantu, istana boneka, free scream (sejenis permainan histeria di dufan), special corps (Canon ball), hingga wahana permainan air seperti kolam renang dan labirin bunga (dengan penyemprot tersembunyi, yang akan menyemprotkan air, bila ada yang melintas).

Rahma meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal. Dia meraih hp-nya, melihat sebuah pesan masuk.

Bima _-

Test....

Iya, udah masuk.

Makasih, Ustadzah. Buat hari ini.
I love you.

Rahma terbelalak melihat pesan penutup itu. I love you? Ini bocah emang niat bikin baper, kali. Batin Rahma bergejolak, berteriak-teriak sendiri.

'I love you too.' Dengan ragu-ragu, Rahma menekan tombol kirim. Dia melemparkan hp-nya sembarangan, memilih membenamkan wajahnya ke bantal. Jaga-jaga bila dia tiba-tiba berteriak histeris.

Rahma meraih kembali hp-nya, memeriksa, mungkin sudah dibalas. Rahma mengernyitkan dahinya. Senyum bahagianya berubah menjadi rasa malu yang tak terkira.

'btw, ini Nadya.' Kalimat yang tertulis pada pesan yang baru masuk. Ha? Tangan Rahma bergerak cepat.

🚫 Pesan ini telah dihapus.

Dasar bocah.

___NTG___

Bima tak beranjak dari tempat duduknya, meski bel istirahat telah berbunyi sejak tadi. Matanya sibuk menatap vidio yang terputar di layar ponselnya. Di telinganya, sepasang head set portable menempel, menghantarkan suara dari hp-nya. Archan, yang baru terjaga setelah tertidur sepanjang pelajaran, menatap heran ke arah karib sebangku-sehidup-semati-nya itu.

"Kagak ke kantin, lu?" Archan meregangkan otot-ototnya yang kaku. Juga meluruskan kakinya yang kesemutan.

"Bim?" Archan tidak mendapatkan tanggapan dari Bima, yang lebih fokus pada layar hp-nya.

"Woy, elah." Archan menarik salah satu head set portable yang menempel di telinga Bima, membuatnya melirik datar ke arah Archan.

"Kaga ke kantin lu?" Archan sedikit merendagkan suaranya, kemudian menempelkan head set portable yang dia ambil dari telinga Bima ke telinganya.

"Jadi, jangan karena merasa 'ah, saya belum baik' lalu meninggalkan sholat. Atau, 'ah saya belum bisa ikhlas'. Anda salah bila seperti itu. Yang wajib itu sholat, ikhlas itu bisa menyusul." Archan terdiam seketika. Dia melihat wajah Bima yang tampak merenungi sesuatu.

"Jadi, yang penting apa?.... Ya, sholat. Jangan sampai meninggalkan sholat apapun alasannya. Mau masih jahat, mau belum ikhlas. Yang penting apa?.... Sholat."

Pukul satu siang. Istirahat kedua, saat mushalla kecil di sudut sekolah mengadakan sholat jama'ah. Archan mengekor di belakang Bima, yang melangkah dengan santainya menuju tempat wudlu.

Setelah jama'ah, mereka berdua ke kantin sekolah. Archan duduk di depan Bima, menatap mata temannya itu.

"Lu kenapa?" Tanya Bima yang menerima pesanan makanannya.

"Lu kesambet apa? Apa gua yang ketinggalan berita?" Archan juga menerima bakso yang dia pesan dari Cak Minul.

"Lu tau wanita yang pernah kita tolongin gara-gara diperkosa?" Bima berkata lirih. Membuat Archan menatap Bima dengan mata penasarannya, memasang telinganya lebar-lebar.

"Ternyata dia Ustadzah yang ngajarin adek gua ngaji." Archan sedikit kaget, terlebih pertemuan mereka dengan wanita itu dalam kondisi yang berbeda.

"Tapi, gimana ceritanya tu Ustadzah hampir diperkosa?" Tanya Archan yang hanya dibalas dengan pundak Bima yang terangkat, I don't know.

___NTG___

Rahma melangkahkan kakinya sedikit lebih cepat. Hatinya was-was, wajahnya ketakutan. Harusnya saat ini dia sudah duduk nyaman di halte, menanti bus trans kota mengantarnya ke tujuan, namun dia terkejut saat melihat gerombolan Ramli dan Roby ada di halte. Entah apa tujuan anak-anak itu, yang jelas Rahma merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Rahma!"

Rahma terbelalak saat seseorang meraih tangannya, menahan langkah kakinya. Degup jantung Rahma terasa hampir berhenti. Dia menoleh, Roby?

"Rahma, aku mau ngomong." Lirih lelaki itu sambil menyisir anak rambutnya yang terjatuh di dahi.

"Apa?" Rahma kini tak memiliki tenaga, bahkan lututnya bergetar. Dia masih ingat jelas dengan apa yang dilakukan Roby padanya di perpustakaan.

"Maaf, aku bodoh. Bodoh banget malah, berani megang kamu sembarangan. Aku kebawa emosi waktu itu, aku ngerasa bodoh. Kamu diperkosa, dan aku ga bisa ngapa-..." Mata Rahma membesar mendengar kalimat 'diperkosa' keluar dari mulut Roby. Dia tahu aku dijadiin taruhan ama Ramli, tapi dia ga berusaha nahan temennya? Rahma menghempaskan tangan Roby yang memegang lengannya.

"Rahma, dengerin aku dulu. Please...." Lirih Roby, entah acting atau serius, matanya berkeca-kaca.

"Jujur, Rahma. Aku suka sama kamu dari awal. Jauh sebelum Ramli jadiin kamu pacarnya." Mata Roby tak menunjukkan sedikitpun kebohongan. Namun bukan itu yang menjadi masalah bagi Rahma, kenapa dia hendak menodainya?

"Roby, kamu tahu aku lulusan pesantren?" Rahma menatap lekat-lekat wajah Roby dengan penuh amarah dan kekecewaan. Sedangkan yang ditatap hanya bisa mengangguk lemah.

"Kamu tahu, kan? Lalu kenapa kamu ngelakuin itu kemarin? Dan, udah lah. Ga usah ngarepin aku, kamu bisa dapet orang yang lebih sesuai." Rahma berlalu, meninggalkan Roby dalam termenungnya. Benar juga, dia anak pesantren. Bodohnya aku.

Rahma tiba di rumah kontrakannya dengan linangan air mata sepanjang jalan. Bahkan matanya masih sembab saat kepalanya bersandar pada bantal empuk, menatap langit-langit kamarnya yang terkena pantulan cahaya matahari. Senja sudah menyapa. Dan Rahma lelah dengan drama hari ini. Air mata yang mubadzir terbuang, ketakutan yang sia-sia.

Rahma bangkit dari tempat tidurnya, melangkah lesu ke meja belajarnya. Buku yang tergeletak di sana, buku harian bersampul merah muda. Dia membuka lembaran demi lembaran. Ini adalah buku ketiganya selama kuliah. Sudah ada banyak nama yang dia tulis, yang ikut dalam alur kisah hidupnya. Termasuk Roby, Ramli, Silvy. Dan yang terbaru, Bima.

Ah, si anak penuh kejutan itu. Entah apa lagi kejutannya besok.

 Back With Me, Ustadzah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang