Ruangan penuh sesak oleh sekian ratus tamu yang hadir. Sebuah panggung menyuguhkan penampilan-penampilan kecil, pembuka acara. Rahma duduk di salah satu barisan, tepat di sebelah Nadya. Gunawan dan Ana berada di sisi lain Nadya, sambil sibuk mengambil gambar sebagai kenangan. Hari ini adalah hari wisuda Bima, dan Rahma diminta untuk ikut datang.
Lampu panggung ruang auditorium itu tiba-tiba padam setelah pertunjukkan band sekolah.
"Zaman semakin maju, dan peradaban kian berkembang. Mulai dari zaman batu tanpa aksara, hingga zaman aksara hampir tak berguna. Anak-anak yang mulai enggan membaca dan menghabiskan masa mudanya dengan sia-sia. Remaja-remaja yang sibuk memikirkan uang. Dan orang tua yang letih menghidupi anak-anaknya." Sebuah narasi terdengar dari speaker yang tergantung di sudut-sudut ruangan, menggema.
"Bhakti Nagari. Lembaga pendidikan swasta yang muncul ditengah gempuran peradaban, dengan semangat membangun bangsa dengan etika. Bhakti Nagari, sekolah seumur biji jagung yang berhasil mengibarkan benderanya sedikit lebih tinggi. Olahraga, Karya Tulis, Kesenian, dan berbagai perlombaan lainnya. Piala-piala adalah bukti nyata bagaimana Bhakti Nagari mengukit nama." Seisi ruangan takzim mendengarkan.
"Angkatan ke-26, yang hari ini akan menanggalkan seragam putih abu-abu mereka, adalah angkatan yang menyumbang piala terbanyak bagi sekolah saat ini. 129 piala dan medali yang terpampang di hadapan kita adalah bukti sejarah. Lebih dari itu, adab adalah segalanya."
"Dan hari ini, mari kita sambut wisudawan angkatan 26! Melangkah dengan dada terbusung, menatap tajam masa depan dengan keyakinan." Suara narasi itu tiba-tiba naik, dengan penekanan di tiap katanya. Satu persatu orang dengan setelan jas hijau muda naik ke atas panggung. Berbaris rapi menghadap para hadirin, meski disamarkan oleh temaram cahaya.
Dua orang melangkah dari belakang para hadirin. Tubuh mereka ditutupi jubah hitam. Salah satu berjalan di depan dengan obor yang dipegang dengan gagah, dengan langkah-langkah tegap. Sementara yang lain melangkah di belakang dengan gulungan kertas yang diletakkan di depan dada. Mereka naik ke atas panggung. Si pembawa gulungan berdiri di atas podium, sedangkan pembawa obor berdiri di sampingnya, memberikan cahaya pada orang dari podium itu. Rahma terbelalak, menyadari lelaki pembawa gulungan kertas.
Hening....
"Janji Patria Bhakti Nagari!" Suara lantangnya tergema hingga ke sudut-sudut ruangan, membuat nuansa menjadi sakral seketika. Para wisudawan mengikuti ucapan lelaki di podium itu.
"Kami, Patria Bhakti Nagari. Berjanji!" Nuansa yang membuat Rahma merinding, kagum.
"Manaati agama, dan orang tua. Serta mengabdi pada bangsa!
Menjaga nama baik Bhakti Nagari dimanapun berada!
Membangun peradaban dengan etika!"Lampu kembali menyala, membuat terang seisi ruangan. Para hadirin bertepuk tangan, kagum melihat lelaki yang berada di atas podium membuka tudung jubahnya. Rahma bersorak dalam hati. bener, kan!
Bima meletakkan gulungan yang dia pegang, dan Archan meletakkan obornya pada tempat yang tersedia. Mereka berdua masuk ke dalam barisan.
Bima dan Archan mengobrol santai di parkiran setelah acara wisuda. Sambil menanti Ayah mereka selesai membicarakan hal yang tidak mereka pahami. Ya, keluarga Gunawan dan Irawan memang dekat. Terlebih, Irawan adalah teman Gunawan saat merintis bisnis.
"Lu abis ini lanjut kemana?" Tanya Archan sambil menyulut sebatang rokoknya. Bima juga menarik sebatang rokok milik Archan dari bungkusnya, ikut menyulut gulungan tembakau itu.
"Belum tahu, gua." Bima menghembuskan asap dari mulutnya sambil menatap Rahma dan Nadya yang sibuk bermain dengan biji buah yang jatuh dari pohon di parkiran sekolah.
"Jangan bilang lu mau mondok." Archan melihat arah pandang Bima. Benar juga, akhir-akhir ini dia deket ama tu Ustadzah, batin Archan. Bima hanya mengedikkan bahunya.
"Ya, ga papa. Lagian kita juga harus memperdalam agama." Ucap Archan kemudian.
"Gua sadar, selama ini ada sisi hampa di hati gua. Padahal fasilitas dari bokap-nyokap, kehidupan, pendidikan. Gua juga bukan tipikal bocah kurang kasih sayang, dan ini." Bima mengangkat sebatang rokok dengan kepulan asap yang ada di antara jemarinya.
"Bokap gua ngebolehin, apalagi pas kita ke gep di club-nya Tono. Bokap gua ampe bilang, mending gua ngerokok ketimbang mabok." Bima menghisap dalam-dalam rokoknya.
"Bokap gua, biarpun sibuk kerja, dia tetep nyempetin ngobrol ketika pulang, nge vc keluarga tiap abis makan malam. Terus tu rasa hampa dari mana?" Archan mulai berpikir. Dia tahu betul latar belakang keluarga Bima, bahkan alasan Bima tak mau pacaran pun tahu. Harga diri seorang wanita.
Bima bukan tipikal munafik, seperti orang-orang yang menghargai wanita tapi mereka mengajak wanita itu berpacaran. Hubungan tak jelas seperti pacaran bukanlah wujud menghargai, namun seperti mempermainkan.
"Ayo, Bim. Pulang." Ajak Gunawan yang baru selesai berbincang dengan Irawan.
"Duluan, Chan. Duluan, Om." Pamit Bima pada Archan dan Irawan.
"Oh, ya. Wan, jangan lupa besok malem. Awas lu kaga dateng." Ucap Gunawan sambil terkekeh sebelum berlalu.
"Siap, Wan. Tunggu aja, gua bikin wajah lu cemong!" Sahut Irawan dengan tawa yang tak kalah kencang. Entah dua orang bapak-bapak itu. Mereka memanggil satu sama lain dengan kata Wan, dengan seluruh tingkah absurd mereka. Kadang Irawan main ke rumah sekedar untuk berduel catur atau carambol dengan hukuman dicoret bedak bagi yang kalah.
"Oh, ya. Ustadzah Rahma bisa baca kitab?" Tanya Gunawan di perjalanan pulang. Rahma, yang duduk di baris kedua, mengangguk ke arah spion agar terlihat oleh Gunawan.
"Jadi gini. Bima katanya mau masuk pondok pesantren di Jawa Timur. Salah satu syaratnya itu harus bisa dasar membaca kitab kuning. Kira-kira Ustadzah bisa engga kalau ngajarin Bima sekalian, tapi beda hari sama ngajar Nadya." Kali ini Ana yang berbicara.
Rahma pribadi sebenarnya ragu, karena ilmu membaca kitab tidak semudah kelihatannya. Ada banyak hal yang harus dikuasai sebelum benar-benar terjun ke prakteknya.
"Nanti saya pikir-pikir dulu, Bu." Sahut Rahma tak mau mengambil resiko.
Gunawan mengantar Rahma kembali ke rumah kontrakannya. Mereka mampir sebentar, membuat Rahma sedikit kewalahan menyiapkan sedikit suguhan.
Rumah kontrakan Rahma kembali damai setelah kasus Roby, meski Silvy masih sering melamun setelah tahu bahwa Roby hanya ingin menjadikannya batu pijakan agar dapat mendekati Rahma. Bahkan Silvy sudah rela dirusak dengan alkohol, meski sekarang sudah berhenti menyentuh air itu. Namun dampak dari minuman itu masih tersisa.
"Ini Silvy, teman sekontrakan saya sekaligus teman dekat saya dari semester satu." Rahma memperkenalkan Silvy pada keluarga Gunawan.
"Tapi kalian nyaman tinggal di sini?" Ana tampak memperhatikan bagaimana cat dinding bagian atas yang mulai mengelupas dan dinding-dinding dapur yang berlumut.
"Ya, Alhamdulillah, Bu." Rahma tersenyum sungkan.
"Bukan gitu, Ustadzah. Bima punya apartemen di daerah kota. Karena dia bentar lagi mondok, takutnya ga ada yang ngurus. Bagaimana kalau kalian berdua pindah sana." Ana kembali duduk bersama yang lain di ruang tamu.
![](https://img.wattpad.com/cover/342364026-288-k614401.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Back With Me, Ustadzah
Teen FictionDia yang berusaha menjaga mati-matian kesuciannya, namun siapa sangka? Orang dekatnya, lelaki yang dia cintai sekaligus pernah dia kagumi malah menjualnya ke bandar judi sebagai taruhan. #Romance #Remaja #Dewasa *Ada beberapa bagian yang mengandu...